NovelToon NovelToon
Alter Ego Si Lemah

Alter Ego Si Lemah

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi / Fantasi Wanita / Bullying dan Balas Dendam / Balas dendam pengganti
Popularitas:801
Nilai: 5
Nama Author: Musoka

Apakah benar jika seorang gadis yang sangat cantik akan terus mendapatkan pujian dan disukai, dikagumi, serta disegani oleh banyak orang?

walaupun itu benar, apakah mungkin dia tidak memiliki satu pun orang yang membencinya?

Dan jika dia memiliki satu orang yang tidak suka dengan dirinya, apakah yang akan terjadi di masa depan nanti? apakah dia masih dapat tersenyum atau justru tidak dapat melakukan itu sama sekali lagi?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sheila Dwi Amelia

Happy reading guys :)

•••

“Kupu-kupu dan kantong semar gak akan pernah bisa menjadi seorang sahabat.”

Vanessa menopangkan dagu, melihat ke arah buku paket biologi yang terbuka di atas meja. Namun, fokus Vanessa tidaklah di situ, melainkan di satu kalimat yang telah sang kakak ucapkan melalui mimpinya tadi malam.

Vanessa berpikir dengan sangat keras, berusaha memahami maksud dari perkataan sang kakak, tetapi semakin ia memikirkan akan hal itu, dirinya justru semakin tidak mendapatkan jawaban, dan malah membuat kepalanya menjadi terasa sakit.

Hembusan napas panjang terdengar dari hidung Vanessa, membuat Karina yang sedang fokus mendengarkan penjelasan dari guru sontak menoleh ke arahnya.

“Vee, lu kenapa?” tanya Karina dengan pelan, mendekatkan wajah ke tubuh Vanessa seraya menepuk pelan pundak sang sahabat.

Vanessa tersentak kala merasakan tepukan yang diberikan oleh Karina. Ia sontak menoleh ke arah samping, dan mendapati sang sahabat sedang menatap khawatir ke arahnya.

“Vee, lu gak papa?” Kedua mata Karina menatap sendu Vanessa.

Vanessa mengembuskan napas beberapa kali, berusaha menormalkan detak jantungnya yang berubah menjadi cepat. Setelah kembali menjadi normal, ia mengangguk pelan sebagai jawaban dari pertanyaan Karina.

“Yang bener, Vee? Kalo tubuh lu belum kuat, jangan dipaksain.” Tangan kanan Karina bergerak menyentuh dahi Vanessa, merasakan suhu tubuh milik sang sahabat.

Vanessa tersenyum manis, menurunkan tangan Karina yang masih berada di dahinya. “Iya, aku gak papa, kok, Kar.”

Karina menatap lekat wajah Vanessa, mengembuskan napas lega kala melihat senyuman manis milik sang sahabat. “Syukur—”

“Vanessa Veronia Mahesa, tolong sebutkan unsur penyusun DNA dan RNA,” potong seorang guru perempuan yang sedang menjelaskan materi di depan kelas.

Mendengar namanya dipanggil, membuat Vanessa sontak berdiri dari tempat duduk, melihat ke arah guru perempuan yang sedang menatap ke arahnya.

Guru perempuan itu berjalan menuju meja guru, lalu mendudukkan tubuhnya di sana dan kembali menatap ke arah Vanessa.

“Ayo, sebutkan,” kata guru perempuan itu, seraya melipat kedua tangan di atas meja.

Vanessa diam beberapa saat, berusaha mengingat jawaban dari pertanyaan guru itu yang sudah sempat ia baca beberapa bulan lalu di dalam buku paket.

Selagi Vanessa mencari jawaban, Angelina yang duduk di meja paling depan sontak menoleh ke arah belakang, menatap khawatir ke arah sang sahabat. Ia menggerakkan bibir, berusaha membantu Vanessa untuk menjawab pertanyaan dari guru biologi.

Bahkan, bukan hanya Angelina. Karina juga berusaha membantu Vanessa untuk menjawab pertanyaan dari guru itu menggunakan sebuah kode.

Akan tetapi, Vanessa mengabaikan bantuan dari kedua sahabatnya itu, dan sampai sekarang masih terus berfokus untuk mengingat materi yang sudah dirinya baca beberapa bulan lalu.

“Vanessa, gimana? Kamu bisa jawab?,” tanya guru itu.

Vanessa mengembuskan napas panjang. “Adenin, guanin, sitosin, dan timin. Itu adalah unsur-unsur penyusun DNA. Sedangkan penyusun RNA yaitu adenin, guanin, sitosin, dan urasil. Itu jawabannya, Bu, benar atau tidak?”

Guru biologi itu mengangguk, memberikan tepuk tangan pelan atas jawaban dari Vanessa, lalu menyuruh gadis itu untuk kembali duduk.

Hembusan napas lega terdengar dari mulut Karina. Ia bersandar pada sandaran kursi, melihat Vanessa yang sudah duduk kembali. “Gue kira lu gak bisa jawab, Vee.”

Vanessa tersenyum tipis. “Aku bisa jawab, kok, Kar. Cuma tadi lagi ngingat jawabannya aja yang kebetulan aku sedikit lupa.”

Karina membalas senyuman Vanessa, menegakkan badan, kembali memperhatikan guru biologi yang lanjut menjelaskan materi di depan kelas.

Beberapa menit berlalu, guru biologi itu kembali bertanya kepada salah satu murid tentang materi yang sudah dirinya jelaskan. Kali ini, yang mendapatkan pertanyaan adalah seorang gadis berkulit putih tanpa riasan makeup di wajahnya dengan rambut hitam panjang bermodel butterfly.

Gadis itu bangun dari tempat duduk, menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru biologi itu. Ia tidak hanya sekedar menjawab, tetapi juga menjelaskan secara detail jawaban yang telah dirinya berikan.

“Dia siapa, Kar? Aku, kok, baru lihat dia, ya, selama pindah ke sekolah ini,” tanya Vanessa, menatap ke arah gadis itu dengan mata yang berbinar dan mulut sedikit terbuka.

Karina melipat kedua tangan di atas meja, ikut melihat ke arah gadis yang sedang menjawab pertanyaan dari guru biologi. “Dia Sheila, Vee. Sheila Dwi Amelia, dia baru aja pindah ke sini dua hari yang lalu.”

“Dulunya dia sekolah di mana, Kar?” Vanessa terus menatap ke arah gadis itu. Bahkan, setelah gadis itu selesai menjawab pertanyaan dari guru biologi dan kembali duduk di tempatnya semula.

“Kalo itu ….” Karina bersandar pada sandaran kursi, mengambil pulpen dari atas meja, lalu memainkannya. “Kalo gak salah dia pindahan dari Bandung, deh, tapi gue gak tau nama sekolahnya apa.”

Vanessa mengangguk seraya ber-”oh” ria, mengalihkan pandangan ke depan kelas, melihat guru biologi yang sedang menggambarkan proses menghitung hasil DNA.

“Dia pinter banget, ya, Kar?” Vanessa menyalin gambaran guru biologi itu ke dalam buku tulis miliknya.

Karina melihat ke arah Vanessa, masih dengan terus memainkan pulpen yang ada di tangan kanannya. “Katanya, sih, gitu, Vee. Kata anak-anak dia selalu dapat peringkat satu di sekolah yang dulu.”

Vanessa berhenti menyalin, menoleh ke arah Karina dengan menunjukkan raut wajah penuh kekaguman. “Wah, dia keren banget, Kar.”

Karina tersenyum tipis saat melihat raut wajah Vanessa. Ia menaruh pulpen di atas meja, lalu menggerakkan tangan kanan untuk mencubit pelan pipi kiri sang sahabat. “Lu juga keren tau, Vee. Ah, ralat, lu sama Angel tepatnya, kalian berdua keren banget.”

Vanessa melepaskan tangan Karina yang masih setia mencubit pelan pipinya. “Aku keren? Keren dari mananya coba, Kar? Kalo Angel, sih, aku setuju.”

“Lu keren tau, Vee. Lu itu—”

Belum sempat Karina menjawab pertanyaan dari Vanessa, suara bel pertanda istirahat berbunyi, membuat gadis itu berhenti bersuara, dan dengan segera memasukkan semua buku pelajarannya miliknya ke dalam tas.

“Akhirnya, istirahat juga,” kata Karina, setelah selesai memasukkan semua buku ke dalam tas.

“Kar, lanjutin, aku penasaran,” pinta Vanessa, seraya memasukkan buku-buku miliknya ke dalam tas.

Karina meregangkan otot-otot tubuhnya yang sangat keram karena terlalu lama dalam posisi duduk, seraya menatap ke arah Vanessa. “Pokoknya lu itu keren, Vee.”

“Kalian berdua lagi ngobrolin apa, sih, keknya gue perhatiin dari tadi seru banget?” tanya Angelina, yang telah berdiri di samping meja Karina.

Mendengar suara dari Angelina, membuat Karina dan Vanessa sontak menoleh ke arah gadis itu, lalu menunjukkan senyuman lebar.

“Bukannya dijawab malah senyum-senyum.” Angelina menatap Karina dan Vanessa secara bergantian.

Karina bangun dari tempat duduk, merangkul pundak Angelina. “Bukan hal yang penting, kok. Ya, gak, Vee?”

Vanessa mengangguk, ikut bangun dari tempat duduk. “Iya, Kar.”

Tatapan mata Angelina berubah menjadi menyeledik. “Yang bener?”

“Iya. Udah, ayo, ke kantin, gue laper banget,” ajak Karina, melepaskan rangkulan pada pundak Angelina, mengelus perutnya yang langsing.

Angelina dan Vanessa mengangguk setuju, lalu berjalan beriringan meninggalkan ruangan kelas.

“Angelina Putri Rakahasa, dan Vanessa Veronia Mahesa. Akhirnya mereka berdua lengkap juga.”

•••

Hembusan angin yang cukup kencang membuat daun-daun dan ranting-ranting pohon beringin bergoyang. Bahkan, ada beberapa daun yang gugur, lalu berterbangan mengikuti arah angin berhembus.

Di bawah pohon beringin itu, kini terlihat Angelina, Karina, dan Vanessa sedang menikmati makanan sambil asyik mengobrolkan sesuatu yang dapat membuat mereka bertiga tersenyum sampai tertawa.

Angelina bersandar pada batang pohon, melihat ke arah langit, mengambil gelas plastik berisikan ice jeruk, lalu menyedotnya hingga setengah.

“Bentuk awannya mirip kupu-kupu,” tutur Angelina, menaruh gelas plastik kembali ke tempat semula tanpa mengalihkan pandangan dari arah langit.

Mendengar penuturan Angelina, membuat Karina dan Vanessa yang masih sibuk memakan makanan sembari bercanda refleks mengangkat kepala, melihat ke arah banyaknya awan yang menutupi warna biru muda pada langit.

“Yang mana, Ngel?” tanya Karina, melihat satu per satu bentuk awan yang ada di langit.

Angelina menunjuk ke arah awan yang perlahan-lahan mulai memudar. “Yang itu, Ngel.”

Karina masih terus mencari. Bahkan, ia sampai menyipitkan mata agar dapat lebih mudah menemukan awan itu. Namun, hasilnya nihil, ia tidak juga menemukan awan yang telah dimaksud oleh Angelina.

“Kar, yang itu.” Vanessa menepuk pelan pundak kanan Karina, menunjuk ke arah awan yang dimaksud oleh Angelina.

Kedua mata Karina kembali menjadi normal, kala melihat awan berbentuk kupu-kupu yang sudah hancur sebagian. “Yah, udah hancur.”

“Lu lambat, sih, Kar.” Angelina mengalihkan pandangan, mengamati sekeliling, dan berhenti kala menemukan keberadaan seorang gadis sedang duduk sendirian di sebuah kursi taman yang terletak tidak jauh dari tempatnya berada. “Kar, Van, itu Sheila bukan, sih?”

Karina memanyunkan bibir kala mendengar perkataan pertama Angelina. Namun, ia kembali mengikuti arah tunjuk sang sahabat saat mendengar pertanyaan dari gadis itu.

“Kayaknya, iya, deh,” jawab Karina, menggigit roti rasa cokelat yang sedari tadi dirinya pegang di tangan kanan.

“Ngapain, ya, dia di situ?” tanya Angelina, merapikan beberapa helai rambutnya yang berantakan akibat tertiup oleh angin, dan masih terus melihat ke arah tempat Sheila berada.

Karina mengangkat kedua bahu, menaruh plastik yang sudah kosong di atas tanah, lalu bersandar pada batang pohon beringin. “Mana gue tau, Ngel. Gue bukan mamanya dia.”

“Kalo gue ajak dia gabung sama kita, kalian berdua setuju gak, Ngel, Van?” Angelina menoleh, menatap wajah Karina dan Vanessa secara bergantian.

“Mending jangan sekarang, deh, Ngel,” jawab Vanessa, tanpa mengalihkan pandangan dari tempat Sheila berada.

Mata Angelina dan Karina melebar sempurna, menatap ke arah Vanessa, merasa sangat terkejut dengan jawaban yang telah sahabat mereka berikan.

“Vee, kenapa? Lu gak suka sama Sheila?” tanya Karina, seraya menggaruk pelan pipi kirinya yang sedikit gatal.

Vanessa dengan cepat menggelengkan kepala. “Bukan gitu, tapi coba kalian lihat, kayaknya Sheila lagi marah banget sama seseorang.”

Angelina dan Karina kembali melihat ke arah tempat Sheila berada. Dari tempat mereka sekarang, kedua gadis itu dapat melihat Sheila yang sedang memukul, memetik, bahkan mematahkan tangkai bunga anggrek seraya berbicara dengan seseorang melalui panggilan telepon.

Sheila berteriak, menaruh handphone ke dalam saku seragam. Ia mengalihkan pandangan ke arah pohon beringin kala merasa sedang diawasi oleh seseorang.

“Mereka.” Sheila memberikan tatapan tajam ke arah Angelina, Karina, dan Vanessa berada, berbalik badan, lalu berlari sekencang mungkin meninggalkan area taman belakang sekolah.

“Dia kayaknya marah sama kita, deh, Ngel, Kar,” gumam Vanessa, melebarkan mata sempurna kala melihat tatapan tajam milik Sheila.

Karina mengambil beberapa sampah makanan, menaruhnya ke dalam sebuah plastik hitam berukuran cukup besar, kemudian bangun dari posisi duduk.

“Nggak usah dipikirin, Vee. Mungkin dia lagi datang bulan, mending sekarang kita ke kelas, yuk, sebentar lagi bel masuk bunyi,” ajak Karina, menatap Angelina dan Vanessa yang masih terus melihat ke arah tempat Sheila tadi berada.

Angelina dan Vanessa hanya diam, tidak menjawab ajakan dari Karina. Fokus mereka kini hanyalah satu, memikirkan tentang tatapan tajam milik Sheila yang ditujukan kepada mereka.

“Kalian berdua ini emang mirip banget, ya.” Karina menggenggam lengan Angelina dan Vanessa, menariknya agar sang pemilik berdiri dari posisi duduk, lalu membawa kedua sahabatnya itu berjalan menuju kelas.

To be continued :)

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!