Tak kunjung garis dua, Inara terpaksa merelakan sang Suami untuk menikah lagi. Selain usia pernikahan yang sudah lima tahun, ibu mertuanya juga tak henti mendesak. Beliau menginginkan seorang pewaris.
Bahtera pun berlayar dengan dua ratu di dalamnya. Entah mengapa, Inara tak ingin keluar dari kapal terlepas dari segala kesakitan yang dirasakan. Hanya sebuah keyakinan yang menjadi penopang dan balasan akhirat yang mungkin bisa menjadi harapan.
Inara percaya, semua akan indah pada waktunya, entah di dunia atau di akhirat kelak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Oktafiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33. Nadya bertingkah lagi
Bu Azni sudah di perbolehkan untuk pulang setelah dirawat selama hampir lima hari. Saran dokter adalah, untuk tidak membuat beliau mendapat kabar yang mengejutkan. Kalaupun mendesak, harus mengatakannya secara halus.
Selama lima hari itu juga, Bu Azni tidak banyak bicara. Kondisinya selalu sama yaitu, melamun dan berbicara irit. Nara sampai bingung apakah masalah Antika sampai mengguncang jiwa beliau? Bukankah uang salah memang harus dihukum?
Pagi itu, ketika Nara berada di rumah Bu Azni, Onad, mantan suami Antika datang bersama Dika, sang Putra. Nara menyapa ramah kedatangan laki-laki tersebut begitu juga dengan Arjuna.
Suaminya itu sampai tidak ke kantor hanya untuk menyambut kedatangan mantan kakak iparnya. "Dika! Apa kabar?" tanya Nara ketika dari arah pintu, Dika sudah memasang senyumnya.
"Tante Nara! Dika rindu Tante," jawab Dika, bocah berusia delapan tahunan itu. Tanpa basa-basi, Nara langsung membawa Dika dalam pelukan.
Arjuna dan Onad yang melihat itu, hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan. "Mama kemana, Jun? Bolehkah aku bertemu beliau?" tanya Onad kepada Arjuna.
"Boleh, Bang. Dika biar sama Nara dulu tidak apa-apa. Atu Dika mau ikut jenguk Oma?" tawar Arjuna lembut.
Dika mengangguk. "Dika juga rindu Oma. Katanya Oma sakit ya, Om?" tanya Dika polos.
Arjuna mengangguk dan segera mengajak keduanya menemui sang Mama. Setibanya di kamar milik Bu Azni, Dika yang diminta lebih dulu menyapa beliau. "Oma! Katanya Oma sakit?" ucap Dika ketika baru tiba di ambang pintu.
Bu Azni yang sedang melamun, seketika tersentak dan menoleh ke sumber suara. "Dika!" pekik Bu Azni penuh binar di matanya.
Namun ketika melihat Onad, binar itu meredup dan berganti dengan tatapan tajam. "Saya tidak butuh kedatangan kamu kesini. Kenapa? Kamu pasti senang telah memenjarakan anak saya bukan?" tanya Bu Azni ketus.
"Terserah Mama mau menganggap aku seperti apa. Antika itu memang harus mendapatkan pelajaran agar tidak menjadi manusia yang egois lagi."
Nara yang mendengar itu, memilih pamit dan enggan ikut campur. Begitu juga Arjuna yang merasa tidak enak hati. "Bang? Kalau aku tinggal tidak apa-apa kan? Mungkin, Abang ingin berbicara serius dengan Mama," ucap Arjuna pelan.
Setelah mendapat anggukan dari Onad, baru Nara dan Arjuna keluar dari kamar Bu Azni. Setibanya di ruang tengah, Nara benar-benar melupakan keberadaan Nadya yang kini sedang duduk termangu.
"Nadya? Sarapan dulu gih. Kamu kan belum makan pagi," pinta Nara pelan.
"Kenapa semua orang begitu menyayangimu, Mbak? Kenapa semua orang seperti tidak menganggap keberadaan ku? Kenapa?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja membuat Nara mengernyitkan kening bingung.
"Kamu bicara apa sih, Nad? Jangan aneh-aneh deh," sahut Arjuna merasa pusing sendiri.
"Bukankah aku benar? Sejak tadi yang disapa hanya Mbak Nara. Padahal, aku juga istri Mas Arjuna kan? Beta saja bersikap dingin padaku? Kenapa?" tanya Nadya lagi.
Nara menghembuskan napas lelah. "Ya sudah. Aku pulang saja kalau begitu. Pekerjaanku masih banyak juga, Mas." Pada akhirnya, Nara berniat untuk pergi dari sana.
Dia sudah terlalu lelah menghadapi rasa cemburu yang Nadya miliki. Seolah-olah, hanya dirinya yang paling terluka. Nara pun berusaha memaklumi karena Nadya kini sedang berbadan dua.
"Aku pulang dulu ya, Mas?" pamit Nara yang membuat Arjuna seperti tidak rela. Namun, Nara tidak peduli karena hari ini masih jatah Nadya. Dia tidak mau dianggap mencuri waktu lagi oleh istri kedua suaminya.
Setibanya di rumah, Nara segera membuka laptop miliknya dan mulai mengerjakan naskah yang telah dikirim oleh pusat. Larut dalam ribuan paragraf, membuat perasaan Nara menjadi lebih baik.
Apalagi ketika novel yang dia revisi mengenai kisah cinta anak muda. Serasa Nara ingin muda lagi. Mengingat itu, Nara tertawa sendiri.
Dua jam Nara tenggelam, dering di ponselnya membuat Nara menghentikan gerakan sejenak. Nama Dissa tertera sebagai penelepon.
"Assalamu'alaikum, Dis? Ada apa?" tanya Nara ketika telepon telah terhubung.
"Waalaikumsalam. Kamu di rumah kan? Ada yang ingin aku bicarakan. Kebetulan, hari ini aku free," Sahut Dissa di seberang sana.
"Di rumah kok, Dis. Datang saja. Aku tunggu ya." Setelah itu, telepon terputus.
Nara menghentikan pekerjaan dan memilih untuk menyiapkan camilan. Tidak berapa lama, bel rumahnya berdenting dan Nara bisa pastikan jika itu Dissa.
Benar saja. Ketika telah membuka pintu, sosok Dissa muncul dengan senyum merekahnya. Nara balas tersenyum lalu memeluk sahabatnya itu.
"Kok rumah sepi, Ra? Pada kemana?" tanya Dissa heran.
"Lagi ke rumah Mama."
"Oh iya. Bagaimana kondisi Tante Azni? Aku mau jenguk, tapi kamu tahu sendirilah bagaimana sikap beliau ke aku. Daripada kedatanganku membuat beliau marah, lebih baik aku mendoakan dari kejauhan. Walau dalam hati, aku senang karena ibu mertua kamu itu mendapatkan karmanya," ucap Dissa panjang yang lebar yang segera mendapat gelengan kepala dari Nara.
"Jangan begitu dong. Bagaimanapun, beliau adalah seorang ibu yang wajib dihormati," balas Nara kurang setuju dengan pendapat Dissa.
Decakan sebal pun terdengar. "Heran aku sama kamu. Bisa-bisanya masih bersikap baik pada orang yang menyakiti. Kalau aku jadi kamu, aku sudah tidak sudi lagi." Kini, Disaat justru yang berucap menggebu-gebu.
Melihat itu, Nara tertawa kencang. "Sabar, Buk. Semua ada masanya masing-masing."
Tapi di balik itu semua, kamu luar biasa, Ra. Sebagai sahabat, aku bangga," ucap Dissa tak urung tersenyum hangat.
"Ya sudah. Mau minum jus atau tidak?" tawar Nara yang segera diangguki oleh Dissa. Dengan meminta bantuan asisten rumah tangga, jus dan camilan sudah terhidang di atas meja.
"Eh. Aku baru tahu loh jika ternyata, kamu yang merekomendasikan aku langsung ke kantor penerbitan. Kenapa harus begitu sih?" cecar Nara teringat beberapa hari yang lalu Pak Bagas mengatakannya langsung.
Dissa hanya menyengir hingga menampakkan dengan giginya yang putih. "Ya gimana dong? Mungkin hanya dengan itu aku bisa bantu kamu untuk keluar dari stres. Bagaimana? Apa niatku efektif?" tanyanya penuh harap.
Nara mengangguk dengan senyum yang terkembang. "Sangat efektif. Mulai hari itu, aku tak ingin lagi memikirkan hal-hal yang di luar kendaliku. Larut dalam jutaan huruf benar-benar membuat aku lupa jika aku punya masalah. Terima kasih ya, Dis," jawab Nara benar-benar bahagia.
"Syukurlah."
Lalu, Dissa bergumam panjang, membuat Nara menatap heran. "Apa ada yang ingin kamu katakan?" tanyanya memancing.
Dissa menghela napas pelan. "Ini tentang atasan kamu. Tiba-tiba dia datang dan mengatakan ingin menjalin hubungan yang serius denganku. Jelas hal itu membuatku terkejut. Bagaimana menurutmu?" tanya Dissa dengan bola mata yang bergerak gelisah, menandakan temannya itu sedang gugup.
Nara terkekeh. "Kamu sudah dewasa. Bisa di bilang sudah cukup matang. Coba mengenalnya lebih dulu, Dis. Jodoh tidak ada yang tahu. Kalau kamu cocok, kenapa tidak dilanjut?"