Valeria Sinclair, seorang pengacara berbakat dari London, terjebak dalam pernikahan kontrak dengan Alexander Remington—CEO tampan dan dingin yang hanya melihat pernikahan sebagai transaksi bisnis. Tanpa cinta, tanpa kasih sayang.
Namun, saat ambisi dan permainan kekuasaan mulai memanas, Valeria menyadari bahwa batas antara kepura-puraan dan kenyataan semakin kabur. Alexander yang dingin perlahan menunjukkan celah dalam sikapnya, tetapi bisakah Valeria bertahan saat pria itu terus menekan, mengendalikan, dan menyakiti perasaannya?
Ketika rahasia masa lalu dan intrik keluarga Alexander mulai terkuak, Valeria harus memilih—bertahan dalam permainan atau pergi sebelum hatinya hancur lebih dalam.
🔥 Sebuah kisah penuh ketegangan, gairah, dan perang hati di dunia penuh intrik kekuasaan. 🔥
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leona Night, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tekanan Batin
Alex’s POV
Aku tidak tahu lagi harus menghubungi siapa jika terkait masalah Valeria selain sahabat karibnya Jennifer. Terus terang aku tidak pernah mengenal Jennifer secara personal. Tapi dari hasil Investigasi anak buahku di dapat info bahwa Jennifer punya pengaruh besar pada Valeria. Maklum dia adalah satu satunya sahabat yang dikenal Valeria sejak masih tinggal di panti asuhan. Mereka menempuh pendidikan di jurusan yang sama, sempat bekerja di tempat yang sama sebelum akhirnya Valeria menerima tawaranku untuk pergi ke Paris.
Aku bisa pastikan dia tidak akan menyukaiku. Dia pasti beranggapan bahwa aku adalah penghancur hidup Valeria. Yah…aku bisa terima apapun anggapannya asalkan dia mau membantu untuk menyatukan kami.
Aku berdiri di pagar rumahnya yang asri di pinggiran kota London. Kubunyikan bel, dan tak lama Jennifer muncul dengan wajah terkejut persis dihadapanku. Raut wajahnya yang bundar tampak tegang, dengan mata sedikit melotot dia berkata padaku.
“Kau Alexander Remington pengusaha baja itu?” tanyanya
“Ya benar,” jawabku singkat
“Mau apa kau kemari? “Ujarnya tanpa mempersilahkan aku masuk.
“Jennifer, please, aku mohon bantuanmu.” ujarku dengan wajah yang kuusahakan se melas mungkin
“Katakan cepat, bantuan apa yang ingin kau dapatkan dariku?”
“Valeria, aku ingin kau bicara padanya,”
Jennifer memutar matanya ke atas seolah dia merasa permintaanku mengganggunya.
“Silahkan masuk, kita bicara di teras belakang saja,” ujarnya seraya mempersilahkan aku masuk
Setelah menghidangkan kopi dan beberapa kue, dia duduk dihadapanku dan kami pun memulai percakapan.
"Aku tidak tahu apa yang kau inginkan dari Valeria lagi, Alexander. Dia sudah berusaha keras untuk melupakanmu." ujar Jennifer seraya menatapku tajam seolah aku ini pesakitan yang layak di interogasi.
Aku balik menatapnya dengan pandangan penuh harap,"Aku tidak ingin dia melupakanku, Jennifer. Aku ingin menebus kesalahanku."
Jennifer mengernyit skeptis, dia mencecap kopi panas yang dibuatnya lalu berkata,"Kau pikir semudah itu? Setelah semua yang kau lakukan? Kau terlalu banyak menyakitinya, Alex."
Aku menutup mataku dan mengepalkan tanganku menahan gejolak emosiku sendiri.
"Aku tahu. Dan itu alasan kenapa aku tidak bisa membiarkan dia pergi tanpa berjuang untuknya."
Jennifer menatapku lama sebelum akhirnya menghela napas.
"Aku tidak akan membantumu mendapatkan hatinya kembali. Tapi… aku akan melakukan satu hal untukmu."
Aku sontak menatapnya penuh harap.
"Apa itu?"
Jennifer menyesap kopinya lagi , lalu berkata, "Aku akan mengingatkan Valeria bahwa Damian punya andil besar dalam perpisahan kalian. Aku akan mengingatkannya juga bahwa dia masih istrimu—secara hukum. Dan sebelum masalah kalian benar-benar selesai, dia tidak layak membuka diri untuk pria lain."
Aku terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan.
"Itu lebih dari cukup. Terima kasih."
Setelah berbincang soal masa lalu Valeria dan dirinya di panti asuhan, kami pun mengakhiri percakapan itu, dan aku pun undur diri. Aku tahu aku tidak bisa sepenuhnya mengandalkan bantuan Jennifer. Aku tahu bahwa aku harus melakukan lebih dari sekadar membuat Valeria mengingat perkawinan kami.
Aku tahu bahwa aku dan dia tidak punya banyak memori membahagiakan. Sikapku terlalu buruk dan tidak bersahabat selama dia bersamaku. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa ada momen dimana kami melebur jadi satu saling mengikatkan diri dan jiwa kami. Dan hal itulah yang akan aku coba ingatkan padanya.
******
Valeria’s POV
Kesibukan bekerja, ikut persidangan dan menjadi pengacara bagi sejumlah wanita yang membutuhkan pertolongan tidak membuat luka batinku membaik. Ada satu titik di malam malam tertentu aku sangat merindukan Alex sekaligus membencinya di saat bersamaan.
Kondisi macam itu membuatku tidak mampu mengatasi kesedihanku dan aku menjadi tidak stabil. Aku bisa diam dan tidak bicara pada siapapun sampai beberapa hari, bahkan aku pernah tidak makan selama tiga hari.
Adalah Jennifer yang mengetahui kondisiku pertama kali.
“ Aku lihat kau jarang makan dan selalu diam. Kau jarang mau diajak pergi dan keluar makan malam atau pergi ke club malam. Ada apa dengan mu? Mengapa kau seperti ini”
Aku diam membisu seolah tidak mampu berkata apapun.
“Val, kau harus bertemu Alex dan menyelesaikan masalah kalian, atau kau pergi ke psikiater untuk berobat,” ujar Jennifer penuh penekanan.
“Aku baik baik saja Jen. Kau jangan terlalu mendramatisir,” jawabku.
“No kau tidak baik baik saja. Kau bermasalah. Ini hubungi Psikiater langgananku dr Michael carter. Tapi di atas segalanya masalahmu ini sebenarnya bersumber dari ketidaktegasan dirimu menghadapi Alex. Coba kalau kau memang merasa sudah tidak kuat, ajukan saja gugatan cerai,”
Seketika aku menangis histeris dan berterik teriak.
‘Aku ga kuat Jen, aku gak kuat, please tolong aku Jen,”
Jennifer spontan memelukku dan menenangkan ku,”Maaf…maafkan aku. Aku mungkin terlalu keras padamu. Kau harus konsul ke Psikiater, mintalah rehat barang dua hari. Aku antar kau ke dr. Michael. Sekarang juga,”
*******’
Disinilah aku sekarang, di ruang praktek dr Michael, duduk di sofa empuk, menatap lantai dengan mata kosong. Aku merasa kelelahan, terbebani oleh perasaan yang tidak bisa aku jelaskan.Selama berminggu-minggu, aku sudah mencoba meyakinkan diri bahwa kepergianku dari Rumah Alex adalah keputusan terbaik. Namun, semakin aku berusaha melupakan dia, semakin aku merindukannya.
Dr. Carter mengamati ku dengan ekspresi tenang, "Kau terlihat sangat stress dan tertekan. . Apa yang sedang kau rasakan?"
Aku tersenyum pahit, mengusap keningku dengan frustasi, "Aku benci mengakuinya, Dok… tapi aku merindukannya."
Dr. Carter mengangguk, dia tampak tidak terkejut dengan apa yang kukatakan.
.
"Itu wajar. Alexander adalah bagian besar dalam hidupmu, dan kehilangan seseorang yang kita cintai bukanlah hal yang mudah."
Aku Menggeleng dan dan tak lama air mataku pun menetes.
"Tapi aku tidak boleh merindukannya. Aku tidak boleh membiarkan diriku kembali jatuh ke dalam perangkapnya..
"
Dr. Carter menatapku dengan sabar, lalu dia kembali berkata, "Apakah kau yakin ini benar-benar perangkap, atau hanya ketakutanmu sendiri yang membuatnya tampak seperti itu?"
Aku terdiam dan hatiku bergejolak. Pikiranku lah yang mengatakan Alex menciptakan perangkap untukku. Namun hatiku berkata lain. Hatiku selalu berteriak, “ Kau mencintainya.”
Dr. Carter akhirnya berkata, "Ada dua kemungkinan, Valeria. Kau bisa melanjutkan hidupmu dan membangun masa depan baru… atau kau bisa kembali dan mencoba menyelesaikan hubungan yang belum benar-benar berakhir."
Aku menutup mataku mendengar beliau bicara. Nada suaranya yang lembut dan tidak menghakimi membuatku tiba tiba merindukan sosok ayah. Andai aku punya ayah, tentu ayahku akan membantuku mengatasi masalah ini. Tentu dia akan jadi Guardian Angel bagiku seperti dalam film.
" Manapun yang kau pilih, kau harus melakukannya dengan penuh keyakinan. Karena hidup dalam keraguan hanya akan terus menyakitimu. Manusia dengan keyakinannya bisa menyelesaikan berbagai tantangan yang tampak mustahil. Bisa menarik keberuntungannya dan menyelamatkannya dari banyak bencana. Sementara mereka yang selalu ragu ragu, tidak akan pernah ke mana mana, dan tidak akan pernah meraih apapun. Itulah kekuatan pikiran.” jelas dr Michael.
“Tapi ini soal cinta dokter, aku memulai segalanya dengan Alex dengan jalan yang salah. Aku tidak menggunakan hatiku di awal perkawinan. Aku hanya menggunakan logika ku untuk mengatasi kesulitan keuangan waktu itu. Sementara Alex, dia memanfaatkan kelemahanku untuk mendapat hak waris keluarganya.”
Dr Michael mengangguk dan memandangku dengan seksama, “Ya aku tahu kau pun telah menceritakannya padaku. Tapi semua itu berubah. Kalian berkembang secara batin. Kau menyelamatkan nyawanya, dia merasakan kasih sayangmu. Dia mungkin juga punya luka yang kau tidak tahu. Oleh karenanya, saranku, bicaralah dengannya dari hati ke hati. Lalu ambil kesepakatan bersama. Hal itulah yang akan membuatmu sembuh,”
Aku mendengarkan semua nasihat dr Michael dan merasa ada kebenaran di sana, tapi aku juga tidak tahu apakah aku sanggup melakukannya.
*****
Alex’s POV
Aku duduk dengan gelisah menanti kabar dari dr Michael tentang kondisi Valeria. Akulah yang merekom kan dokter Michael lewat Jennifer. Bukan karena aku ingin tahu rahasia Valeria, tetapi karena aku peduli pada kesehatannya.
Tak lama ponselku berdering, dokter Michael memang berjanji padaku untuk memberitahu bagaimana kondisi Valeria. Jujur aku sangat khawatir.
Dr. Carter berbicara dengan hati-hati padaku melalui telepon.
"Aku tidak bisa memberitahukan padamu detail Kondisi kesehatan mental dan emosi Valeria, Alexander. Itu melanggar etika profesi"
Aku menghela nafas panjang mencoba mengerti posisinya sebagai tenaga profesional.
"Aku hanya ingin tahu… apakah dia baik-baik saja?"
Dr. Carter terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab:
"Sejujurnya? Tidak. Dia tidak baik-baik saja. Dia mencoba melupakanmu, tetapi hatinya belum benar-benar bisa melakukannya. Hati dan pikirannya tidak sinkron. Sehingga saat ini dia bisa dikatakan mengalami stress derajat sedang. "
Aku menutup mata, aku tahu betul kondisi Valeria terjadi karena ulahku, aku merasa dadaku sesak.
"Lalu apa yang harus kulakukan?"
Dokter Michael berkata lembut, "Bantu dia menemukan jawabannya, Alexander. Atau lepaskan dia dengan cara yang benar. Kau sebagai laki laki harus bertindak lebih tegas. Apakah kau mau meneruskan hubungan kalian, atau kau akan mengakhirinya? Jika kau masih mau bertahan dengannya lakukan dengan baik. Namun jika kau ingin melepasnya, maka lakukan pula dengan cara yang benar,”
Aku terdiam lama setelah panggilan itu berakhir. Aku merasa bahwa mungkin sudah saatnya aku mengambil langkah tegas. Hanya ada dua pilihan, menarik Valeria kembali dalam pelukanku sebagai istri yang sesungguhnya … atau benar-benar melepaskannya.Dan aku tahu… bahwa aku belum siap untuk mengambil keputusan apapun.
*****