Mencari Daddy Sugar? Oh no!
Vina Rijayani, mahasiswi 21 tahun, diperhadapkan pada ekonomi sulit, serba berkekurangan ini dan itu. Selain dirinya, ia harus menafkahi dua adiknya yang masih sangat tanggung.
Bimo, presdir kaya dan tampan, menawarkan segala kenyamanan hidup, asal bersedia menjadi seorang sugar baby baginya.
Akankah Vina menerima tawaran Bimo? Yuk, ikuti kisahnya di SUGAR DATING!
Kisah ini hanya fantasi author semata😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Payang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Takut Sama Dia
Diujung koridor menuju parkiran, setelah persimpangan kantin kampus, aku dan Mirna menghentikan langkah begitu melihat kak Riska bersama dua temannya sengaja menghadang kami.
"Kita kekantin saja yuk," bisiku, menarik pergelangan Mirna menuju belokan ke kantin kampus dibelakang kami, tapi tiga wanita itu cepat berpindah kearah tujuan kami, dan kembali menghadang disana.
"Apaan sih kak Riska?!" Mirna yang kesal langsung nyolot.
"Diam ubi ungu, jangan ikut campur! Pergi sana kalau masih sayang wajah jelekmu itu!"
"Memangnya kak Riska lebih cantik dari saya? Gini-gini, saya juga sudah punya pacar!"
"Sudah, kita pergi saja!" Aku kembali menarik pergelangan Mirna yang sedari tadi masihku pegang, kami berbalik arah.
Aku yang tidak punya kemampuan bela diri tentu saja tidak ingin mati konyol, pasti kalah bila berhadapan dengan seorang pelatih karate pemegang sabuk hitam 3rd Dan seperti kak Riska. Aku mengetahuinya karena melihat sendiri kakak tingkatku itu melatih beberapa mahasiswa dikampus.
Sreeeet.
"Akh!" aku terjerembap, tersapu kaki kak Riska, bibirku menghantam ubin, sakit sekali rasanya.
"Bugh!"
Aku gegas bangun dengan perasaan cemas, ternyata Mirna yang mendaratkan tinjunya, menghantam rahang kak Riska hingga kakak kelasku itu terpelanting jatuh direrumputan, keluar dari koridor.
"Bedebah betina! Aku tidak akan mengampunimu!" wajah Riska merah padam terlebih rahangnya. Ia gegas bangkit, siap menerjang Mirna yang sudah siap dengan kuda-kudanya.
"Riska! Mirna! Berhenti!"
Kami serentak menoleh, melihat pak Murdiono berjalan mendekati kami, yang telah dikerubungi para mahasiswa.
"Mirna, Riska, Yuni, Alena, dan kamu Vina, ikut bapak ke ruang dekan," ucapnya datar sambil berlalu dari tengah-tengah hiruk-pikuknya para mahasiswa itu yang tengah menonton kami.
Aku memejamkan mata sesaat, malas banget kesana, masih trauma yang tadi pagi.
...***...
"Maaf nona Marina, tuan sedang sibuk saat ini," Tania berusaha mencegah wanita yang baru saja memperkenalkan dirinya sebagai pacar sang bos.
"Minggir! Saya mau ketemu mas Bimo! Kamu tahu kan akibatnya kalau berani melarangku? Mas Bimo pasti akan memecatmu!" ucapnya arogan.
"Jangan Nona, anda bisa diusir tuan nanti," Tania mengejar lalu berdiri diambang pintu dengan kedua tangan terkembang serupa pagar.
"Minggir bodoh! Minggir!"
Bimo menatap ambang pintu ruang kerjanya yang terbuka lebar, pria itu baru saja selesai mentransfer dana ke rekening bibinya Vina saat suara berisik diluar ruangannya itu cukup menyita perhatiannya.
"M-maaf Tuan, saya sudah berusaha mencegahnya," Tania merunduk disisi pintu saat wanita berpenampilan seksi itu menerobos masuk setelah melanggar tubuhnya yang berdiri ditengah-tengah ambang pintu majikannya itu.
"Pergilah Tania, aku akan mengurusnya," datar Bimo, masih duduk dibelakang mejanya, menatap tanpa ekspresi wanita yang berlenggak-lenggok masuk mendekatinya.
"Mas, aku merindukanmu. Kamu kemana aja sih Mas, nggak pernah mampir lagi ke apartemenku? Aku sampai mencarimu ke apartemenmu, tapi kamu tidak pernah ada disana," tanpa permisi, wanita itu langsung duduk dipangkuan Bimo dengan suara manjanya yang khas, membuat Tania diluar ruangan ingin muntah mendengarnya.
"Aku, atau uangku?"
Bukannya tidak tersinggung, tapi Marina lebih takut kehilangan ATM berjalannya itu, tetap menahan diri, dan bermuka manis.
"Mas, kok gitu sih ngomongnya... Aku benar-benar merindukanmu Mas," Bimo spontan memalingkan wajahnya saat wanita itu ingin mel umat bibirnya.
"Sudah pernah kuperingatkan, jangan pernah datang ke kantorku, apalagi mengatai sekretarisku bodoh. Itu artinya kamu sudah menghinaku juga, karena tidak bisa memilih seorang sekretaris pintar," dinginya.
"M-maaf Mas, a-aku tidak bermaksud seperti itu Mas, sumpah," Marina tergagap, ia menyesal sudah ceroboh mengatai wanita yang sedari tadi membuat hatinya kesal saat memaksa bertemu ATM berjalannya ini.
Bimo tidak menanggapi sangkalan Marina yang berusaha membela diri.
"Dan jika aku sudah tidak menemuimu, itu artinya aku sudah bosan. Pergilah sekarang, dan jangan pernah temui aku lagi."
"M-mas, tidak boleh begitu Mas, setelah apa yang kita lalui selama ini, aku tidak mau!" Marina hampir menangis mendengarnya, itulah yang ia takutkan selama ini.
"Turun dari pangkuanku, sebelum aku memanggil security untuk menyeretmu dengan paksa keluar dari sini."
"Mas... Kamu tega sekali sama aku, Mas," Marina mulai sesenggukan, tetap bertahan dipangkuan Bimo, berharap laki-laki itu luluh.
"Sudah bagus aku tidak membuat perhitungan denganmu, saat melihatmu bermesraan diparkiran mall bersama seorang pria seminggu yang lalu."
Tangis Marina terhenti seketika, hatinya yang sudah galau kian panik.
"Mas... K-kamu pasti salah liat Mas..."
"Pergilah, aku bukan laki-laki yang bisa menahan kesabaranku cukup lama, kamu sudah tahu itu. Bersyukur, karena saat ini kita ada dikantorku."
Marina perlahan turun, ia masih sayang nyawanya, Bimo tidak pernah main-main dengan ucapannya. Dengan mata kepalanya sendiri ia pernah melihat pria itu memberi hukuman mengerikan pada beberapa wanita yang berani jalan dengan pria lain saat masih berhubungan dengannya.
...***...
"Saya skorsing kamu Riska, Yuni, dan Alena, selama tiga hari tidak boleh mengikuti kegiatan akademik," putus pak Murdiono.
"Tapi pak, kok kita aja yang di skorsing? Vina sama Mirna kok nggak?" protes kak Riska, melirik kesal kearahku.
"Kamu mau bapak tambah skorsingnya? Jangan fikir bapak tidak tahu kalau kemaren kamu menampar Vina didepan Heru!"
Aku terbelalak, bagaimana mungkin pak Murdiono tahu, apa mungkin kak Heru yang melapor? Sementara kak Riska, dia menatapku semakin kesal dengan sorot tajamnya.
"Ini peringatan terakhir untuk kamu Riska, jika masih terjadi, bapak akan mengeluarkanmu dari kampus. Sekarang, selain Vina, semua boleh pergi."
Aku meraih tangan Mirna, menahan temanku itu supaya tidak meninggalkanku seorang diri.
"Saya permisi juga pak, bukannya semua sudah beres?" Aku gegas beranjak bersama Mirna.
"Bibir kamu pecah, saya akan mengobatinya Vin, Vina!"
Aku tidak perduli pada panggilan pak Murdiono, sekujur tubuhku sudah meremang, pria berumur itu sudah berani terang-terangan.
"Pak dekan sepertinya naksir berat deh sama loe, gue bisa ngeliatnya kok," Mirna melirikku yang membawanya berjalan cepat meninggalkan ruang dekan menuju parkiran.
"Jangan dibahas, dia itu sudah punya isteri. Aku pernah dilabrak isterinya beberapa minggu lalu."
"Serius?" Mirna tergelak sendiri. Ya, temanku itu menertawaiku, padahal itu bukanlah sesuatu hal yang lucu menurutku.
"Gue anter loe pulang."
Aku mengangguk, lalu naik keatas motor Mirna. Aku rindu sekali pada kedua adikku.
Begitu melewati pos security, satu unit mobil mewah yang mengantarku tadi pagi langsung menyalip dan menghadang motor Mirna.
"Siapa?" Mirna terheran, sementara aku yang duduk dibelakang membuang muka kesal begitu melihat si om-om nyebelin itu keluar dari belakang kemudi menghampiri kami.
Tentu saja kehadirannya menjadi pusat perhatian para mahasiswa mahasiswi yang berada diluar gerbang.
"Turun! Atau saya gendong kamu, lalu arak ke seluruh sudut kampus ini, supaya semua civitas kampus tahu kalau kamu itu sugar baby-nya saya!" ancamnya.
Semua yang mendengar terbelalak, termasuk Mirna dan aku.
Ingin rasanya kutapak lima jariku ini ke mulutnya itu!
Aku terpaksa meluncur turun dari boncengan Mirna dengan cepat, tidak mau si om Bimo itu lebih banyak bicara lagi. Aku masih belum mempersiapkan mentalku menghadapi cibiran semua orang.
"Kenapa kita belum jalan-jalan juga tuan?" tanyaku, tanpa menoleh, setelah selesai memasang sabuk pengamanku. Aku tahu sedari tadi dia terus memperhatikanku.
Aku meremang, jantungku berdebar tidak karuan, begitu sadar jemari si om Bimo sudah menyentuh daguku, mengarahkan wajahku padanya.
Tak aku pungkiri, pria berusia matang ini memang tampan... dan mempesona, ini ketiga kalinya tatapan kami saling mengunci.
Aku terpejam begitu wajahnya perlahan maju.
Panas dingin menyerangku, aku takut, begitu kurasa deru nafas panasnya menyapu kulit wajahku.
Bersambung...✍️
🤣