Tujuh murid Seoryeong Academy terpaksa menjalani detention di hari libur setelah membuat onar di sekolah. Park Jiha, si cewek populer yang semua orang iri. Kim Taera, cewek beprestasi yang sempat jadi primadona namun berakhir difitnah dan dikucilkan. Jeon Junseok, murid bandel kesayangan Guru BK. Kim Haekyung, atlet kebanggaan yang selalu terlihat ceria. Min Yoohan, tukang tidur yang nyaris tidak pernah peduli. Serta Kim Namgil & Park Sojin, Ketua Kelas dan murid teladan yang diam-diam suka bolos demi mojok (pacaran).
Mereka mengira hanya perlu duduk diam beberapa jam, menunggu hukuman selesai. Tapi semua berubah saat seseorang mengunci mereka di gedung sekolah yang sepi.
Pintu dan jendela tak bisa dibuka. Cahaya mati. Telepon tak berfungsi. Dan kemudian… sesuatu mulai mengawasi mereka dari bayang-bayang. Tujuh bocah berisik terpaksa bekerja sama mencari jalan keluar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mara Rainey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 16 : Nightmare
~Happy Reading~
Aku tidak mau mati...
Aku harus keluar dari sini...
Ya Tuhan apa aku sudah mati?
Tuhan tolong selamatkan aku. Aku berjanji akan lebih berbakti pada orang tua dan menyayangi adik-adikku.
Taera benci dirinya sendiri, dia benci keadaan keluarganya. Tapi jika dia berhasil selamat malam ini, Taera berjanji akan lebih bersyukur serta menyayangi mereka.
Semua doa terucap dari bibir komat-kamit Taera. Matanya basah kuyup. Udara busuk meneror indera penciumannya. Air mata ke-10 menetes dari pipi Taera. Kenapa dia harus mengalami semua ini?
Terima kasih untuk pencahayaan minim dalam bentuk lampu remang-remang satu watt, di beberapa sudut Taera jadi bisa melihat bangkai yang telah membusuk. Pemandangan yang sangat cantik, bukan? Tulang belulang manusia dan puluhan tengkorak kepala manusia dibiarkan bertumpuk begitu saja di sudut-sudut.
Terengah-engah, Taera mencoba bangkit berdiri. Nyaris jatuh terduduk akibat pijakan kakinya tak terlalu kuat menopang berat badannya. Dia lemas bukan main. Tersiksa oleh rasa sakit, luka-luka di badannya menjerit. Tapi dia tidak mungkin tidur-tiduran pasrah. Apa yang kalian lakukan jika berada dalam satu ruangan dengan kumpulan mayat? Pasti berusaha mencari jalan keluar 'kan?
Taera masih ingin hidup. Dia tidak mau berakhir naas digantung dan dimutilasi seperti orang-orang ini.
Dia jalan terseok-seok sambil menjepit hidung menggunakan jempol dan telunjuk. Ugh! Bau sekali. Bau busuk! Sambil menahan mual, sebisa mungkin melangkahi potongan tangan dan kaki yang berserakan di lantai. Hampir menginjak genangan darah seandainya dia tidak buru-buru mengerem langkah.
Taera mengitari ruangan besar itu dengan susah payah, bergerak menyusuri dinding, berhenti di depan sebuah pintu. Mencoba memutar pegangannya berkali-kali. Terkunci. Berpindah ke pintu seberang. Terkunci juga. Jalan buntu yang sama. Jenis pintu yang sama.
Gimana ini!? Taera bisa masuk, pasti ada jalan keluar dari neraka terkutuk ini!
Taera tersentak kaget. Dia mendengar suara langkah kaki dari kejauhan. Tidak, tidak, tidak! Jangan bilang orang yang menculiknya sedang menuju kemari! Bisa tamat riwayatnya!
Dalam kepanikan, Taera melangkah kembali ke tengah-tengah ruangan. Kelabakan menoleh ke segala arah, mencari tempat strategis untuk bersembunyi. Tapi tidak menemukan benda-benda yang bisa menghalangi tubuhnya. Tidak di tumpukan kepala itu, tidak di dalam kubangan darah itu, tidak pula diantara potongan tubuh itu! TIDAK ADA YANG BISA DIHARAPKAN!
Akhirnya, dengan pasrah Taera berbaring lagi di posisi awal. Di sebelah mayat pria mata berlubang. Menutup mata, tahan napas, katupkan bibir. Pura-pura mati.
Beberapa menit kemudian, ada langkah kaki yang teramat berat berderap-derap di sekelilingnya. Taera sampai refleks menahan napas. Takut suara napasnya terpantul di tembok dan di dengar oleh pria itu. Kelopak matanya dia katupkan semakin erat. Taera bisa merasakan detak jantungnya naik ke tenggorokan. Ternyata, pura-pura mati tidak gampang. Apalagi kalau tempatnya seseram ini dan ada pria pemangsa manusia yang mondar-mandir mengawasi gerak-gerik Taera.
Pria itu, Oh Changseok, seorang pria yang sering memakai jaket parka berwarna cokelat. Usianya sekitar lima puluh, tetapi wajahnya sudah lapuk dan berkerut-kerut, seakan-akan dia mengalami proses penuaan dengan sangat cepat. Matanya merah dan berair, seolah-olah dia sering menangis. Tapi mana mungkin pembunuh menangis?
Changseok menatap dengan mata lebarnya, mencoba menangkap gerakan. Taera tetap diam, tidak berani bergerak sedikit pun. Matanya mengawasi, menyipit. Taera terus diam, menahan napas. Pria itu bergerak ke arah Taera perlahan, meskipun dia tahu pria ini sangat mampu berlari di lereng gunung dengan kecepatan luar biasa sambil menggendong orang di pundaknya. Dia mengambil langkah hati-hati ke arah Taera, menelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, penuh perhatian, mencari lebih banyak gerakan. Pria itu sekarang berdiri tepat di dekat Taera, sorot matanya yang tajam seakan melubangi mata Taera, tapi cewek itu berhasil tetap diam dan tenang.
Taera ingin sekali menjerit sekuat tenaga saat pria itu merangkak di atas tubuhnya. Dia tidak berani membuka mata merasakan hembusan napas kasar di depan wajahnya. Dia sudah berdoa komat-kamit dalam hati meminta perlindungan Tuhan dan meminta ampun atas segala dosa yang dia lakukan selama hidup, ketika satu tangan pria itu terulur ke kepalanya. Taera terkesiap dan semakin gencar berdoa dalam hati. Bibirnya bergetar takut. Sudah bisa membayangkan bagaimana nasibnya setelah ini. Apakah lehernya akan patah ke kiri? Atau kepalanya akan terputar seratus delapan puluh derajat?
Di luar dugaan, tangan itu bergerak naik ke rambutnya. Mengelusnya dengan gerakan pelan. Taera masih tidak berani membuka mata. Kini dia diliputi rasa heran luar biasa. Apa memang biasanya selalu begini? Apa ini salah satu trik pembantaian yang paling populer? Sayangi dulu korbanmu lalu robek jantungnya?
Tau-tau saja Taera terisak pelan. Dia benci menangis dan dia tidak ingin menangis. Siapa sih yang bisa tenang kalau dihadapkan dengan Monster Pencabut Nyawa? Ya Tuhan. Taera tak ingin kepalanya bergabung di antara tumpukan kepala-kepala itu.
"Please... please jangan bunuh aku... please..." Taera terisak. "Please... kumohon..."
Hening menyiksa. Taera menunggu. Menunggu perutnya disobek, lehernya dipuntir atau apapun yang bisa dilakukan makhluk sakit jiwa sadis sekaliber orang ini. Dia juga sudah siap menjerit kalau-kalau ada satu bagian tubuhnya yang terpotong dalam hitungan detik. Tapi alih-alih jadi korban adegan pembantaian, dia malah mendengar langkah kaki pria itu menjauhinya.
"Aaaaaaaargh!" Teriakan seorang pria terdengar putus asa, memilukan, dan memekakkan telinga. Berakhir dengan suara leher tercekik. Disusul kemudian benda tajam seperti pisau merobek ke dalam daging. Memantulkan bunyi menjijikkan dan bikin mual. Bau amis darah menguar.
Tes... tes... tes...
Taera sudah tahu. Itu pasti bunyi tetesan darah dari isi perut seseorang. Dia masih terisak dan menutup rapat kedua matanya. Tak berani mencari tahu apa, bagaimana dan siapa itu yang sedang dikoyak disana. Daritadi dia berkeliling tapi baru tahu sekarang masih ada manusia hidup lain selain dirinya. Dan sekarang... orang itu sudah berubah menjadi santapan!
Berikutnya giliran dia.
Giliran dia!
Taera menahan napas mendengar bunyi gedebum tak jauh dari jarak pandangnya. Kali ini dia merasakan sesuatu itu bergerak. Bukan bergerak, lebih tepatnya menggelinding seperti bola basket saat menggelinding di jalanan aspal yang keras. Ragu-ragu dia membuka mata.
Oke. Rupanya itu bukan bola basket.
Itu kepala manusia. Dengan bola mata terbelalak kosong, seolah balik menatapnya.
.
.
.
Oh Jangwoo memiliki kelainan pada tulang kakinya. Panjang sebelah. Tungkai kaki kanannya lebih panjang dibanding kaki kiri. Namun itu tidak pernah mempersulit pria ini. Tidak pernah, satu kali pun. Dia selalu berhasil mendapatkan wanita mana saja yang dia inginkan. Mulai dari yang cantik sampai yang biasa-biasa saja tapi memiliki badan supermodel.
Jangwoo memasukan nomor kode ke keypad, mengintip melalui lubang kecil, gadis itu masih di tempat tidur. Tidak mungkin dia bisa lolos dari rantai gembok.
Saat Jangwoo melangkah masuk, Jiha memutar kepalanya ke arah pria itu, matanya basah dan bengkak akibat terlalu banyak menangis. Jangwoo menutup pintu di belakang punggungnya dengan suara keras yang menggema di sekitar ruangan.
Jiha memiliki ketertarikan yang mendalam terhadap ilmu psikologi. Mempelajari watak orang. Dia tertarik mempelajari gerak-gerik dan pikiran manusia.
Disiplin. Ini membutuhkan disiplin dan fokus.
Orang-orang seperti ini percuma dilawan dengan tangisan. Itu hanya akan membuatnya besar kepala dan merasa berkuasa.
Ayo berpikir, Jiha! Stop crying like a stupid kid! Kau ini kenapa sih seharian menangis terus? Dasar cengeng! Jangan biarkan emosi membengkokkan pikiranmu!
"Ini kamarku," ucap pria itu bangga. "Kau suka kamarku?" Dia mengajukan pertanyaan seperti anak kecil.
Jiha dihadapkan pada pilihan sulit. Apakah dia harus berpura-pura atau meludahi wajahnya?
No! Think smart, okay? Daritadi kau sudah bermain buruk!
Jiha harus bermain pintar. Jutaan tahun evolusi telah mengubah pikiran manusia menjadi alat bertahan hidup yang banyak akal, mampu melakukan jauh lebih banyak daripada yang bisa kita bayangkan. Jiha suka membaca kasus pembunuhan sadis yang pernah menimpa wanita-wanita di cerita tragis. Jiha berjanji pada dirinya sendiri dia tidak akan menjadi salah satu dari wanita-wanita malang dalam cerita tragis yang dibacanya.
"Ya," sahut Jiha. "Ya, aku suka kamarmu."
"Aku mengecat ulang kamar ini, aku tahu kau suka warna merah jambu gelap."
Senyuman lenyap di wajah Jiha. Apa...?
Jiha dilemma harus tersenyum atau menggigil ketakutan mendengarnya. Darimana orang ini bisa tahu warna merah jambu gelap warna kesukaannya?
"Kau baik hati sekali, terima kasih," ucap Jiha tetap berpura-pura manis.
Jangwoo menerima ucapan terima kasih seperti kucing yang diusap-usap, punggungnya nyaris melengkung naik karena rasa senang.
Jangwoo duduk di sisi ranjang, mengamati wajah cantik Jiha dengan pemujaan yang terlalu kentara. "Bagaimana kabarmu?" Dia bertanya dengan nada sopan, nada yang sama untuk menanyakan cuaca hari ini.
"Aku baik-baik saja." Jiha mencoba menampilkan seulas senyum. Yang jelas-jelas dusta, karena sejak kapan orang "baik-baik saja" diikat di ranjang menggunakan rantai besi dan punya mata bengkak sebesar biji salak.
"Bagus, bagus," Dia mengangguk-angguk. "Apa kau ingin aku melepaskan ikatanmu?"
Jiha mengamati Jangwoo, kepalanya dicukur model cepak. Dia terlihat normal kalau kita menemuinya di luar sana, di pinggir jalan. Bukan di ruangan sempit ini, cukup tampan dan rapi untuk ukuran orang aneh sakit jiwa. Kaos putih ngepas badan, celana jogger abu-abu.
Tampilan antisipasi di wajah Jiha sangat transparan, membuat pria itu tersenyum. Jiha boleh saja berpikir begitu dia dilepaskan, itu artinya selangkah lagi menuju kebebasan.
Jangwoo menggelengkan kepala, "Aku melepaskan pergelangan tangan dan pergelangan kakimu supaya kau bisa tidur dan ke kamar mandi, tapi jangan pernah berpikir untuk mencapai pintu keluar. Aku mengawasimu."
"Itu bunga tulip putih untukku juga?" Jiha tiba-tiba menunjuk vas bunga plastik warna merah yang biasa-biasa saja.
"Aku tahu tulip adalah bunga favoritmu. Tulip mekar di tengah-tengah bulan Juli. Tulip istimewa untuk gadis yang sangat istimewa," ucapnya. "Akankah Junseok kekasihmu itu memikirkan sesuatu seperti ini?" Jangwoo berbisik ke telinga Jiha.
Kekasih? Jiha benar-benar ingin menusuk mata pria ini karena membuatnya semakin kangen dengan mulut pedas Junseok yang tak pernah berhenti mengganggunya.
Setidaknya cowok itu tidak palsu. Pria ini palsu sekali.
"Junseok bahkan tidak ingat aku suka tulip," sahut Jiha mendalami perannya sebagai gadis patuh dan baik hati, meski sudah diseret paksa lalu diikat ke tiang tempat tidur seperti binatang.
Kamar pink dan bunga tulip, dua hal yang Jiha sukai tidak membuat dirinya senang. Justru dia cemas. Itu bukan bunga tulip yang baru ditanam, dan kamar ini tidak berbau seperti baru dicat. Itu membuat Jiha curiga.
Berapa lama dia sudah menunggu untuk membawaku kemari? Berapa lama dia pikir aku akan tinggal di sini?
Jangwoo membelai pipinya lagi. Jiha membayangkan Junseok yang sedang menatapnya, bukan pria tua ini. Satu jari menelusuri rahang Jiha dari dagu ke telinga, melewati lekuk-lekuk telinga dan rambut, kemudian dia akan menggamit seikal rambut, lalu mereka berciuman dengan lembut.
Jiha tersenyum sambil memundurkan wajahnya dari serangan bibir orang itu. Senyum di wajah Jiha juga tidak asli, sama palsunya, dia mencoba membodohi Jangwoo.
Pria itu kembali berusaha, "Rambutmu harum," dia berbisik di telinga Jiha. "Seoyeon adikku bilang aku boleh membawamu kemari dan harus langsung membunuhmu setelah menemukanmu, itu bagian dari permainan. Aku benci permainan. Aku punya aturan sendiri. Prinsip yang kupegang. Di atas sana dia boleh seenaknya menerapkan peraturan, tapi di bawah sini? Jangan harap!"
Jiha merinding mendengar itu.
Pria itu kemudian mengambil tangan kiri Jiha dan meletakkannya di dada.
Bukan saatnya untuk malu. Jiha juga sedang memainkan permainannya sendiri.
Jiha menggerakkan jari-jarinya menyusuri dada pria itu, merasakan otot-otot mengeras di bawah sentuhannya. "Wow," gumam Jiha, sebagian kecil dari dirinya bersungguh-sungguh. Ototnya keras seperti batu.
Jiha buru-buru menarik tangannya kembali, tersenyum. "Kau sangat kuat."
"Terima kasih."
"Jadi, sudah berapa lama kau tinggal di sini?"
Pria itu bungkam.
Tatapan Jiha melumpuhkan. "Please... aku hanya ingin mengenalmu."
"Cukup lama."
"Darimana asalmu?"
Jangwoo mengerutkan kening seolah berusaha mengingat. "Hongdae. Keluargaku berkeliling melakukan hal-hal yang menyenangkan, ayah dan ibuku sering tampil melakukan trapeze. Kau pasti tau. Dalam sirkus itu dilakukan berpasangan, meloncat, berputar di udara."
"Wah hebat..."
"Tetapi Dalsoo membunuh atasan kami, begitu pula Mama. Aku juga membunuh satu orang," Dia menceritakan pengalaman membunuh dengan nada enteng.
Jiha berusaha tenang dengan senyum ramah tidak manusiawi. "Berapa banyak orang yang telah kau bunuh?"
Binar di mata Jangwoo redup. Ekspresinya berubah dari kepolosan kanak-kanak menjadi muak. Jangwoo menolak menjawab. "Aku tidak mau bicara lagi."
Jiha gemetaran ditatap dengan sorot setajam itu.
"Hal pertama yang harus kau ingat adalah, ini rumahku, kau baru kuizinkan bicara saat aku mengajukan pertanyaan. Mengerti?"
"Ya," sahut Jiha terlalu takut untuk menunduk.
"Kalau kau mencoba pergi dari sini, aku tidak punya pilihan lain," katanya. "Aku tidak akan segan-segan berbuat sesuatu yang akan kau sesali, maka dari itu aku harus memastikan kau aman di bawah sini."
Ancaman yang disamarkan menjadi perhatian.
"Ada makeup di kamar mandi," Pria itu melembut, melepaskan gembok dengan kunci-kunci yang dia bawa. "Kau pasti tahu caranya mempercantik wajahmu itu, bubuhkan eye shadow dan lipstik tebal-tebal. Aku juga sudah menyiapkan baju untukmu. Begitu aku masuk, kau harus sudah turun dari tempat tidur, kau harus berdiri menyambutku. Apa pun yang kuminta harus kau lakukan. Lakukan tanpa bertanya! Aku akan memintamu untuk melepas pakaianmu dan kau harus melakukannya."
Jiha ketakutan, pria itu bisa mendeteksi rasa takut dari mata Jiha. Kemudian dia mengeluarkan sesuatu dari belakang punggung, menunjukkan pisau. "Jika kau tidak melakukannya dengan sukarela, aku bisa membuatmu melakukannya dengan ini. Jadi jangan coba-coba mengetes kesabaranku."
Jiha mengangguk, keengganan terlihat jelas di matanya.
Jangwoo menempelkan ujung pisau ke dada Jiha. "Aku bisa memotongnya sekarang, jika kau mau."
Jiha menggelengkan kepalanya.
Jangwoo tersenyum dan mencondongkan tubuh ke depan untuk meninggalkan kecupan ringan di dahi Jiha.
.
.
.
Jiha memandangi dirinya sendiri di cermin, cermin yang ditanam dan disemen ke dalam tembok. Cahaya yang terang menampakkan semua pori-pori di wajahnya.
Tatapannya pindah ke make up yang berderet di counter. Pria itu punya semuanya. Terlalu mempersiapkan segalanya. Lipstik bermacam-macam warna. Merah terang. Cokelat tua. Magenta. Putih. Eye liner dan eye shadow. Foundation, pensil alis, dan bedak.
Jiha menuang cairan foundation ke telapak tangan lalu mengoleskannya di wajah. Biasanya dia hanya memakai makeup yang tipis, tapi hari ini lain. Jiha membubuhkan eyeliner warna abu-abu tua di atas dan di bawah pelupuk matanya. Kemudian membubuhkan eyeshadow warna gelap dan maskara hitam tebal-tebal, menggunakan perona warna koral muda di tulang pipinya dan bibirnya.
Jiha mendandani dirinya sendiri dalam tampilan favorit para pria. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, tubuhnya wangi parfum. Dia mengenakan gaun pink ketat. Pakai sepatu hak tinggi berwarna senada. Karena cuma itu pilihan yang disediakan si pria cabul.
Sempurna! Jiha sudah mirip "peliharaan" bapak-bapak hidung belang.
Tunggu... ini masih kurang...
Bibir Jiha kurang menantang! Lebih bagus pakai warna merah tua.
Dia mengamati permukaan meja, mencari lipstik merah tua. Diambilnya tabung demi tabung. Semua warna ada kecuali merah tua.
Lipstik itu pasti ada di salah satu laci.
Jiha membuka laci paling atas. Dua tabung lipstik menggelinding di dalamnya. Ketika meraih salah satu lipstik itu, dia menemukan selembar foto yang tertelungkup di laci. Penuh rasa ingin tahu, dia mengambil foto itu dan membaliknya. Jiha kaget sekali. Bulu kuduknya berdiri. Dia melihat foto itu, menatapnya tak percaya.
"Astaga!" bisiknya.
Tangan Jiha gemetar. Foto itu hampir jatuh.
Foto dirinya.
Sedang tidur memakai piyama dress di ranjang kamar. Foto itu diambil kemarin malam.
Jiha menutup mulutnya dengan tangan.
Dia tak boleh menjerit. Dia harus tetap tenang.
Tapi bagaimana dia bisa tetap tenang?
Seseorang memang telah masuk ke kamarnya.
Jangwoo....
Jangwoo menyelinap masuk dan memotretnya diam-diam selagi Jiha tidur!
Dia gila dan berbahaya!
Jiha hanya punya satu pilihan. Keluar. Menyingkir dari pria gila itu.
Jiha meraih pensil alis, mengamatinya selama beberapa saat, mendadak muncul ide super jahat di otak Jiha. Senyum licik muncul. Alih-alih dipakai, Jiha menggenggam kedua ujung pensil alis itu kuat-kuat hingga patah.
.
.
.
Jangwoo meletakkan tas peralatan di atas meja dan mengeluarkan isinya, satu per satu. Dia menimbang gergaji di tangannya, kelima jarinya mengelus permukaan bilah pisau yang terbuat dari logam, mengamati mata pisau dari jarak dekat, dibuat terpana oleh pisau kesayangannya. Mengeluarkan enam pisau pengganti dan meletakkannya di atas meja. Dua pisau dibeli dari toko perangkat keras di daerah Itaewon, pisau daging besar untuk memotong tendon dan pisau kecil untuk menguliti. Dia selalu membeli pisau-pisau baru. Alasan pertama, dia butuh yang benar-benar tajam. Alasan kedua, dia langsung menyingkirkannya begitu menggunakannya. Tidak peduli seberapa sering dia membersihkannya, pasti selalu meninggalkan jejak potongan kecil darah dan tulang yang dapat melemparkannya ke balik jeruji. Alasan ketiga, dia merasakan kepuasan tersendiri membeli "peralatan tempur" sambil membayangkan seorang gadis menunggu di rumah. Tersenyum ketika mengingat bagaimana pramuniaga melayaninya dengan senyum ramah seperti melayani Raja. Andai saja dia tahu apa yang akan Jangwoo lakukan dengan perkakas dapur itu.
"Opppaaaa!"
Suara cempreng merusak kesenangan Jangwoo. Kedua matanya terbuka. "Kenapa lagi, Seung-Ah?"
"Oppa curang ih!" Seung-Ah menghentak-hentakkan kakinya di lantai. "Katanya aku boleh main sama boneka baruku! Tapi oppa selalu merebut semua mainanku!"
"Nanti Oppa kembalikan ya. Oppa pinjam dulu sebentar."
"Kapan? Kalau sudah tidak bergerak? Aku bosan dengan mainan yang tidak bisa bergerak!"
Jangwoo menampakkan ekspresi malas. "Kau tidak butuh yang bergerak, kau cuma mau mendandani mereka dengan pakaian-pakaian konyol. Aku butuh yang bergerak."
Seung-Ah cemberut, bibirnya mencebik, wajahnya berkerut-kerut, matanya berkaca-kaca, pertanda banjir bandang segera datang. "Oppaaaa jahaaat! Aku mau mainan baru juga..."
"Kau sudah punya mainan baru! Kenapa tidak main sama pak guru?"
"Tidak mau! Aku mau yang rambutnya panjang dan kulitnya halus seperti putri!" Seung-Ah menangis keras-keras sambil menghentak-hentakkan kaki kiri dan kanan.
Jangwoo menggeram. Sabaar... sabaar... jangan lempar pisau ke kepalanya.
"Ada satu laki-laki cantik yang bisa kau dandani jadi putri." Jangwoo balik badan menghadapi si rewel dengan senyum bijak kakak pengertian. "Bagaimana kalau dia saja yang jadi boneka barumu?"
Seung-Ah berhenti menangis.
"Tapi... tapi... Oppa janji tidak akan merebut mainanku lagi?"
Jangwoo mengusap-usap kepala adiknya. "Aku janji."
.
.
Bersambung...
Kalo berkenan boleh singgah ke "Pesan Masa Lalu" dan berikan ulasan di sana🤩
Mari saling mendukung🤗
Rasanya kaya bener bener ada di sana dan ikut ngerasain apa yg tokoh tokohnya alami