Apa jadinya ketika seorang mantan Casanova jatuh cinta pada seorang gadis yang polosnya tingkat dewa?
"Kau tahu tidak apa artinya cinta?"
"Tahu,"
"Apa?"
"Kasih sayang dari orangtua pada anak mereka."
Jleebb
Akan bagaimanakah kisah mereka selanjutnya? Mampukah seorang CIO MORIGAN STOLLER menaklukkan hati sang pujaan hati yang terlalu lambat menyadari perasaannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rifani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ 13
Seperti biasa setelah pekerjaan selesai, Elil bergegas pulang ke kontrakan. Karena sekarang tinggal sendiri, dia memilih untuk tidak lagi memasak. Selain karena tak bisa memasang gas, Elil juga tidak bisa membedakan nama-nama bumbu dapur yang biasa digunakan. Takut keracunan, jadi dia putuskan untuk membeli saja.
"Fyuh, akhirnya sampai juga. Lelahnya," gumam Elil kemudian menelungkupkan tubuh ke sofa. Pinggangnya seperti mau patah. Pegal dan sedikit nyeri. "Untung saja aku punya rem cakram. Kalau tidak, tubuhku pasti sudah menggelinding di tangga."
Sejak Ilona menikah, Elil sering mendapat perlakuan aneh dari beberapa karyawan. Dia bingung dan tidak mengerti kenapa wanita-wanita itu jadi tertarik untuk mengobrol dengannya. Dan siang tadi dia hampir celaka gara-gara mengobrol dengan salah satu dari mereka.
"Memangnya bisa ya menjadi nyonya lewat cara naik ke ranjang bos? Kok kata-katanya ambigu sekali sih. Aku saja yang setiap hari tidur di ranjang tidak menjadi nyonya, kenapa mereka menuduhku seperti itu? Aneh,"
Ceklek
Elil menoleh. Dia diam saja saat pintu rumahnya dibuka dari luar.
"Kenapa pintunya tidak dikunci?"
"Tadi sudah dikunci, tapi kenapa kau bisa masuk? Mau maling ya?"
"Sembarangan." Cio masuk ke dalam rumah kemudian mengunci pintunya. Tentu saja dia bisa masuk dengan mudah karena punya kunci duplikat rumah ini. Jadi kapan pun Cio ingin datang, dia bebas masuk tanpa harus meminta izin. "Pose macam apa itu? Jelek sekali. Bokongmu sama sekali tidak menarik. Kempes tak berisi."
"Ini namanya pose bebek kelelahan. Pernah lihat tidak?"
"Pernah."
"Di mana?"
"Di depanku. Kau bebeknya."
Elil meringis. Tubuhnya kemudian merosot ke lantai dan berbaring telungkup tanpa beban. Mengabaikan Cio yang kini sudah duduk di sampingnya, dia kembali mengungkit perihal menjadi nyonya lewat cara naik ranjang.
"Ilona menikah dengan pemilik Group Ma karena dia diculik paksa, tapi kenapa mereka bilang kalau kami tak punya rasa malu dengan naik ke ranjang para bos demi agar bisa menjadi seorang nyonya? Menurutmu aneh tidak? Apa hubungannya dengan ranjang coba? Setiap hari aku juga naik ranjang, tapi tidak jadi nyonya."
Cio menarik napas dalam-dalam. Baru juga datang, dia sudah disuguhi perkataan yang sangat menggelitik hati. Yang dimaksud dengan naik ranjang adalah menjual tubuh kepada para bos agar bisa naik pangkat, tapi kenapa Elil tidak berpikir begitu? Padahal kata kiasan tersebut sangat mudah untuk dipahami.
(Jika aku mengatakan kalau dinding perusahaan punya telinga, apa iya Elil akan menganggap ucapan tersebut sebagai sesuatu yang nyata? Astaga, bagaimana cara membuat gadis ini bisa mudah memahami perkataan orang lain?)
"Cio, kau kenapa diam saja? Sedang berpikir untuk naik ke ranjang juga ya?" tanya Elil penasaran.
"Kau sebenarnya bodoh atau pura-pura bodoh sih? Masa kata kiasan begini saja tidak tahu," sahut Cio balik bertanya.
"Ilona bilang aku tidak bodoh, tapi aku hanya terlalu pintar."
"Pintar? Hahaha,"
Kedua alis Elil saling bertaut melihat Cio tertawa terbahak-bahak. Apa yang lucu?
"Hahaha. Elil, kau tahu tidak. Seluruh penghuni alam gaib pasti terpingkal-pingkal jika mendengar pengakuanmu barusan. Pintar? Ya ampun, dari sudut mana kau menganggap dirimu itu pintar?" ejek Cio sambil terus tertawa. Saking merasa lucu, dia sampai tak sadar sudah berbaring di samping Elil. Saat pandangan mata mereka bertemu, tawa Cio seketika berhenti. Ada yang berdetak cepat, tapi bukan jam dinding. Ada juga yang berdesir, tapi bukan aliran darah. Cio terpana oleh pahatan murni milik gadis di hadapannya. Tanpa sadar dia bergumam. "Cantik. Baru kali ini aku melihat wanita dengan paras yang begitu natural. Kau ... sangat cantik."
Jika wanita lain yang dipuji sedemikian rupa, perasaan mereka pasti akan langsung jungkir balik tak karuan. Namun, hal berbeda justru terjadi di diri Elil. Alih-alih salah tingkah dipuji cantik, dia malah memasang ekspresi aneh di wajahnya.
"Hei, jangan mengerucutkan bibir begitu. Nanti aku tidak tahan," protes Cio sambil mengusap bibir merekah yang akhir-akhir ini sering mengusik pikiran.
"Tidak tahan kenapa?"
"Ingin menciumnya."
"Hah? Tidak tahan ingin menciumnya? Mesum sekali."
"Boleh?"
Elil bingung. Apanya yang boleh?
"Haihh, sudahlah lupakan saja. Otakmu yang minimalis itu mana mungkin bisa mengerti ucapanku." Cio mend*sah kecewa. Elil sangat lambat memahami ucapannya. Sejauh apapun dia memancing napsu gadis ini, yang ada malah kebakaran jenggot sendiri.
Cup
(Apa-apaan ini? Kenapa dia menciumku?)
"Ilona pernah bilang padaku katanya cara jitu untuk membujuk laki-laki adalah dengan menciumnya. Apa benar?" tanya Elil tanpa beban setelah memberikan serangan fajar mendadak.
"Ilmu dari mana itu?" sahut Cio sembari menyentuh pipi. Dag-dig-dug detak jantungnya. Tak menyangka kalau seorang Elil bisa agresif juga.
"Entahlah. Kalau kau mau tahu, tanya sendiri saja pada Ilona. Dia tahu segalanya lho,"
"Malas."
"Pantas jadi pengangguran. Ternyata kau seorang pemalas."
"Aku bukan pengangguran, Elil. Aku punya pekerjaan sendiri."
"Pekerjaan apa?"
"Jadi bos. Seperti Karl."
"Wah, benarkah?"
Tiba-tiba saja Elil bangun kemudian berlari masuk ke dalam kamar begitu diberitahu pekerjaan Cio. Cio yang penasaran, bergegas bangkit dan menyusul. Dan begitu masuk, dia dibuat melongo heran oleh kelakuan Elil yang sedang berbaring telentang di kasur.
"Sekarang aku sudah naik ke ranjang. Kira-kira bisa jadi nyonya tidak ya?"
Seperti ada ribuan jangkrik yang berdendang di dalam kamar tersebut. Sepolos inikah? Cio sampai tak bisa berkata-kata saking takjub akan kepolosan Elil dalam berpikir.
"Cio, sini. Ayo berbaring bersamaku di sini," seru Elil tanpa berpikir jauh. Dia menepuk kasur, meminta Cio untuk segera datang. "Aku sekarang kesepian sejak Ilona menikah. Pasti seru kalau bisa bercengkrama denganmu di sini. Ayo ayo naik. Jangan malu,"
Naik? Pikiran Cio langsung berkelana liar membayangkan dirinya yang sedang menaiki tubuh Elil. Tak mau melewatkan kesempatan, segera saja dia berlari dan melompat ke atas ranjang. Cio lalu menarik tubuh Elil agar berbaring menghadapnya.
"Lihat aku. Apa kau tidak takut mengundang seorang laki-laki untuk tidur di atas ranjang milikmu?"
"Kenapa harus takut? Memangnya kau makan orang?"
"Aku tidak makan orang, tapi bisa memakan gumpalan daging milik seseorang, terutama wanita. Mau coba?"
"Tidak mau. Tubuhku ini kurus, gizinya kurang. Pasti rasanya tidak enak kalau dimakan,"
"Siapa bilang tidak enak? Aku pernah mencoba kok,"
"Hah? Yang benar?"
Seperti seorang idiot, Cio mulai berceloteh tentang percintaan mereka malam itu. Kalimat yang dia ucapkan diringkas sesederhana mungkin dengan maksud agar mudah dicerna oleh Elil. Namun, Cio melupakan satu hal. Sekeras apapun dia berusaha, Elil tetaplah Elil dengan pemikirannya yang kelewat sakti.
"Aku jadi mengantuk setelah mendengar dongengmu. Aku tidur dulu ya?"
Begitu selesai bicara, kedua mata Elil langsung terpejam. Disusul oleh suara dengkuran halus yang mana membuat Cio melongo seperti orang bodoh.
"Ini aku ditinggal tidur begitu saja?" ucap Cio tak percaya. Dia kemudian menatap sedih juniornya yang sudah mengacung tegak. "Nasibmu sungguh tak beruntung, kawan. Sudah dipancing sejauh itu malah berakhir kita ditinggal tidur. Apa kita p*rkosa diam-diam ya? Terlalu bosan menunggu Elil sadar kalau kita butuh dia. Hmm,"
***
cio bukan pengangguran 😀
tapi sayang banyak cerita yg belum selesai
Namun meski begitu aku selalu setia dgn karya2 nya....