Sepeninggal suami, Nani terpaksa harus bekerja sebagai seorang TKW dan menitipkan anak semata wayangnya Rima pada ayah dan ibu tirinya.
Nani tak tau kalau sepeninggalnya, Rima sering sekali mengalami kekerasan, hingga tubuhnya kurus kering tak terawat.
Mampukah Nani membalas perlakuan kejam keluarganya pada sang putri?
Ikuti kisah perjuangan Nani sebagai seorang ibu tunggal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sikap tegas Nina
Yanto benar-benar tak kembali ke rumah. Tyas sendiri sudah mencarinya ke mana-mana tapi tak ada hasilnya.
Dia ingin paling tidak sang suami bertanggung jawab akan hutangnya.
Ke warung Ratih pun sudah di lakukannya, justru yang dia dapatkan warung Ratih sedang tutup.
Titik sendiri memilih ke rumah Nina untuk mengambil lauk sebelum ke kantor polisi untuk membebaskan Dita.
Seperti biasa, Dibyo yang sudah tau sifat istrinya, dia yakin sang istri akan mendatanginya lagi untuk mengambil makanan, sudah menunggunya.
Dibyo tau yang di lakukannya salah, tapi ia bisa apa, cinta membuatnya bodoh.
"Nah kaya gini dong pak, masaknya banyak kan aku jadi ngga pusing," ujar Titik senang.
Untungnya Dibyo sudah memisahkan lauk untuknya dan Rima, karena tadi dia mendengar jika Rima akan pulang seperti biasa.
Sayangnya kegembiraan Titik harus musnah saat mendengar suara tepukan tangan dari arah ruang keluarga.
Ya, itu suara Nina. Sepertinya Tuhan ingin agar kebusukan Dibyo dan Titik terbongkar.
Nina yang kebetulan ada yang tertinggal, memilih untuk kembali dan menemukan fakta yang mengejutkan dari bapak dan ibu tirinya.
"Bagus ya, jadi ada pengemis yang selalu menghabiskan makananku?" sindir Nina tajam.
"Jaga mulutmu Nina! Ibu bukan pengemis! Lagi pula bapakmu sudah mengizinkan!" elak Titik.
Sungguh ia ingin sekali segera pergi dari sana, dia tidak ingin membuat masalah dengan Nina saat ini.
"Benar begitu pak?" tanya Nina tajam.
"Oh sepertinya bapak emang ngga betah tinggal di sini ya? Gimana pak, udah siap aku bawa ke panti jompo?" ancam Nina.
Dibyo terkesiap, dia tak pernah tau kalau ternyata putrinya punya pikiran yang begitu kejam padanya.
"Apa maksud kamu Nina?" lirih Dibyo.
"Ngga usah pura-pura pak, bapak tau bukan aku sangat membenci bu Titik! Tapi bapak seolah ngga pernah peduli dengan ancamanku, makanya sekarang aku udah muak, bapak ngga bisa di kasihani!" ketus Nina.
"Kau pergi dari sini sebelum kuteriaki maling!" ancam Nina pada Titik.
Namun Titik bergeming, dia tak takut dengan ancaman anak tirinya itu.
Dengan melipat kedua tangannya, dia lalu menatap Nina tajam.
"Harusnya kamu belajar agama lagi! Aku masih istri sah bapakmu! Sebelum ada ketuk palu, bapakmu wajib menafkahiku! Kamu paham! Jadi jangan berani kamu meneriakiku maling. Bahkan setelah bercerai aku masih mendapatkan hak nafkah sampai masa idahku selesai," balas Titik.
Nina merasa geram karena tak mampu menjawab ucapan Titik.
"Oh benarkah? Kamu memang tanggung jawab bapakku, bukan tanggung jawabku, kalau aku tak mengizinkan hartaku memang kau bisa apa? Aku ingatkan sekali lagi, aku tak sudi memberimu makan," tandas Nina sengit dia lalu menatap sang bapak.
"Aku akan carikan bapak panti jompo, karena sepertinya bapak mau seenaknya sama aku. Ingat ya pak, aku udah berbaik hati ngga menjebloskan bapak ke penjara, mau mengobati bapak, tapi kalau bapak terus-terusan menyakiti aku, maka lebih baik kita berjauhan," putus Nina.
Tubuh Dibyo bergetar hebat, dia tak menyangka sang putri akan melakukan hal kejam padanya.
"Nin, Nina ampuni bapak, bapak hanya kasihan sama Ibu, maafkan bapak Nin, bapak janji ngga akan berbuat begini lagi. Bu sebaiknya kamu pulang dan jangan ke sini lagi!" ujar Dibyo memekik.
Merasa suasana rumah Nina semakin panas, Titik memilih segera meninggalkan kediaman Nina setelah berhasil membungkus makanan.
"Berhenti!" ujar Nina lantang menghentikan langkah Titik.
Wanita berhijab Maron itu mendekat dan segera mengambil plastik berisi makanannya.
Tak sudi sekali Nina memberikan makanan pada orang yang telah tega menyakiti fisik dan batin anaknya.
"Sepertinya kamu memang harus di penjara! Ingat, aku punya saksi dan bukti visum dari Rima, jadi aku bisa menjebloskanmu ke penjara Bu Titik!" ancam Nina.
Titik bergeming sebenarnya ia kesal karena telah capai-capai membungkus makanan itu tapi tak bisa dia nikmati.
Namun karena ancaman Nina, dia memilih segera kabur dari sana.
Nina kembali ke meja makan, membuka kembali semua makanan yang berhasil di bungkus Titik.
Bukan untuk di nikmati lagi, dia sudah terlanjur kesal dan memilih untuk memberikan lauk yang ia masak untuk karyawannya di toko.
"Nin maafkan bapak ya, kamu ngga beneran kan mau bawa bapak ke panti jompo?" cecar Dibyo.
Nina menatap Dibyo sengit, "sekali pembohong tetap pembohong! Bapak ngga tau betapa sakitnya aku saat melihat Rima di siksa, bahkan aku rela masuk neraka kalau saja bisa membunuh Titik pak. Tapi untuk apa? Rima membutuhkanku. Aku udah ngga percaya sama bapak!" ketusnya lalu meninggalkan Dibyo sendiri.
Dibyo menyesal karena menuruti perasaannya. Namun dia lebih kecewa pada Nina, dia ingin sekali sang putri tau bahwa membuang perasaan sayang pada istrinya tak semudah itu.
Andai saja bisa, dia tentu ingin melupakan Titik, tapi hatinya masih menyayangi istrinya itu.
.
.
Nina datang dengan perasaan yang masih kesal. Sampai di toko dia kembali di buat terperangah saat melihat Rahma dengan tak tau malunya duduk di kursi kasir miliknya.
"Loh Mah, ngapain kamu ke sini?" tanya Nina tajam.
Melihat wajah Nina yang tampak tak bersahabat membuat Rahma segera bangkit dari duduknya.
"Eh mbak Nina, ini aku tadi datang terus mbak Ninanya ngga ada, lihat toko sibuk akhirnya aku inisiatif bantu. Lagian bentar lagi kita kan jadi keluarga mbak," jelas Rahma dengan senyum terkembang.
Rahma sangat senang saat bisa duduk di meja kasir di toko Nina, terlebih saat tadi melayani pelanggan, dirinya tak sabar ingin segera menguasai toko Nina.
Nina bergegas duduk di mejanya dan menatap Rahma tak suka.
"Seharusnya kamu jangan lancang. Kita belum ada hubungan apa-apa. Bukankah ibu kamu ngajarin buat ngga sembarangan di tempat orang?" ketus Nina.
Sungguh dia tak suka dengan sikap Rahma yang seenaknya seperti ini.
Dalam hati, Nina berpikir jika belum menikah saja Rahma sudah seenaknya di tokoknya, apalagi nanti, jangan-jangan Rahma ingin menguasai tokonya.
Terlebih lagi dia ingat pembicaraan semalam kalau ibunda Budi itu meminta Rahma agar membantunya, sungguh keluarga yang aneh, seolah-olah semua harus tunduk pada mereka.
Rahma merasa tersinggung dengan ucapan Nina terlebih lagi di hadapan karyawan dan para pelanggan.
Perempuan berambut pendek itu tak sadar dengan sikapnya sendiri.
"Maafkan aku mbak Nina, niat aku hanya membantu, bukankah semalam ibu udah minta aku agar membantu mbak Nina?" ujar Rahma mengingatkan.
"Apa aku setuju dengan permintaan ibumu? Maaf Rahma kalau kamu butuh kerjaan, bicara yang baik, jangan seolah-olah bahwa aku yang membutuhkanmu," balas Nina datar.
Toko semakin ramai, pembicaraan mereka mau tak mau berhenti. Lagi pula Nina haru tetap mempertahankan sikap murah senyumnya pada para pelanggan.
Jangan sampai karena suasana hatinya yang buruk pelanggan jadi kena imbasnya.
Nina baru sadar setelah terjun sebagai pedagang, apa pun perasaannya, meski kesal, marah, kecewa dia tak boleh menunjukkannya pada pelanggan.
Merasa tak di anggap, Rahma memutuskan untuk pergi setelah berpamitan sekilas pada Nina.
Dia akan mengadukan sikap Nina pada Budi, dia berharap sang kakak akan menegur Nina nanti.
"Dasar janda sombong! awas aja nanti, kubalas kau lebih kejam!" ketus Rahma.
.
.
.
Tbc