Menikah secara tiba-tiba dengan Dean membuat Ara memasuki babak baru kehidupannya.
Pernikahan yang awalnya ia kira akan membawanya keluar dari neraka penderitaan, namun, tak disangka ia malah memasuki neraka baru. Neraka yang diciptakan oleh Dean, suaminya yang ternyata sangat membencinya.
Bagaimana kisah mereka selanjutnya? apakah Ara dapat menyelamatkan pernikahannya atau menyerah dengan perlakuan Dean?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalu Unaiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 33
Ara menatap ke luar melalui jendela mobil yang melaju dengan kecepatan sedang, saat ini sedang hujan. Tepat saat dia dan Bimo hendak meninggalkan restoran, hujan mulai mengguyur dengan lebat. Di sepanjang jalan, di pinggir jalan depan toko-toko dan kios-kios terlihat beberapa pengendara sedang berteduh, menunggu hujan yang sepertinya belum akan reda. Meski hujan cukup deras namun jalanan masih terbilang ramai, terlihat air sudah mulai menggenang di aspal, jika hujannya awet kemungkinan besar akan menimbulkan banjir.
Ara hanya diam sejak dia memasuki mobil dengan Bimo, setelah percakapan mereka di restoran tadi, Ara tidak lagi banyak bicara. Bukan karna dia marah kepada Bimo, dia tahu dengan benar bahwa apa yang Bimo katakan padanya adalah sebuah kebenaran. Ara hanya merasa jika dia mengatakan sesuatu dengan suasana hatinya yang sedang buruk saat ini, bisa jadi akan melukai perasaan Bimo. Dia tidak ingin melukai siapa pun, termasuk laki-laki di sampingnya ini, Bimo memang menaruh rasa padanya namun bukan berarti hal itu memberi Ara hak untuk bisa menyakitinya.
Dalam perjalanan yang cukup macet karena hujan itu Ara banyak berfikir, sebenarnya apa yang membuatnya berfikir bahwa pernikahannya dengan Dean dapat dia selamatkan hanya dengan dia yang berjuang, bukankah untuk mempertahankan suatu hubungan diperlukan dua belah pihak? Apa Dean juga ingin mempertahankan pernikahan ini seperti Ara? Jelas jawabannya tidak, lalu kenapa laki-laki itu tidak mengajukan gugatan cerai ke pengadilan jika memang sangat ingin bercerai dari Ara?
Ara mengerjapkan matanya, pertanyaan itu seharusnya sudah Ara tanyakan dari awal. Ara menoleh ke samping, pada Bimo yang terlihat sangat fokus mengemudi. Kemungkinan jawaban dari pertanyaan itu bisa dijawab oleh Bimo.
“Bimo, apa aku boleh bertanya?”
Bimo menoleh sebentar, “tentu boleh, apa yang ingin kau tanyakan?”
Ara menelan ludahnya, sedikit tidak enak rasanya menanyakan tentang Dean pada Bimo, sebelumnya Ara bisa leluasa menanyakan tentang Dean tanpa khawatir apa pun, namun sekarang setelah mengetahui perasaan Bimo, tidak etis rasanya menanyakan itu padanya. Tapi Ara tidak punya pilihan lain.
“kalau Dean memang sangat ingin bercerai, mengapa dia tidak mengajukan gugatan cerai ke pengadilan? Mengapa harus aku yang mengajukan gugatan?”
Bimo menoleh sebentar, lalu kembali fokus menatap jalanan di depannya.
“sebelum perusahaan diserahkan pada Dean, Dean diberi syarat oleh kedua orang tuanya, dia harus menikah dengan gadis pilihan mereka. Dean langsung setuju waktu itu karna dia fikir setelah menikah dia masih bisa bercerai, namun ternyata tante Ayana sangat licik, dia menambahkan syarat lain sebelum menyerahkan perusahaan itu pada Dean, yaitu Dean tidak boleh bercerai kecuali yang mengajukan gugatan perceraian adalah sang istri dalam hal ini adalah kamu. Karna jika Dean yang menggugat, dia akan kehilangan perusahaan.” Jawaban dari Bimo lantas membuat Ara mengerti alasan mengapa harus dia yang mengajukan gugatan cerai dan sekaligus menjawab pertanyaan yang selama ini tidak pernah benar-benar Ara temukan jawabannya.
“jadi, karna itu juga dia sangat membenciku?”
***
Hari ini Dean pulang dari kantor lebih awal dari biasanya. Dia tidak mampir ke club atau tempat lain, benar-benar langsung pulang ke rumah. Suasana hatinya yang tak kunjung membaik adalah penyebabnya, dia tidak ingin ke club karna kemungkinan dia akan bertemu Bimo di sana.
Dean memasuki rumah, tidak langsung masuk ke kamar untuk membersihkan diri, dia memilih berjalan menuju ruang makan, menarik kursi lalu duduk sambil memerhatikan Ara yang sedang berkutat di dapur mempersiapkan makan malam. Perempuan itu terlihat terkejut melihat kepulangannya yang lebih awal. Biasanya saat dia pulang, makan malam sudah tersaji di atas meja dan Ara tak terlihat lagi di sana.
Lima belas menit kemudian Ara menghidangkan makanan di atas meja dengan begitu hati-hati, satu persatu dia letakkan dengan pelan, seakan jika dia menimbulkan suara sedikit saja dia akan dalam bahaya, mata Dean yang bagaikan laser seperti akan melubangi kepalanya, membuat Ara tak leluasa bergerak.
“bagaimana rasanya makan siang dengan Bimo?”
Ara mengangkat wajah, bersitatap dengan Mata Dean yang melihatnya dengan dingin, laki-laki itu terlihat menyeringai. Bagaimana laki-laki itu bisa tau? Apa Bimo yang mengatakannya? Tapi rasanya tidak mungkin.
“kenapa diam?” Dean kembali bertanya, kali ini seringai di wajahnya menghilang digantikan dengan rahangnya yang mengeras.
“kami hanya makan siang biasa.” Ara menjawab sambil terus menunduk, tangannya sibuk menyendok nasi ke piring Dean.
Dean seketika tertawa, “kami?” tanyanya dengan nada menyindir.
Ara mempercepat gerakan tangannya, dia sekarang sedang mengambil nasi untuk dirinya sendiri. Dia harus cepat pergi dari sana.
Dean mendengus kasar “jadi kalian sudah bersama?” Ara mengembuskan nafas pelan “aku tidak mengerti maksudmu mas,” ucap Ara lalu berbalik hendak pergi membawa sepiring nasi dengan lauk di atasnya. Dia tidak ingin menyulut api pertengkaran, Ara tau ujung dari pertengkaran ini seperti apa, dia akan terluka lagi.
“kau mau kemana? duduk, makan di sini,” perintah Dean.
“aku akan makan di dap-“
“jadi kau lebih suka makan dengan laki-laki lain dari pada dengan suamimu sendiri?”
Langkah Ara terhenti, suami? Apakah sekarang dia mengakui dirinya suami Ara?
“aku lebih nyaman makan di dapur, lagi pula aku sudah terbiasa,” ucap Ara melanjutkan langkahnya.
Dean mengumpat, bangkit dari kursinya lalu berjalan cepat mengitari meja makan, dia mencekal lengan Ara, hampir saja makanan di piring Ara tumpah ke lantai.
“apa kau tidak mendengar aku menyuruhmu duduk?”
“lalu apa yang terjadi jika aku sudah duduk? Apa kau tidak akan marah lagi padaku? Apakah semuanya akan baik-baik saja jika aku duduk di kursi itu?”
Ara berusaha melepaskan cekalan tangan Dean di lengannya. Dean terlihat sedikit terkejut mendengar bentakan Ara. Ini pertama kalinya perempuan itu terlihat marah.
“kau hanya ingin menghindar Ara, kenapa? Apa kau takut perselingkuhanmu terbongkar?”
Cengkraman Dean pada lengan Ara semakin menguat, Ara sedikit meringis namun tak dihiraukan oleh Dean yang sedang tersulut amarah.
Mendengar perkataan Dean, Ara seketikan mendongak, menatap laki-laki di depannya yang juga tengah menunduk menatapnya. Mata Ara mulai memerah, sepertinya dia akan kembali menangis.
“aku tidak mengerti mas, apa kau memang sengaja melakukan ini padaku, kau menyuruh Bimo mendekatiku lalu kemudian kau marah padaku dan menuduhku berselingkuh dengan Bimo, aku tidak mengerti maksudmu. Apa ini rencanamu untuk bisa meminta cerai dariku? Jika memang itu yang kau inginkan maka tidak perlu kau menyuruh Bimo, kita bisa bercerai, aku akan mengajukan gugatan cerai secepatnya.”
Demi mengatakan itu, Ara merasakan seluruh tubuhnya gemetar, tidak ada yang bisa dia lakukan lagi, dia tidak bisa terus-terusan berertahankan jika Dean sangat ingin dia pergi. Dia tidak ingin berjuang lagi, setahun ini sudah cukup melelahkan. Jika memang perceraian adalah ujungnya, maka mereka sudah sampai.