Firman selama ini berhasil membuat Kalila, istrinya seperti orang bodoh yang mau saja dijadikan babu dan tunduk akan apapun yang diperintahkan olehnya.
Hingga suatu hari, pengkhianatan Firman terungkap dan membuat Kalila menjadi sosok yang benar-benar tak bisa Firman kenali.
Perempuan itu tak hanya mengejutkan Firman. Kalila juga membuat Firman beserta selingkuhan dan keluarganya benar-benar hancur tak bersisa.
Saat istri tak lagi menjadi bodoh, akankah Firman akhirnya sadar akan kesalahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masuk jebakan
"Saya ingin Kalila besok malam, Firman! Bawa dia ke Golden Hotel, kamar 402!"
"Baik, Pak. Akan saya lakukan!" angguk Firman.
Mata pria itu berbinar cerah ketika melihat setumpuk uang cash senilai lima ratus juta dihadapannya. Dia tak peduli lagi akan hal lain. Termasuk, jika Kalila akan sangat marah kepadanya jika tahu bahwa Firman tega mengorbankannya hanya demi uang.
"Jangan kecewakan saya, Firman! Kamu tahu konsekuensi yang harus kamu tanggung jika berani ingkar janji, kan?" Glen tersenyum miring. "Tenor pinjaman kamu akan saya majukan menjadi tiga bulan saja. Paham?"
Pria itu kemudian menepuk-nepuk pipi Firman beberapa kali. Glen memang sangat meremehkan Firman.
Di mata Glen, Firman tak lebih dari seorang sampah yang tak patut dihargai meski hanya seujung kuku. Selain siap menjadi kaki tangan, rupanya Firman juga rela menjual istrinya. Padahal, bukankah harga diri seorang suami terletak pada seberapa besar mereka menjunjung harga diri dan kehormatan istrinya?
"Pak Glen tenang saja! Saya pasti membawa Kalila ke hadapan Anda sesuai kesepakatan kita."
"Bagus. Senang berbisnis dengan kamu, Firman!" Glen tersenyum senang sembari menepuk-nepuk kembali pipi Firman.
"Ayo kita pergi!" ajak Glen kemudian kepada anak buahnya.
Pria jahat itu dan anak buahnya akhirnya meninggalkan toko Firman. Senyum puas terbit di wajahnya. Ia sudah sangat tak sabar untuk tidur bersama Kalila_istri Firman.
*
Kini, tersisa hanya Firman didalam ruangannya. Uang lima ratus jutanya lekas ia masukkan ke dalam brangkas sebelum ketahuan seseorang.
Rencananya, uang itu akan Firman gunakan untuk menambah modal toko. Tak akan ia beritahukan tentang keberadaan uang lima ratus juta itu kepada siapa-siapa terutama kepada Ibu, kakak dan juga istri keduanya yang sangat matre.
"Aku harus menyusun sebuah rencana! Kalila harus berhasil aku bawa keluar untuk menemui Pak Glen. Tapi, gimana caranya, ya?" Firman berpikir dengan sangat keras.
"Apa aku campurkan obat tidur saja ya, ke air minumnya? Kalau mengajak Kalila dengan alasan dinner atau jalan-jalan saja, pasti dia nggak mau."
Firman pun menjentikkan jarinya. Dia tersenyum dengan puas. Sepertinya, idenya tidaklah terlalu buruk.
Firman pun lekas keluar dari ruangannya. Begitu membuka pintu, ia dikejutkan dengan keberadaan Eko yang berdiri tepat di depan pintu.
"Kamu ngapain di sini, Ko?" tanya Firman.
Pegawai yang membantu Firman menjual salah satu tokonya itu tampak menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Gerak-geriknya terlihat sedikit gugup.
"Ma-maaf, Pak. Tadinya saya berniat mau bicara sesuatu sama Bapak."
"Soal apa, Ko?" tanya Firman dengan alis mengernyit.
"Itu... Saya cuma mau tanya sesuatu sama Bapak."
"Kalau mau tanya, tanya saja!"
"Ehmmm... apa saya nggak dapat bonus karena sudah membantu Bapak mendapatkan pembeli, tempo hari?"
Seketika, sang atasan berdecak dengan kesal. Sebagai orang yang terkenal sangat pelit, tentu saja Firman ogah mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk para pegawainya.
Kecuali, jika sang pegawai berjenis kelamin perempuan dengan paras cantik, bodi aduhai dan penampilan yang selalu terbuka. Tentu saja, Firman tak pernah hitung-hitungan dalam hal menggelontorkan rupiah.
"Waktu itu kan, saya sudah belikan kopi sama kasih kamu duit lima puluh ribu. Apa masih kurang, hah?" omel Firman sambil berkacak pinggang.
"Ku-kuranglah, Pak," sahut Eko takut-takut.
Mata Firman seketika melotot tajam. Dia tak senang dengan jawaban Eko.
"Dasar tidak tahu terima kasih! Kamu sudah nggak betah kerja di sini lagi, ya?"
Nyali Eko seketika menciut.
"Maafkan saya, Pak!" Ia segera memutuskan untuk kabur sebelum dirinya benar-benar kena pecat.
"Dasar manusia mata duitan! Nggak ada bersyukurnya dikasih sesuatu," omel Firman sambil geleng-geleng kepala.
Dia pun berjalan mencari keberadaan Vivi. Ada yang ingin Firman perintahkan kepada perempuan itu.
"Vi, ke ruangan saya!" titah Firman setelah menemukan perempuan itu didepan toilet bersama dua orang pegawai lainnya.
"Baik, Pak!" angguk Vivi dengan wajah yang masih terlihat kesal.
Karena ada rekan kerja yang lain, maka Vivi harus berpura-pura bekerja dengan profesional. Bahasanya pun ditata sesopan mungkin saat berbicara dengan Firman.
Padahal, tanpa berpura-pura pun, semua juga sudah tahu tentang hubungan gelap antara dirinya dan Firman.
"Kenapa lagi, Pak?" tanya Vivi setelah tiba di ruangan Firman.
Pluk!
Firman melemparkan uang tunai sebesar dua juta rupiah ke pangkuan perempuan itu. Tentu saja, Vivi langsung senang bukan main.
"Buat saya, Pak?" tanyanya basa-basi.
"Tentu saja. Pelayanan kamu tadi sangat memuaskan. Saya suka walaupun sebenarnya saya belum sempat keluar," kata Firman setengah memuji, setengah mengeluh.
Permainan mereka tadi terpaksa berhenti karena kedatangan Glen. Jadilah, Firman merasa sangat gantung.
"Ya, mau gimana lagi, Pak? Namanya juga ada tamu. Tadi, Bapak juga jahat banget sama Vivi. Masa' Vivi di dorong gitu aja, sih?" gerutu Vivi dengan bibir mengerucut.
"Ya, maaf sayang! Namanya juga panik," sahut Firman. "Vi, kamu mau tambahan duit lagi, nggak?" tanya Firman kemudian. Sudah cukup basa-basinya.
"Mau dong, Pak! Saya harus ngapain? Apa harus puasin Bapak lagi?"
Vivi berdiri. Berjalan menghampiri Firman kemudian memainkan jari telunjuknya di dada pria itu.
"Bukan itu," geleng Firman seraya menahan jemari Vivi.
"Terus?"
"Beli obat tidur buat saya!"
*
*
*
Kalila menatap pesan yang masuk didalam gawainya dengan ekspresi datar. Dia pun melanjutkan kembali langkahnya. Berjalan menuju ke arah lift yang akan membawanya ke lantai dimana divisinya berada.
"Kalila!!" panggil Diandra dengan semangat.
Kalila tersenyum. Dia mengangkat paper bag berisi minuman pesanan Diandra dengan antusias.
"Thank you, Kalila! Kamu baik banget, deh! Maaf, ya, aku jadi ngerepotin kamu," seru Diana.
"It's oke. Nggak apa-apa," jawab Kalila. "Diminum, dong! Aku udah capek-capek beliin, loh."
Diandra mengangguk. Ia meminum minuman kopi miliknya dengan hati yang senang.
"Kalila, kok bengong? Lagi ada masalah, ya?" tanya Diandra. Tak biasanya ia melihat Kalila yang melamun seperti sekarang.
"Nggak ada kok, Di. Aku cuma lagi mikirin soal pekerjaan aja." Kalila berdalih. Padahal, didalam kepalanya sedang sibuk menyusun rencana untuk membalas kelakuan Firman.
"Kalau ada apa-apa, jangan sungkan cerita sama aku, ya! Aku siap dengerin, kok."
"Thanks, Di!"
Kalila tersenyum. Ia merasa terharu dengan ucapan Diandra. Sejak dulu, Diandra memang satu-satunya orang yang sangat tulus menganggapnya teman.
Dan, Kalila menyesal pernah meninggalkan Diandra sendirian hingga menjadi target bullying dari sebagian rekan kerja mereka.
*
Seiring perputaran jarum jam yang tanpa henti, kini matahari perlahan mulai turun dari singgasananya. Itu artinya, waktu pulang telah tiba.
"Kalila, aku duluan, ya!" pamit Diandra. Seperti biasa, perempuan berkacamata itu selalu pulang dengan dijemput oleh sang Ayah yang berprofesi sebagai ojek online.
"Iya, Di. Hati-hati, ya!"
"Kamu juga," sahut Diandra.
Setelah Diandra terlihat menghilang di kejauhan, Kalila baru menghubungi supir keluarganya untuk menjemputnya dan mengantarkan pulang seperti biasa.
Tentu saja, Firman dan keluarganya tidak tahu bahwa Kalila selalu dijemput dengan mobil dan orang yang sama. Mereka mana peduli dengan soal remeh semacam itu.
"Kalila!"
Mata Kalila seketika membulat. Sepersekian detik berikutnya, dia menghela napas malas kemudian kembali fokus pada ponselnya.
"Kalila! Kok, Mas datang malah dicuekin?" tanya Firman.
Demi menjalankan rencananya, dia sengaja menjemput Kalila dari kantornya.
"Ngapain Mas Firman ke sini?" tanya Kalila sinis.
"Mas mau jemput kamu."
"Jemput aku? Nggak salah?"
"Kamu kan istriku, Sayang! Wajar dong, kalau Mas sesekali mau jemput kamu. Jadi, pulang sama aku, ya!" bujuk Firman.
"Ogah!" tolak Kalila.
"Kalila, ayolah! Mas mohon!" desak Firman.
"Aku udah terlanjur pesan taksi online. Bentar lagi juga dateng."
"Cancel aja taksi online-nya! Kamu pulang sama aku!"
"Nggak!"
"Kalila!" panggil Firman dengan tegas. "Pilih ikut pulang dengan patuh atau tetap di sini dan temani Mas untuk mengumumkan ke rekan-rekan kerja kamu bahwa Mas dan kamu adalah suami istri? Mana yang kamu mau, hah?"
"Ck!" Kalila berdecak sebal. Jika teman-temannya tahu bahwa Firman adalah suaminya, bisa berabe. Kalila tidak mau jika ada yang mengenal apalagi mengetahui soal video Firman dan Lia saat digrebek dulu. Tentu saja, itu akan menjadi senjata utama bagi mereka untuk membully kalila.
"Oke, aku ikut kamu!" ucap Kalila yang akhirnya mengalah. "Mana mobil kamu?" tanyanya kemudian.
"Di sana," tunjuk Firman ke arah parkiran sebelah barat.
Kalila melangkah lebih dulu dengan langkah yang dihentak-hentakkan sebagai bentuk protes. Sementara, Firman turut mengekor dibelakang Kalila dengan bibir yang menyeringai licik.
Begitu masuk ke dalam mobil, Firman kemudian menawarkan sebotol air minum untuk Kalila.
"Minum dulu, Sayang!"
"Aku nggak haus."
"Dikit aja! biar tenggorokan kamu nggak kering. Kan, daritadi kamu ngomong sama aku selalu pakai urat."
Kalila memutar bola matanya malas. Kendati demikian, Kalila tetap menerima botol air minum itu lalu meneguknya sedikit.
"Kena kamu, La!" bisik Firman dalam hati.
bhkn sbntr lgi km jdi gembel ples kena pnyakit kelamin.... krna istrimu lia & vivi itu smuanya jalang... /Facepalm//Facepalm/