Apakah benar jika seorang gadis yang sangat cantik akan terus mendapatkan pujian dan disukai, dikagumi, serta disegani oleh banyak orang?
walaupun itu benar, apakah mungkin dia tidak memiliki satu pun orang yang membencinya?
Dan jika dia memiliki satu orang yang tidak suka dengan dirinya, apakah yang akan terjadi di masa depan nanti? apakah dia masih dapat tersenyum atau justru tidak dapat melakukan itu sama sekali lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harus mengikuti mereka
Happy reading guys :)
•••
Waktu menunjukkan pukul 10.00. Bel pertanda istirahat SMA Garuda Sakti telah berbunyi, membuat semua guru yang sedang mengajar di berbagai kelas menghentikan aktivitas mereka, dan mempersilahkan para siswa-siswi untuk beristirahat.
Hembusan napas panjang terdengar dari dalam mulut Karina. Ia merebahkan kepala di atas meja beberapa saat, lalu kembali mengangkat kepala dan meregangkan semua otot-otot tubuhnya yang terasa sangat kaku.
“Kelihatannya lu tersiksa banget, Kar,” ujar Angelina, berjalan mendekati tempat duduk Karina dan Vanessa.
“Parah. Gue bener-bener tersiksa, selama pelajaran gak ada sama sekali materi kimia yang masuk ke dalam otak gue, Ngel,” kata Karina, seraya menyandarkan punggung ke sandaran kursi.
Angelina terkekeh seraya menggeleng-gelengkan kepala pelan saat mendengar perkataan Karina. “Coba perlahan-lahan lu mulai berusaha buat suka sama kimia, Kar. Siapa tau semua ilmu yang dikasih bisa masuk ke dalam otak lu.”
“Percuma, Ngel. Lu udah sering bilang gitu, dan gue udah sering buat nyoba suka sama itu mata pelajaran. Tapi, tetep aja gak bisa, kayak … apa, sih, ini yang dipelajari, nggak banget gitu,” jelas Karina, seraya menyibakkan rambut panjangnya.
Melihat sang sahabat yang sedang terlihat pusing, Vanessa menggerakkan tangan kanan, memberikan elusan lembut di punggung Karina.
“Udah, jangan dipaksain, Kar. Nanti kamu makin pusing.”
Karina menoleh ke arah Vanessa, tersenyum tipis, dan menganggukkan kepala.
“Iya. Aman, kok, Vee. Oh, iya, Kalian berdua jadi ke ruang OSIS, Vee, Ngel?” jawab dan tanya Karina, melihat Vanessa dan Angelina secara bergantian.
Angelina menatap wajah Vanessa. “Jadi, Van?”
Vanessa mengangguk. “Iya. Jadi, Ngel, Kar.”
Setelah mendengar jawaban dari Vanessa, Karina bangun dari tempat duduk, lalu melihat kedua sahabatnya secara bergantian.
“Kalo gitu gue ke kantin duluan, Ngel, Vee. Oh, iya, kalian mau pesen apa? Biar nanti gue pesenin. Jadi, nanti kalian berdua gak usah capek-capek buat pesen lagi.”
“Gue kayak biasanya aja, Kar,” jawab Angelina.
Karina mengangguk paham, kemudian menoleh ke arah Vanessa. “Kalo lu, Vee?”
Vanessa tersenyum tipis. “Aku juga sama kayak yang biasanya, Kar.”
“Hmm, gitu. Ya, udah, gue ke kantin duluan, ya, kalian berdua hati-hati, jangan sampai kenapa-napa,” kata Karina, sebelum akhirnya pergi berjalan meninggalkan tempat Angelina dan Vanessa berada.
“Lu juga hati-hati, Kar!” teriak Angelina, melihat punggung Karina yang perlahan-lahan mulai menjauh dari pandangannya.
Tanpa menoleh dan berhenti berjalan, Karina mengangkat ibu jari kanan guna menjawab wanti-wanti dari Angelina.
Setelah tubuh Karina tidak lagi terlihat oleh kedua matanya, Angelina menoleh ke arah Vanessa, menggenggam tangan kanan milik sang sahabat.
“Ayo, kita juga harus pergi,” ajak Angelina, seraya tersenyum manis.
Vanessa mengangguk, dan membalas senyuman manis Angelina. “Iya. Ayo, Ngel.”
Angelina dan Vanessa berjalan beriringan meninggalkan ruangan kelas dengan tangan yang saling menggenggam satu sama lain. Di sela perjalanan, kedua gadis itu mengobrol dan tertawa bersama-sama guna menghilangkan rasa sunyi yang akan melanda.
“Gue harus ikutin mereka.”
•••
Angelina membuka pintu ruang OSIS secara perlahan, melihat keadaan di dalam, lalu berjalan masuk saat melihat Gita sedang sibuk mengerjakan sesuatu di dalam laptop.
“Kak, ada apa manggil kami berdua ke sini?” tanya Angelina, saat telah berada di depan meja pribadi milik Gita.
Gita sontak mengangkat kepala saat mendengar suara Angelina. Ia tersenyum tipis, melihat Angelina dan Vanessa yang sedang berdiri di hadapannya.
“Eh, kalian berdua udah datang? Duduk dulu, Ngel, Van,” kata Gita.
Angelina dan Vanessa mengangguk, mengambil kursi, membawanya ke depan meja milik Gita, dan mendudukkan tubuh mereka di sana.
“Jadi, ada apa, Kak?” tanya Angelina, seraya menyibakkan rambutnya yang menutupi wajah.
“Jadi, gini, Ngel ….” Gita menutup laptop, melipat kedua tangan di atas meja, menatap Angelina dan Vanessa secara bergantian. “Pemilihan ketos dan waketos akan selenggarain satu minggu lagi. Nah, gue mau nanya sama kalian berdua, kalian berdua udah bikin visi-misi belum? Soalnya kata Renata, kalian berdua gak mau dia bantu buat bikin visi-misi.”
Angelina dan Vanessa saling pandang, lalu menggelengkan kepala secara bersamaan.
“Belum, Kak. Gue sama Vanessa belum sempat bikin,” jawab Angelina, kembali menatap ke arah Gita.
Hembusan napas panjang terdengar dari mulut Gita. “Udah gue duga. Kalo gitu, visi-misi kalian berdua gue bantu aja, ya, biar cepet selesai?”
Angelina tidak segera menjawab tawaran dari Gita. Ia terlebih dahulu menatap ke arah Vanessa untuk meminta pendapat sang sahabat.
Kening Angelina mengerut, melihat Vanessa yang sedang menundukkan kepala dengan kedua tangan saling menggenggam erat di atas paha.
“Van, lu kenapa?” tanya Angelina, dengan sangat pelan dan lembut.
Tubuh Vanessa seketika menegang kala mendengar pertanyaan dari Angelina. Vanessa perlahan-lahan mulai mengangkat kepala, menatap wajah sang sahabat, dan menunjukkan senyuman lebar.
“Aku gak papa, kok, Ngel,” jawab Vanessa.
“Yang bener, Van? Kalo lu gak enak badan, kita ke UKS aja, biar lu bisa istirahat di sana.” Angelina menggerakkan tangan menyentuh dahi Vanessa, mengecek suhu badan sang sahabat.
Vanessa menganggukkan kepala, menurunkan tangan Angelina yang masih berada di dahinya. “Iya. Aku gak papa, kok, Ngel. Kamu gak usah khawatir.”
Angelina menatap lekat wajah Vanessa, mengembuskan napas panjang kala mendengar jawaban dari sang sahabat. “Ya, udah, kalo gitu. Jadi, gimana, lu mau nerima tawaran Kak Gita gak, Van?”
“Bebas, Ngel. Aku ngikut keputusan kamu aja,” jawab Vanessa, masih terus menunjukkan senyuman lebar.
Angelina diam beberapa saat, memikirkan jawaban yang akan dirinya berikan kepada Gita. Saat ini, ia benar-benar harus memikirkan jawaban dengan sangat matang, jangan sampai kejadian buruk menimpa dirinya atau Vanessa gara-gara keputusan yang telah ia ambil.
Hembusan napas panjang beberapa kali terdengar dari mulut Angelina. Ia menutup mata sejenak, menyakinkan diri dari jawaban yang akan dirinya berikan.
“Boleh, Kak. Tolong bantu gue sama Vanessa buat bikin visi-misi,” jawab Angelina, menatap wajah Gita.
Senyuman tipis terukir di wajah Gita saat mendengar jawaban dari Angelina. “Iya, Ngel. Jadi, mau kapan bikinnya?”
Angelina melirik ke arah Vanessa, guna memastikan sang sahabat sedang baik-baik saja. “Bebas, Kak. Lu tentuin aja enaknya kapan.”
Gita mengangguk paham, berpikir sebentar, mencari waktu yang pas untuk membantu kedua adik kelasnya itu membuat visi dan misi.
Jentikan jari terdengar, membuat Angelina sontak kembali melihat ke arah depan.
“Sepulang sekolah aja gimana? Ngerjainnya di rumah gue biar lebih enak,” saran Gita, seraya menatap Angelina dan Vanessa secara bergantian.
Angelina dan Vanessa saling pandang beberapa saat. Tidak ada satu pun kata yang keluar dari mulut keduanya, seakan mereka berdua sedang berkomunikasi melalui telepati.
“Oke, Kak. Nanti sore ngerjainnya di rumah lu,” jawab Angelina, setelah dirinya dan Vanessa saling memutuskan tatapan mata.
To be continued :)
sering sering bikin novel kek gini ya thor😁😁