Menjalani kehidupan rumah tangga yang bahagia adalah idaman semua pasangan suami istri. Hal itu juga yang sangat diimpikan oleh Syarifa Hanna.
Menikah dengan pria yang juga mencintainya, Wildan Gustian. Awalnya, pernikahan keduanya berjalan sangat harmonis.
Namun, suatu hari tiba-tiba saja dia mendapat kabar bahwa sang suami yang telah mendampinginya selama dua tahun, kini menikah dengan wanita lain.
Semua harapan dan mimpi indah yang ingin dia rajut, hancur saat itu juga. Mampukah, Hanna menjalani kehidupan barunya dengan berbagi suami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Velza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33. Keputusan Papa Riswan
Usai Adnan mengurus biaya perawatan dan kepindahan ruang rawat, Novita kini sudah bisa dipindahkan ke ruang rawat VIP.
Wildan, Mama Ginan, dan Adnan mengikuti langkah kaki suster yang mendorong kursi roda yang diduduki Novita.
Sesampainya di ruang rawat yang baru, Novita langsung dibaringkan di brankar, sedangkan Wildan mulai meletakkan barang bawaan di tempat penyimpanan yang telah tersedia.
"Saya permisi dulu, Pak, Bu," ucap suster berpamitan setelah memasang infus Novita.
"Iya, Sus, terima kasih," balas Mama Ginan.
"Ma ... kenapa Mama masih peduli dengan Wildan? Padahal Wildan udah bikin Mama kecewa dan sakit hati." Wildan duduk di samping mamanya dengan wajah menunduk.
Mama Ginan mengembuskan napas panjang dan menyiapkan kalimat yang akan dilontarkan untuk menjawab pertanyaan Wildan.
"Ya, kamu memang sudah membuat mama kecewa, Dan. Mama pun masih menyimpan sakit saat tahu perbuatanmu yang telah mengkhianati wanita sebaik Hanna, tapi perlu kamu tahu mau sebanyak dan seberat apa pun kesalahanmu, kamu tetaplah darah daging mama. Jadi, tak ada yang bisa memutuskan hubungan antara ibu dan anak."
"Maafin Wildan, Ma." Wildan bersujud di kaki sang mama yang kini sudah berlinang air mata.
"Wildan bukan anak yang baik, Wildan banyak menyusahkan Mama selama ini. Maaf karena belum bisa membahagiakan Mama."
Wildan dan Mama Ginan larut dalam kesedihan yang teramat dalam, sedangkan Adnan hanya bisa melihat keduanya.
"Ingat pesan mama, Wil. Jangan pernah ulangi kesalahan yang sama, cukup Hanna saja yang menjadi korban keegoisanmu. Jaga apa yang ada dan kamu miliki saat ini," tutur Mama Ginan.
"Iya, Ma. Wildan akan selalu ingat pesan Mama, dan nggak akan mengulangi kesalahan yang sama."
Ibu dan anak itupun lantas saling berpelukan, meluapkan rasa rindu yang telah lama terpendam.
Sementara itu, Papa Riswan yang sedang perjalanan menuju bandara, terkejut saat mendapatkan pesan dari aplikasi perbankan. Ada laporan pengeluaran atas nama Mama Ginan yang lumayan besar.
"Untuk apa pengeluaran sebanyak ini? Nggak biasanya mama membeli keperluan dengan nominal segini," gumam Papa Riswan.
Rasa penasaran dan benak yang penuh tanda tanya, Papa Riswan pun mulai mencari tahu untuk apa pengeluaran dengan nominal yang cukup banyak itu.
"Tagihan rumah sakit." Papa Riswan semakin bingung lantaran selama ini tak ada yang pernah berobat jalan ke rumah sakit. Karena tak ingin menduga-duga, beliau pun menghubungi salah satu orang kepercayaannya untuk mencari tahu lebih detail.
"Sebenarnya apa yang kamu sembunyikan, Ma?" batin Papa Riswan setelah menghubungi orang kepercayaannya.
**
"Ma, sudah sore, kita pulang, yuk!" ajak Adnan seraya melihat jam di pergelangan tangannya.
"Iya, nanti keduluan papamu kalau hari ini jadi pulang," balas Mama Ginan.
Mama Ginan dan Adnan pun beranjak berdiri dan menghampiri Wildan yang duduk di samping brankar menemani Novita.
"Dan, mama sama Adnan pulang dulu, soalnya papa sore ini pulang dari luar negeri."
Wildan yang semula fokus dengan Novita langsung mengalihkan pandangan. "Oh, iya, Ma. Makasih udah mau jenguk Novita dan bantu Wildan membayar biaya pengobatannya."
"Sama-sama, salam buat istri kamu. Mama pamit dulu." Mama Ginan mengelus bahu Wildan lalu melangkah pergi dari ruang perawatan Novita bersama Adnan.
Di tengah perjalanan, perasaan Adnan tiba-tiba menjadi gelisah ketika dia menyadari sesuatu.
"Ma," panggil Adnan tanpa mengalihkan pandangannya.
"Iya, kenapa?"
"E ... kartu ATM Mama terhubung ke aplikasi perbankan dan nomor ponsel nggak?" tanya Adnan.
"Iya, aplikasinya ada di ponsel mama, tapi ...,"
Mama Ginan memalingkan wajah pada Adnan. "Nomor ponsel yang dipakai punya papa, Nan."
"Duh, pasti laporan pengeluarannya, masuk di nomor ponsel papa," ujar Adnan.
"Mama lupa, Nan. Tahu gitu tadi pakai punyamu aja, biar nggak ketahuan papa."
"Udah telanjur, Ma. Kalau papa tanya, jawab aja yang sebenarnya, tapi kalau papa nggak tanya mending jangan ngomong dulu. Tunggu waktu yang tepat buat bicara."
"Iya." Mama Ginan yang semula sudah tenang, langsung ketar-ketir karena melupakan satu hal yang penting.
......................
Pukul 7 malam, Papa Riswan sudah sampai di rumah. Mama Ginan segera menyambut kepulangan suaminya itu.
"Lancar kerjaan di sana, Pa?"
"Iya, Ma. Makanya bisa pulang cepat," jawab Papa Riswan seraya tersenyum kecil.
"Adnan ke mana? Kok, nggak kelihatan?" tanya Papa Riswan.
"Biasalah, kalau tahu Papa pulang, dia pasti balik ke apartemennya."
"Anak itu memang nggak pernah berubah," gumam Papa Riswan.
Selagi Papa Riswan membersihkan diri, Mama Ginan menuju dapur untuk menyiapkan makan malam.
"Makan dulu, Pa," ucap Mama Ginan setelah Papa Riswan menyusul ke ruang makan.
"Iya, Ma. Kangen sama masakan Mama," kata Papa Riswan.
"Papa bisa aja." Mama Ginan pun mengambilkan nasi beserta sayur dan lauk pauk di piring.
Tanpa berlama-lama, Papa Riswan langsung menyantap makanan yang sudah diambilkan Mama Ginan.
**
Ma, gimana? Papa tanya nggak?
Saat akan tidur, Mama Ginan mendapat pesan dari Adnan. Beliau pun langsung membalas pesan dari putra bungsunya itu.
Enggak, Nan. Nggak tahu kalau besok, mama juga nggak berani ngomong.
Setelah mengirim balasan itu, tak berapa lama pesan dari Adnan masuk lagi.
Ya udah, kalau emang Papa tanya, langsung jawab aja yang sebenarnya biar nggak makin panjang masalahnya.
Mama Ginan menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan, kemudian mengetikkan balasan pesan untuk Adnan.
Iya, pasti mama bakal bicarakan hal ini sama papa.
Setelah membalas pesan itu, Mama Ginan memutuskan untuk segera tidur.
***
Keesokan harinya, Mama Ginan tengah bersiap untuk ke rumah sakit. Namun, kali ini beliau pergi diantar supir karena Adnan harus bekerja.
Mama Ginan berangkat ke rumah sakit setelah Papa Riswan ke kantor. Beliau masih belum siap menceritakan perihal kemarin.
Saat mobil yang ditumpangi Mama Ginan keluar dari area rumah, tanpa disadari Papa Riswan sudah menunggu di tepi jalan yang tak jauh dari rumah dengan menggunakan mobil lain.
Papa Riswan sengaja tak bertanya sebab ingin mencari tahu sendiri. Beliau sudah bisa memastikan, jika sang istri akan menyanggah setiap pertanyaan yang dilontarkan.
Sesampainya di rumah sakit, Papa Riswan mengikuti Mama Ginan yang berjalan menuju ruang rawat Novita. Tak lupa Papa Riswan memakai masker agar tak ada yang mengetahui.
Mama Ginan masuk ke ruangan Novita, sedangkan Papa Riswan masih di luar. Beliau menunggu waktu sebentar lagi, sebelum menemui sang istri.
Sepuluh menit kemudian, Papa Riswan masuk ke ruang rawat Novita tanpa mengetuk pintu. Sontak saja Mama Ginan, Wildan, dan Novita mengalihkan pandangan ke arah pintu.
"Papa," ucap Mama Ginan yang langsung berdiri saat mengetahui kedatangan sang suami.
"Jadi karena ini ada pengeluaran banyak dari ATM Mama? Diam-diam Mama membayar biaya perawatan wanita tak tahu diri ini," sentak Papa Riswan.
"Pa ... mama bisa jelasin semuanya."
"Jangan marahi Mama, Pa. Mama nggak salah apa-apa," sela Wildan.
Papa Riswan langsung menatap tajam Wildan. "Apa kamu nggak tahu malu, hah? Setelah mencoreng kotoran di wajah orang tuamu, kamu masih berusaha mengemis bantuan untuk membiayai pengobatan wanita itu."
"Pa, sudah. Kita pulang aja, mama akan jelaskan semuanya di rumah." Mama Ginan berusaha menenangkan Papa Riswan yang sudah tersulut emosi.
"Mama nggak perlu jelaskan apa-apa karena papa sudah tahu semuanya. Dan mulai hari ini, papa akan menarik semua kartu yang ada di Mama."
"Tapi, Pa ...,"
"Keputusan papa tidak bisa dibantah," ucap Papa Riswan sebelum Mama Ginan selesai menyanggah keputusan beliau.
Mama Ginan hanya bisa pasrah dengan keputusan sang suami. Beliau juga mengakui jika bersalah karena tak meminta izin dan tak berbicara terus terang.