Sakit hati sang kekasih terlibat Cinlok (Cinta Lokasi) hingga berakhir di atas ranjang bersama lawan mainnya, Ameera bertekad menuntut balas dengan cara yang tak biasa.
Tidak mau kalah saing lantaran selingkuhan kekasihnya masih muda, Ameera mencari pria yang jauh lebih muda dan bersedia dibayar untuk menjadi kekasihnya, Cakra Darmawangsa.
Cakra yang memang sedang butuh uang dan terjebak dalam kerasnya kehidupan ibu kota tanpa pikir panjang menerima tawaran Ameera. Sama sekali dia tidak menduga jika kontrak yang dia tanda tangani adalah awal dari segala masalah dalam hidup yang sesungguhnya.
*****
"Satu juta seminggu, layanan sleep call plus panggilan sayang tambah 500 ribu ... gimana?" Cakra Darmawangsa
"Satu Milyar, jadilah kekasihku dalam waktu tiga bulan." - Ameera Hatma
(Follow ig : desh_puspita)
------
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara dll)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33 - Orang Yang Sama
Setelah huru-hara tadi pagi, ada yang berbeda dari cara Ayumi memandang Ameera. Dia tidak seceria kemarin, bahkan ketika mandi bersama wanita itu tidak terlalu banyak bicara. Ameera sadar akan salahnya, mau bagaimanapun dia juga seorang wanita dan paham perasaan Ayumi tanpa perlu diutarakan.
"Yu, kamu mencintai Cakra?"
Sebelum Ayumi berangkat kerja, Ameera mencari kesempatan untuk bicara berdua. Tidak ada waktu lain, karena kemungkinan besar nanti malam Ameera masih berada di kota mengingat rencana perjalanan mereka.
Masih dengan mata yang terus memerhatikan Ayumi membenarkan hijabnya, Ameera menunggu dengan sabar jawaban wanita itu. Mungkin terkesan frontal, tapi dia hanya ingin pengakuan dan memberikan penegasan pada Ayumi.
Bukan tanpa alasan, dia hanya tidak ingin perasaan semacam ini berlangsung semakin lama. Ameera selalu merasa tak enak hati dan tidak bebas setiap kali Cakra mendekat, sementara Cakra tampak biasa saja dan hal itu membuat Ayumi selalu murung sejak tadi pagi.
Selain itu, Ameera juga ingin tahu apa mungkin ada sesuatu yang terjadi di antara mereka dan tidak Ameera ketahui. Terlebih lagi, jika dilihat-lihat tiap kali bertemu Cakra, Ayumi sangat bahagia dan memberikan senyuman terbaiknya.
"Atau kalian pernah punya hubungan di masa lalu?" tanya Ameera lagi, walau jujur saja sebal diabaikan, tapi sebisa mungkin Ameera bersikap santai.
"Ayu_"
"Nggak ada, Teh ... kami Nggak punya hubungan di masa lalu," ucap Ayumi tampak menggantung, dia menatap ke arah Ameera yang juga masih menatapnya. "Ayu berharapnya ada hubungan di masa depan sama kang Cakra," pungkas Ayumi seraya tersenyum tipis, sebuah jawaban yang berhasil membuat Ameera menghela napas panjang.
Sesuai dugaan, mereka mencintai orang yang sama, wajar saja gelagat Ayumi begitu kentara. Sudah lama tidak jatuh cinta sedalam ini, sekalinya cinta justru pada pria yang juga diharapkan oleh wanita lain. Mirisnya, jika dibandingkan dengan Ayumi tentang pantas atau tidaknya menjadi pendamping Cakra, Ameera justru merasa bak debu di antara kilauan mutiara.
"Sama seperti Teteh yang berharap begitu, Ayu juga sama, tapi Teteh tenang saja ... apa yang terjadi semalam sudah cukup untuk alasan Ayu mundur dan berhenti menyebut kang Cakra dalam doa," tambah Ayumi yang kemudian membuat mata Ameera membulat sempurna.
Ayumi menyatakan jika dia benar-benar mundur, dan hal itu berhasil membuat Ameera kehilangan kata-kata. Ameera merasa bersalah, tapi sesulit itu melontarkan kata maaf, bahkan dia tetap terdiam setelah Ayumi berlalu pergi.
Dia merasakan sakitnya dikhianati, Ameera takut cinta pada Cakra justru menyakiti wanita lain. Tapi apa hendak dikata? Ameera tidak bisa menerka siapa pria yang dikehendaki oleh hatinya. Sejak awal juga dia tidak menduga bahwa akan jatuh cinta sungguhan.
"Sudah siap, Nona?"
"Astaga, aku lupa!! Cakra sudah selesai ambil motornya?"
"Hm, tentu, bahkan kami sudah bosan menunggu."
"Hah? Ka-kami?"
Ameera sampai lupa jika dia juga harus pergi, terlalu memikirkan kata-kata Ayumi sampai dia lupa bahwa Cakra mungkin saja sudah menunggu sejak tadi. Namun, tadi Mahendra mengatakan kami? Jelas saja kening Ameera berkerut karena seingatnya, yang akan pergi hanya Cakra dan dirinya.
"Kenapa? Yang luka bukan hanya Anda, saya juga, bahkan lebih parah ... kalau Anda yang tergores begitu saja harus ke kota lalu saya bagaimana?" Ameera hanya bertanya sepatah, harusnya Mahendra cukup menjawab iya atau tidaknya.
Sejak kejadian fajar tadi Mahendra tidak ada takut-takutnya. Seolah terus saja mengungkapkan kekesalan, baik Ameera maupun Cakra dia perlakukan sama. "Ck, kenapa sih, kan puskes di desa seb_"
"Dengar, Nona, jangan pernah berpikir bisa berduaan bersama Cakra seperti kemarin-kemarin!" sentak Mahendra yang membuat Ameera memutar bola matanya malas.
"Apasih, Mahen. Kita di sini teman loh, bilang saja sama papa semua tugas sudah kau jalankan sesuai perintahnya dan kau cukup menikmati keindahan desa ini ... lihat sawah Abah, terus di sungai banyak anak perawan mandi, lumayan buat cuci mat_"
"Saya awasi atau tidak pergi sama sekali?"
"Iyayayyaya!!"
Ameera sudah mengeluarkan jurusnya, bujuk rayu dan tetap saja gagal. Agaknya, om Babas lebih bisa diajak bekerja sama dibandingkan putranya. Kesetiaan Mahendra memang tidak perlu diragukan, tapi sayang dia akan lebih patuh pada yang lebih berkuasa, yaitu Papa Mikhail.
.
.
Sesuai rencana awal, pergi ke kota dengan alasan mengobati luka tersebut tidak bisa ditawar. Walau harus diiringi Mahendra dan tiga orang lainnya, tidak mengapa, asal dia yang bersama Cakra.
Lagi pula lebih aman, meski Ameera sudah menggunakan pakaian tertutup lengkap dengan topi dan maskernya untuk menyembunyikan identitas, Mahendra masih mempertimbangkan keamanan. Oleh karena itu, mereka berdua diiringi mobil yang Mahendra sewa dari seorang juragan di desa tersebut, sudah persis ratu dan pangeran yang ditemani para pengawalnya.
Namanya saja diiringi, tapi Ameera tampak santai saja seakan yang di jalan mereka berdua. Hidup sebebas-bebasnya adalah hal yang sulit Ameera dapatkan, dan bersama Cakra dia merasakan hal itu.
Sudah berapa kali Mahendra kehilangan jejak, kecepatan motor Cakra jelas sulit diimbangi rombongan Mahendra. Walau demikian, Mahendra tidak menghalangi atau membatasi ruang gerak mereka, sesuai perintah dia hanya mengawasi dan membiarkan Ameera melakukan apa yang dia senangi.
Setelah menjalani perjalanan panjang tersebut, mereka tiba di rumah sakit pilihan Ameera. Untuk alasannya Cakra tidak tahu juga, dia hanya menuruti apa maunya Ameera saja.
"Cakra tunggu di sini ya, jangan kemana-mana, aku tidak akan lama."
Mahendra mengerjap pelan, beginilah gambaran andai Ameera punya adik lagi. Semanis itu dia bicara, bahkan menepuk pundak Cakra sebelum meninggalkan tempat itu. Padahal, Cakra juga sudah cukup dewasa dan di sana dia tidak sendirian, melainkan ada tiga orang lainnya yang mana di antara mereka adalah teman Cakra.
"Kau nyaman?"
"Nyaman gimana?" Ditanya balik nanya, dan Mahendra sudah bosan sekali bertemu dengan makhluk sejenis ini.
"Pakai nanya, menjalin hubungan bersama wanita dewasa seperti Ameera dan diperlakukan layaknya anak kecil begitu? Bukankah semalam kau mengatakan lebih nyaman sama yang seumuran?" tanya Mahendra sekali lagi, mungkin otak Cakra kurang pandai menangkap pertanyaannya.
Cakra tersenyum tipis, dia bersedekap dada dan kini menatap Mahendra dengan begitu serius, seolah akan menyampaikan informasi penting sebentar lagi. "Itu untuk teman, Pak, kalau istri tidak masalah lebih dewasa," ucapnya kemudian.
"Is apa? Coba ulangi?"
"Istri," jawab Cakra lantang, sekalian di sana ada Yusuf dan Hasan, dia tengah membuktikan bahwa ucapannya tadi malam bukan sekadar bualan.
"Yakin siap jadi suami Ameera?" tanya Mahendra lantang hingga membuat Cakra terdiam beberapa saat lantaran beberapa orang melihat ke arah mereka.
"Assalamualaikum."
Belum sempat menjawab ucapan Mahendra, suara penuh wibawa itu terdengar dan membuat keduanya mendongak. Bukan hanya Cakra, Mahendra juga terkejut dan segera mencium punggung tangan pria yang berdiri di hadapannya hingga membuat Mahendra melakukan hal yang sama, siapa pria itu dia juga tidak tahu yang jelas ikut saja.
"Waalaikummussalam, Kak ... kenapa bisa di sini? Kakak sakit atau?"
"Bukan, tapi Abi, oh iya kalau tidak salah dengar tadi bahas calon suami Ameera ... yang mana, Mahen?"
.
.
- To Be Continued -