Ketika Naya, gadis cantik dari desa, bekerja sebagai babysitter sekaligus penyusui bagi bayi dari keluarga kaya, ia hanya ingin mencari nafkah jujur.
Namun kehadirannya malah menjadi badai di rumah besar itu.
Majikannya, Ardan Maheswara, pria tampan dan dingin yang kehilangan istrinya, mulai terganggu oleh kehangatan dan kelembutan Naya.
Tubuhnya wangi susu, senyumnya lembut, dan caranya menimang bayi—terlalu menenangkan… bahkan untuk seorang pria yang sudah lama mati rasa.
Di antara tangis bayi dan keheningan malam, muncul sesuatu yang tidak seharusnya tumbuh — rasa, perhatian, dan godaan yang membuat batas antara majikan dan babysitter semakin kabur.
“Kau pikir aku hanya tergoda karena tubuhmu, Naya ?”
“Lalu kenapa tatapan mu selalu berhenti di sini, Tuan ?”
“Karena dari situ… kehangatan itu datang.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuna Nellys, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Permintaan dalam permainan
...0o0__0o0...
...Hening itu jatuh begitu saja, memotong napas Naya yang tersengal....
...Gadis itu terdiam, tubuh-nya masih bergetar akibat serangan sensasi yang belum sempat pecah. Jemari-nya masih mencengkeram rambut Arya, namun laki-laki itu hanya menegakkan tubuhnya perlahan—tatapan-nya turun tepat ke arah mata Naya....
...Gelap....
...Dalam....
...Seakan mengunci seluruh napasnya....
...“Apa kau kira aku akan membiarkan mu mendapatkan pelepasan tanpa izinku ?” suaranya rendah, serak, dan berbahaya....
...Naya tersentak kecil, dada naik-turun cepat. Wajahnya memerah, bukan hanya karena kenikmatan yang menggantung, tetapi juga rasa frustrasi yang menusuk. ...
...Arya melihat semua itu—setiap detik ketidakberdayaan yang tercetak jelas di wajahnya—dan sudut bibir pria itu terangkat tipis....
...Sengaja....
...Kejam....
...Menggoda....
...Arya menyusuri garis rahang Naya dengan ibu jarinya, perlahan, membuat gadis itu memejam tertahan. “Lihat aku,” Perintah-nya....
...Naya membuka mata lagi—pelan, ragu....
...Arya menunduk sedikit, bibirnya hampir menyentuh bibir Naya, namun tak menyentuh sama sekali....
...“Begini jauh lebih menarik,” bisiknya. “Saat kau berada di titik paling tidak berdaya… dan hanya aku yang memutuskan kapan kau boleh jatuh.”...
...Naya menahan napas. Tubuhnya menegang, menunggu, memohon tanpa suara....
...Arya mendekat sedikit lagi, napasnya panas dan mengusik. Namun sekali lagi—tidak menyentuh. Dan dengan suara yang membuat seluruh tubuh Naya berdenyut, ia berkata:...
...“Katakan padaku… apa yang kau minta sekarang, Naya ?” Ia menahan wajah gadis itu, memaksa-nya menatap....
...Tertunda....
...Tertekan....
...Dan semakin menegangkan....
...Arya tidak bergerak. Ia hanya menatap Naya dari atas—diam, namun tekanannya begitu menghimpit hingga gadis itu merasa seluruh udara hilang dari paru-parunya....
...Naya menelan ludah, tubuhnya masih bergetar. ...
...“A… aku…” suara-nya pecah, bingung antara memohon atau menahan diri....
...Arya mendekat sedikit—hanya beberapa sentimeter—cukup untuk membuat jantung Naya berdetak kacau....
...“Lanjutkan,” bisiknya. “Kalau kau ingin sesuatu dariku… katakan.”...
...Nada suaranya bukan sekadar perintah....
...Itu tantangan....
...Ancaman....
...Dan undangan yang kejam dalam satu paket....
...Naya memejamkan mata sesaat, berusaha menyusun kata-kata. Tapi sentuhan ringan Arya pada dagunya—hanya satu jari—membuatnya tersentak terbuka kembali....
...“Jangan tutup mata saat aku bicara,” tegas Arya. “Aku ingin melihat setiap reaksi yang kau sembunyikan.”...
...Naya menggigit bibir. “Aku… Tuan Arya… tolong jangan berhenti tadi…”...
...Arya tersenyum kecil—senyum yang tidak membawa kehangatan sama sekali....
...“Akhirnya.” Ia menggeser rambut Naya ke belakang, gerakannya lembut namun dingin. “Kau mengaku juga.”...
...Tangan Arya menahan kedua sisi wajah Naya, membuat gadis itu tak bisa kabur dari tatapan-nya yang gelap dan berat....
...“Kau tahu kenapa aku menghentikan-nya ?” Arya bertanya pelan, nyaris seperti bisikan rahasia. “Karena kau terlalu cepat menyerah pada sensasi. Karena kau… terlalu murahan.”...
...Naya menahan napas....
...“…maksud Tuan ?”...
...Arya menunduk, suaranya turun menjadi nada yang membuat bulu kuduk Naya berdiri....
...“Aku ingin kau menginginkan ku bukan karena tubuh mu memaksa,” katanya perlahan. “Tapi karena pikiran mu tidak bisa lari dariku.”...
...Arya menyentuh leher Naya dengan ibu jarinya, tepat di titik yang membuatnya tersentak halus. “Aku ingin kau memohon… bukan karena hampir jatuh, tetapi karena kau butuh aku untuk menjatuhkan mu.”...
...Wajah Naya memerah, bukan oleh rasa malu, tetapi oleh frustrasi yang menghimpit....
...“Tuan… itu tidak adil…”...
...“Adil ?” Arya tertawa kecil—tawa pendek, rendah, dan gelap. “Siapa bilang aku pernah bermain adil dengan mu ?” Ia mendekat lagi. ...
...Bibir Arya berhenti tepat di telinga Naya, suaranya hampir seperti racun manis. “Kau itu milikku, Naya. Bahkan saat aku menghentikan mu tepat di tepi… kau tetap kembali padaku. Selalu.”...
...Naya menggigit bibir lebih keras, tubuhnya bereaksi meski ia tak ingin terlihat begitu lemah....
...Arya memperhatikan itu—setiap detailnya—dan ia menyukainya....
...“Sekarang,” katanya sambil mengangkat dagu Naya sekali lagi. “Aku tanya untuk terakhir kalinya…” Tatapan-nya menusuk, dominan, tidak memberi ruang bagi penolakan. “…apa yang kau inginkan dariku ?”...
...Dan hening itu menekan Naya dari segala arah—membuat-nya sadar bahwa permintaan apa pun yang keluar dari bibirnya… akan menjadi alat Arya untuk mengikatnya semakin dalam....
...Pertanyaan Arya menggantung di udara. “…apa yang kau inginkan dariku ?”...
...Naya terdiam....
...Bukan karena tidak tahu jawaban-nya—tetapi karena untuk pertama kalinya sejak tadi, ia melihat sesuatu di mata Arya....
...Rasa penasaran. Retakan kecil dalam kontrol sempurna-nya.Dan retakan kecil seperti itu… bisa menjadi celah terbesar....
...Naya menghela napas pelan, seolah benar-benar terpojok. Matanya menunduk, bahunya gemetar ringan. Ia memainkan perannya dengan sangat baik—rapuh, terperangkap, pasrah....
...Arya memperhatikan-nya, puas. Ia mengangkat dagu Naya, memaksa gadis itu menatap....
...“Jawab.”...
...Nada itu dingin, namun ada bayangan kepuasan—Arya yakin Naya akan menyerah....
...Tapi saat tatapan mereka bertemu, Naya justru tersenyum tipis. Hampir tak terlihat. Namun cukup untuk membuat Arya diam sepersekian detik....
...Senyum yang tidak seharusnya muncul dari seseorang yang terjebak....
..."Kenapa tersenyum ?" Arya menajamkan mata, nada suaranya turun menjadi ancaman....
...Naya menggeleng pelan. “Tidak apa-apa, Tuan… aku hanya… sadar satu hal.”...
...Arya mendekat, tatapan-nya berubah lebih gelap. “Katakan.”...
...Naya mencondongkan wajahnya sedikit—tidak banyak, hanya cukup untuk mengganggu ritme napas Arya. Suaranya turun menjadi bisikan licik....
...“Tuan bilang… aku kembali pada Tuan karena aku tidak bisa lepas.” Ia menunggu sepersekian detik, lalu menambahkan,“Tapi apakah Tuan sadar… Tuan juga selalu berhenti tepat sebelum aku jatuh ?”...
...Arya membeku sejenak....
...Naya tersenyum lagi—kali ini lebih jelas. “Seolah Tuan butuh melihat reaksiku… lebih dari apa pun.”...
...Arya menahan napas, samar. Giliran-nya yang kehilangan ritme....
...Naya melanjutkan dengan nada lembut namun penuh hitungan yang kejam:...
...“Tuan bilang aku murahan… tapi Tuan yang tidak pernah bisa membiarkan ku terdiam tanpa sentuhan mu.” ...
...Naya menatap langsung ke mata Arya, menantang dengan elegan. “Karena kalau aku selesai… Tuan kehilangan kendali itu.”...
...Arya mengepal rahang. “Naya—”...
...“Tuan bertanya apa yang aku inginkan,” potong Naya pelan, sangat pelan—namun tegas dan tepat sasaran. “Tapi mungkin pertanyaan-nya di balik saja…”...
...Naya mendekat sedikit, membiarkan napasnya menyentuh kulit Arya, membalik semua permainan yang laki-laki itu bangun....
...“…apa yang sebenarnya Tuan inginkan dari ku, sampai Tuan takut melepaskan kendali ?”...
...Untuk pertama kalinya—sejak permainan ini di mulai—Arya tidak segera menjawab....
...Hening itu berubah berat....
...Gelap....
...Berbahaya....
...Namun kini bukan hanya Naya yang terjepit oleh keinginan Arya pun ikut terseret ke dalam jebakan kecil yang Naya bangun dengan cerdas....
...Naya tidak mengangkat suara, tidak melawan secara kasar, tidak melontarkan perintah apa pun....
...Gadis itu hanya menggunakan satu hal: kebenaran yang Arya mati-matian sembunyikan. Dan itu cukup untuk membalik keadaan....
...Arya akhirnya berbisik, suaranya lebih rendah, lebih kasar—bukan karena dominasi, tetapi karena emosinya goyah....
...“Jangan… coba memanipulasi aku, Naya.”...
...Naya menatapnya lama… lalu tersenyum kecil, tajam. “Itu Tuan yang memulai,” jawabnya lirih. “Aku hanya belajar dari yang terbaik.”...
...Hening itu runtuh seketika begitu Arya kembali mendekat....
...Gerakan-nya cepat, tak memberi ruang. Tangan-nya mencengkeram sisi wajah Naya, tidak keras namun cukup mengikat perhatian gadis itu sepenuh-nya. ...
...Tatapan-nya berubah—lebih gelap, lebih tajam, seperti seseorang yang baru saja kehilangan pijakan dan berusaha merebutnya kembali....
...“Naya,” suara Arya rendah, nyaris seperti geraman teredam,“jangan kira kau bisa membalikkan permainan yang sudah lama menjadi milik ku.”...
...Naya tidak menolak cengkeraman itu....
...Gadis itu justru menatap Arya dengan tenang—mengganggu, hampir lembut, namun mengandung sesuatu yang membuat pria itu semakin gelisah....
...“Aku tidak membalikkan apa pun, Tuan,” ucap Naya pelan. “Saya hanya bertanya.”...
...Arya mempersempit mata. “Tanya apa ?”...
...Naya mengangkat alis tipis, seolah tidak sadar bahwa Arya sedang menghadang seperti badai di atasnya....
...“Tentang apa yang sebenar-nya Tuan inginkan.”...
...Arya mendekat begitu dekat hingga napasnya menghanguskan kulit Naya. “Apa kau pikir aku akan membiarkan mu mengulik pikiran ku seenak-nya ?”...
...Naya tersenyum pelan. “Saya tidak mengulik, Tuan… saya hanya melihat.”...
...Perkataan itu membuat rahang Arya mengeras. Ia mengganti posisi sedikit, tubuhnya menunduk hingga bayangan besar pria itu menelan tubuh Naya sepenuh-nya. ...
...Dominasi yang jelas, mengancam, mengurung....
...“Kau ingin bermain psikologis dengan ku ?” Nada Arya rendah, menguji. “Jangan menantang ku, Naya. Aku jauh lebih berbahaya dari pada yang kau kira.”...
...Naya tetap tenang. ...
...Justru semakin tenang, yang membuat intensitas Arya semakin kacau....
...Gadis itu mengangkat tanganynya perlahan, menyentuh pergelangan Arya yang masih menggenggam wajahnya—bukan untuk melepaskan, tetapi seolah memberi izin....
...Lembut....
...Tidak melawan sama sekali....
...Ironisnya, justru itu yang membuat Arya kehilangan sedikit kendali....
...“Tuan,” bisik Naya, “kalau Tuan benar-benar berbahaya… kenapa Tuan berhenti tadi ?”...
...Arya terpaku....
...Satu detik. ...
...Dua detik....
...Nafasnya berubah berat....
...Naya melanjutkan dengan suara sangat halus, hampir seperti bisikan yang menyelusup ke dalam pertahanan Arya:...
...“Tuan menghentikan-nya bukan karena saya… tapi karena Tuan takut kehilangan momen ketika saya di tepi.” Naya menatap langsung ke laki-laki itu, tak bergeming. “Ketakutan itu… bukan milik seseorang yang benar-benar berkuasa.”...
...Sorot mata Arya meredup gelap—bukan kalah, tetapi tersentak.nIa meraih kedua pergelangan tangan Naya, menahan di atas kepala gadis itu. ...
...Gerakan-nya tegas, mengikat kembali situasi....
...“Diam.” Katanya datar. Singkat....
...Naya tersenyum kecil, lembut, namun mematikan. “Saya diam kalau Tuan mau saya diam,” ucapnya patuh… tapi matanya tidak patuh sama sekali....
...Ada api licik yang menyala di sana. Api yang membuat Arya semakin sulit bernapas....
...Arya mendekat, suara-nya berat tertahan. “Aku tidak suka cara kau menatap ku begitu.”...
...Naya kembali berbicara dengan ketenangan yang menusuk. “Mungkin Tuan tidak suka… tapi Tuan menahan-nya.”...
...Arya menghentak napas, frustrasi, terperangkap antara amarah dan ketertarikan yang semakin tak terkendali....
...“Dan itu,” lanjut Naya pelan, “berarti saya sudah kembali memengaruhi Tuan… bahkan saat Tuan berusaha merebut kendali.”...
...Arya menunduk lebih dekat, hampir menyentuh bibir Naya tetapi menahan diri....
...“Naya…” suaranya rendah dan bergetar marah, “kau bermain api.”...
...Naya balas menatap, lembut, licik, dan menantang tanpa suara. “Kalau begitu… biarkan saya lihat seberapa panas Tuan bisa membakarnya.”...
...0o0__0o0...