Raka Sebastian, seorang pengusaha muda, terpaksa harus menikah dengan seorang perempuan bercadar pilihan Opanya meski dirinya sebenarnya sudah memiliki seorang kekasih.
Raka tidak pernah memperlakukan Istrinya dengan baik karena ia di anggap sebagai penghalang hubungannya dengan sang kekasih.
Akankah Raka menerima kehadiran Istrinya suatu saat nanti atau justru sebaliknya?
Yuk simak ceritanya 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon omen_getih72, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
"Kenapa kamu berpikir dia jahat?" Ada tanda tanya yang besar dalam hati Brayn melihat Raka yang tampak begitu membenci sosok gadis bercadar itu.
"Dia dan Hellen sahabatan dulu. Tapi, kemudian pertemanan mereka jadi renggang. Kata Hellen, Nirma yang sengaja menjauhi dia."
"Oh." Brayn menatap ke arah gadis yang tengah membantu beberapa santri lain mengangkat sembako.
Gadis itu terlihat sederhana, sikapnya juga lemah lembut.
"Ngomong-ngomong, tadi kamu bilang... Oma kamu mau menjodohkan kamu dengan dia, kan?" Tanya Brayn.
"Iya, tapi aku tidak mau. Gila saja nikah sama dia. Memangnya perempuan di bumi ini sudah habis?"
Brayn hanya terkekeh mendengar gerutuan panjang Raka.
Ia paham, Raka yang memiliki kehidupan modern tidak mungkin mau dinikahkan dengan wanita seperti Nirma yang sangat tertutup dan jauh dari kata modern.
"Pak Dokter, terima kasih banyak bantuannya. Semoga menjadi ladang pahala untuk Pak Dokter dan keluarga." Ustadz Yusuf, pemilik pondok sederhana itu menyapa mereka.
"Panggil Brayn saja, Abah. Jangan panggil Pak Dokter. Saya juga belum jadi dokter, kok."
"Ah, sama saja. Ayo, duduk dulu!" Ia menepuk bahu pemuda itu.
"Terima kasih, Abah."
Brayn dan Raka duduk sebentar sambil mengobrol.
Sesekali Brayn mencuri pandang ke arah Nirma yang tampak sedang mengajari anak-anak mengaji.
Ia sedikit heran dengan Raka yang terkesan sangat membenci Nirma.
"Dia itu penampilannya saja yang tertutup. Kalau hanya melihat penampilan, siapapun akan mengira dia alim. Munafik sekali." bisik Raka, saat menyadari Brayn sesekali melirik gadis itu.
"Istighfar, Raka! Manusia tidak berhak menilai kadar keimanan seseorang."
"Pokoknya di mataku dia tidak lebih dari gadis munafik. Lagi pula, aku yakin cadarnya itu hanya untuk dijadikan topeng, bukan karena keimanannya." cibir Raka.
"Astaghfirullah." Brayn menghembuskan napas panjang.
***
Gemuruh petir menyambar sore itu diiringi derasnya hujan yang menciptakan suasana mencekam.
Brayn dan Raka sedang membantu Ustadz Yusuf membenarkan bagian atap yang sempat terhempas oleh angin kencang.
Bangunan itu memang sudah cukup tua dan sama sekali belum pernah direnovasi.
Beberapa bagian dinding bahkan sudah tampak lapuk dan berjamur. Juga terdapat beberapa bagian atap yang bocor.
"Setiap hujan turun, bocor seperti ini ya, Bah?" tanya Brayn, sesaat setelah selesai dengan pekerjaannya.
"Iya, Nak. Tapi tidak apa-apa. Kami sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini."
"Kasihan anak-anak yang tinggal di sini." Brayn melirik anak-anak yang tampak ketakutan setelah kejadian tadi.
Perhatiannya kembali tertuju kepada Nirma yang dalam keadaan basah kuyup sedang berusaha menenangkan anak-anak.
Melihat keadaan bangunan pondok yang cukup memprihatinkan, Brayn berencana akan bicara dengan Papanya untuk membantu memperbaiki bangunan tersebut agar lebih layak dan aman untuk digunakan.
"Tidak apa-apa. Anginnya sudah reda, kok. Insyaallah, Allah dan para malaikatnya akan melindungi kita."
Satu lagi yang membuat hati Brayn bergetar, suara Nirma terdengar begitu lembut di telinga.
***
"Aku membencinya!" ucap Raka di sela perjalanan pulang.
Mereka baru saja meninggalkan pondok sederhana tersebut.
Brayn yang duduk di kursi kemudi itu hanya melirik sekilas, kemudian kembali terfokus pada jalan di depan.
"Jangan membenci secara berlebihan! Ingat kisah Umar Bin Khattab yang pernah sangat membenci Rasulullah, tapi pada akhirnya menjadi orang yang paling mencintainya, dan menjadi orang yang paling terluka saat kepergiannya."
"Apa kamu sedang berusaha membela Nirma?"
Brayn terkekeh. "Tidak! Aku hanya sekedar mengingatkan. Lagipula, aku tidak melihat sesuatu yang buruk darinya. Kamu lihat tadi, bagaimana lembutnya dia menenangkan anak-anak yang ketakutan saat ada badai."
"Jangan tertipu, Brayn! Itu hanya topeng untuk menutupi kebusukannya."
"Kalau sudah benci memang susah melihat kebaikan seseorang."
Setelah menempuh perjalanan hampir dua jam, Brayn membelokkan mobilnya memasuki gapura perumahan tempatnya tinggal.
Seorang penjaga sigap membuka gerbang ketika Brayn membunyikan klakson mobilnya.
Suasana rumah malam itu cukup ramai. Ada beberapa mobil yang terparkir di halaman rumah, salah satunya milik Darren, paman dari Raka, yang memang sudah cukup lama bersahabat dengan keluarga Hadiwijaya.
"Assalamu alaikum." ucap Brayn sesaat setelah memasuki rumah.
'Walaikumsalam." Beberapa orang kompak menjawab salam.
"Habis dari mana kalian? Kok baru pulang?" tanya Bu Resha penasaran, saat melihat pakaian Brayn dan Raka basah.
"Habis dari pondok saja, Ma. Lama di sana, soalnya bantuin Pak Ustadz benerin atap yang kena angin kencang." Jawab Brayn.
"Raka juga ikut?" tanya Tante Mawar, menatap keponakannya dengan senyuman.
"Iya, Bunda!" jawab Raka cepat.
"Ketemu dong sama Nirma." goda wanita itu.
"Emm...." Jawaban singkat cenderung dingin dari Raka membuat Tante Mawar terkekeh.
"Ya sudah, kalian sana cepat ganti baju dulu, nanti masuk angin!" Ucap Bu Resha.
Brayn dan Raka beranjak menuju lantai atas. Sementara para orang tua masih mengobrol di lantai bawah.
Para laki-laki memiliki meja sendiri, begitupun dengan wanita.
Setiap ulang tahun Zayn dan Zahra, adik kembar dari Brayn, para kerabat mereka akan berkumpul di rumah.
Bukan untuk merayakan, tapi hanya untuk menemani Bu Resha melewati hari yang berat.
"Siapa itu Nirma?" Bu Resha menatap Tante Melati dengan penasaran.
"Nirma itu anak pemilik pondok, Ustadz Yusuf, sahabat Abah dan Ayah mertuaku. Kebetulan Ayah mertuaku punya niat baik untuk menjodohkan Raka dengan Nirma." jawab Tante Mawar.
"Alhamdulillah. Ini kabar baik." Ucap Tante Resha.
"Tapi, sepertinya Raka belum setuju. Sementara Ayah kurang suka dengan hubungan Raka dan Hellen. Katanya, Hellen membawa pengaruh buruk untuk Raka."
"Oh." Bu Resha mengangguk pelan.
***
Raka menghempas tubuhnya di ranjang sesaat setelah mandi dan berganti pakaian. Ia menatap langit-langit kamar dengan nanar.
"Aku menginap di sini, malas pulang ke rumah!" ucap pria berusia 25 tahun tersebut.
"Kenapa?" sahut Brayn.
"Malas debat sama Opa. Mereka terus membujuk supaya aku setuju untuk menikah dengan Nirma. Gila gak?"
"Namanya orang tua pasti mau yang terbaik untuk kamu."
"Aku kan sudah ada Hellen, Brayn! Aku lebih cocok dengan dia! Aku rasa hidupku akan seperti di neraka kalau sampai benar-benar menikah dengan Nirma."
"Apa Nirma sudah tahu kalau Opa kamu berniat menjodohkan kamu dengan Nirma?"
"Dia tahu sih kayaknya."
"Terus?"
"Tidak tahu. Tapi, kalau dia gadis baik-baik, dia pasti akan menolak niat Opa, apalagi Hellen itu sahabatnya sendiri!"
Alis tebal Brayn saling bertaut mendengar ucapan Raka.
Sebenarnya, Brayn tidak begitu menyukai Hellen sejak awal menjalin hubungan dengan Raka.
Namun, demi menjaga persahabatan mereka, Brayn memendamnya sendiri.
"Aku tidak bisa bayangkan bagaimana perasaan Hellen kalau sampai Opa memaksa!" Bayangan menikah dengan seorang gadis bercadar terasa sangat mengerikan bagi Raka.
"Biasanya pilihan orang tua itu yang terbaik, loh."
"Tetap aku tidak akan mau! Aku tidak akan pernah tertarik dengan yang namanya Nirma. Pasti ada wajah jelek di balik cadarnya itu!"
************
************
lanjut Thorrr" bgs cerita nyaaaa....