Marsha Calloway terjebak dalam pernikahan yang seharusnya bukan miliknya—menggantikan kakaknya yang kabur demi menyelamatkan keluarga. Sean Harris, suaminya, pria kaya penuh misteri, memilihnya tanpa alasan yang jelas.
Namun, saat benih cinta mulai tumbuh, rahasia kelam terungkap. Dendam masa lalu, persaingan bisnis yang brutal, dan ancaman yang mengintai di setiap sudut menjadikan pernikahan mereka lebih berbahaya dari dugaan.
Siapa sebenarnya Sean? Dan apakah cinta cukup untuk bertahan ketika nyawa menjadi taruhan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayyun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Warna dalam Kehidupan Marsha
Marsha tengah duduk di dekat jendela kamarnya ketika seorang pelayan mengetuk pintu dan masuk, membawa beberapa kotak besar.
"Bu, ini kiriman dari Pak Sean," ucap pelayan itu dengan sopan sambil meletakkan kotak-kotak tersebut di atas meja.
Marsha mengernyit, sedikit terkejut. "Apa ini?"
Pelayan itu tersenyum kecil. "Ini peralatan melukis, Bu. Pak Sean mau Bu Marsha bisa menikmati waktu luang selama beliau tidak di rumah."
Mata Marsha melebar. Dengan hati-hati, ia membuka salah satu kotak dan mendapati isinya—kanvas berbagai ukuran, cat minyak, cat air, kuas berkualitas tinggi, serta palet kayu yang terlihat elegan.
Jari-jarinya menyusuri perlahan permukaan peralatan itu, merasakan teksturnya yang halus. Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia memegang kuas. Bagaimana Sean bisa tahu bahwa melukis adalah hobinya?
Marsha menghela napas, mencoba mengabaikan pertanyaan itu. Tidak ada gunanya terlalu memikirkan sikap pria itu. Jika ia sudah diberikan kesempatan untuk menikmati sesuatu yang dulu sangat ia cintai, maka ia akan memanfaatkannya.
Dengan semangat, ia mulai menata peralatannya. Ia menggulung lengan bajunya, mengatur kanvas di depan jendela agar cahaya matahari pagi bisa memberikan pencahayaan yang baik.
Saat kuas pertama kali menyentuh kanvas, perasaan nostalgia menyelimuti dirinya. Perlahan, garis-garis tipis terbentuk, warna-warna mulai mengisi ruang kosong. Marsha tenggelam dalam dunianya sendiri, membiarkan perasaannya mengalir melalui setiap sapuan kuas.
Berjam-jam berlalu tanpa ia sadari. Ketika akhirnya berhenti, matahari sudah hampir tenggelam di ufuk barat. Ia mundur selangkah, mengamati lukisan yang telah ia buat.
Di kanvas itu, tergambar sebuah pemandangan hutan dengan cahaya senja yang temaram, menciptakan suasana hangat namun juga sedikit melankolis. Sebuah refleksi dari perasaannya sendiri.
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka tanpa diketuk. Marsha menoleh cepat dan melihat Sean berdiri di sana, masih mengenakan jasnya dengan dasi yang sedikit longgar—tanda bahwa ia baru saja pulang.
Mata pria itu tertuju pada lukisan di depan Marsha, ekspresinya sulit ditebak.
"Kamu udah pulang?" tanya Marsha, berusaha menyembunyikan keterkejutannya.
Sean melangkah masuk tanpa menjawab. Ia berjalan mendekati lukisan itu, mengamati detailnya dengan saksama.
"Kamu berbakat," ucapnya akhirnya.
Marsha merasa pipinya sedikit memanas. Ia tidak terbiasa menerima pujian, apalagi dari pria yang selama ini lebih banyak menunjukkan sisi dinginnya.
"Aku cuma melakukannya untuk mengisi waktu," jawabnya pelan.
Sean meliriknya. "Kamu suka?"
Marsha mengangguk. "Udah lama aku nggak melukis. Aku bahkan hampir lupa gimana rasanya."
Sean menatapnya sejenak sebelum akhirnya berkata, "Aku senang kalau kamu suka."
Hening mengisi ruangan. Marsha ingin bertanya kenapa Sean memberikan peralatan melukis itu padanya. Kenapa pria itu seolah peduli, tapi di saat yang sama juga menciptakan batasan yang begitu ketat?
Tapi sebelum ia bisa mengeluarkan pertanyaan itu, Sean lebih dulu berbicara.
"Aku lapar," katanya singkat, lalu berbalik menuju pintu.
Marsha mengerjap. "Itu artinya… kamu mau makan malam bareng?"
Sean berhenti sejenak sebelum menjawab, "Kalau kamu mau."
Marsha tidak tahu kenapa, tetapi hatinya sedikit bergetar mendengar jawaban itu. Saat mereka duduk di meja makan, suasana terasa canggung. Ini pertama kalinya mereka makan malam bersama tanpa ada ketegangan berarti.
Marsha mencuri pandang ke arah Sean yang tengah menyantap makanannya dengan tenang. Pria itu terlihat begitu tenang dan berwibawa, tetapi di balik ekspresi dinginnya, ada sesuatu yang sulit ditebak.
"Kamu memang selalu kerja terus bahkan akhir pekan?" tanyanya akhirnya, mencoba mencairkan suasana.
Sean meletakkan garpunya dan menatapnya. "Kenapa kamu tanya itu?"
Marsha mengangkat bahu. "Aku cuma penasaran. Aku jarang lihat kamu melakukan sesuatu di luar pekerjaan."
Sean terdiam sesaat sebelum menjawab, "Bekerja adalah bagian dari hidupku."
Marsha menghela napas. "Tapi kamu juga manusia, Sean. Kamu butuh waktu untuk menikmati hidup."
Sean tersenyum kecil, tetapi senyum itu tidak mencapai matanya. "Dan menurutmu, bagaimana cara menikmati hidup?"
Marsha berpikir sejenak sebelum menjawab, "Melakukan sesuatu yang kamu sukai. Seperti aku dengan melukis."
Sean tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Marsha dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan.
"Dan kamu?" tanya Marsha pelan. "Apa yang kamu sukai?"
Sean terdiam cukup lama sebelum akhirnya berkata, "Aku nggak tahu."
Jawaban itu membuat Marsha terkejut. Bagaimana mungkin seseorang tidak tahu apa yang ia sukai? Mungkin selama ini, Sean terlalu sibuk membangun benteng di sekelilingnya, hingga ia lupa bagaimana rasanya benar-benar hidup.
Setelah makan malam, Marsha kembali ke kamarnya. Tetapi pikirannya masih dipenuhi oleh Sean. Pria itu adalah sebuah paradoks dalam hidupnya. Marsha menghela napas, bertanya-tanya sejak kapan dirinya begitu tertarik mencari tahu lebih banyak tentangnya.
Sementara itu, di ruang kerjanya, Sean duduk di sofanya, menatap layar laptopnya tanpa benar-benar membaca dokumen yang terbuka di sana. Pikirannya juga dipenuhi oleh MarshA. Wanita itu adalah teka-teki yang ingin ia pecahkan. Dan ia tidak tahu bagaimana cara menghadapinya.
...***...