Park Eun-mi, seorang gadis Korea-Indonesia dari keluarga kaya harus menjalani banyak kencan buta karena keinginan keluarganya. Meski demikian tak satupun calon yang sesuai dengan keinginannya.
Rayyan, sahabat sekaligus partner kerjanya di sebuah bakery shop menyabotase kencan buta Eun-mi berikutnya agar menjadi yang terakhir tanpa sepengetahuan Eun-mi. Itu dia lakukan agar dia juga bisa segera menikah.
Bagaimana perjalanan kisah mereka? Apakah Rayyan berhasil membantu Eun-mi, atau ternyata ada rahasia di antara keduanya yang akhirnya membuat mereka terlibat konflik?
Yuk! Simak di novel ini, Kencan Buta Terakhir. Selamat membaca.. 🤓
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puspa Indah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGIAN 30
"Jadi gitu rencanaku Mbak. Tapi gara-gara Rayyan mutusin balik ke Indo terus gak kerja di sini lagi, ya akhirnya aku batal buka toko di sini. Aku gak sanggup ngurus sendiri kalau Farah gak ikutan. Lagipula cuma dia yang paling ngerti keinginan sama selera aku", Wina terus berceloteh tanpa sadar kalau lawan bicaranya tak memperhatikan ucapannya.
Eun-mi buru-buru menepis prasangka buruk yang tadi sempat ada dalam hatinya. Mungkin saja In-ho bersikap seperti itu karena merasa sungkan berdekatan dengan wanita yang belum dikenal baik olehnya.
Sementara di sisi lain, sepasang mata juga menyorot tajam ke arah In-ho. Tak seperti Eun-mi yang belum sepenuhnya yakin, David sebagai seorang lelaki tahu persis arti dari tatapan dan sikap In-ho terhadap Asna. Dalam hatinya ia mengutuk lelaki itu yang terlalu serakah. Bukankah ia akan segera menikah dengan Eun-mi, mengapa masih mencoba bermain api dengan wanita lain. Apalagi wanita itu adalah Asna, wanita yang disukainya.
Belum ada sepuluh menit Asna berada di situ, David segera memanggilnya karena kebetulan sekali ada pembeli yang baru masuk ke toko.
"Asna!", panggilnya, seraya menunjuk ke arah pembeli tadi yang kini tengah asyik menyelidik produk mana yang akan dibelinya.
Asna yang melihat itu segera pamit untuk kembali ke meja kasir.
"Permisi", ucapnya pada In-ho.
In-ho terperangah. Baru kali ini dia mendengar suara Asna mengucap kalimat selain jumlah uang yang harus dibayarnya saat membeli roti. Terasa sungguh merdu di telinganya, bahkan membuat dirinya terhipnotis dan waktu seolah terhenti karenanya. Matanya terus menatap Asna, tak sanggup mengalihkan pada yang lain. Dan sekali lagi Eun-mi dibuat bingung dengan sikap In-ho.
"Ada apa Mbak? Kok bengong gitu?", seketika Eun-mi tersadar dari pikirannya saat ditegur oleh Wina.
"Ah, gak. Gak papa kok. Dae-ho imut banget ya?", ucapnya berusaha menutupi kalau sebenarnya ia sedang memperhatikan sikap In-ho.
"Dae-ho, apa ayahnya yang imut?", goda Wina dengan senyuman usilnya.
Eun-mi mendelik, berlagak kesal pada Wina.
"Masa iya segede gaban gitu dibilang imut. Yang ada malah amit-amit", sahut Eun-mi.
Wina malah terkekeh mendengarnya.
"Amit-amit tapi ganteng, ya kan Mbak?", ia kembali terkekeh.
"Kalian serasi banget lho Mbak. Kalo dijejerin nih, Mbak Eun-mi, Dae-ho sama In-ho, beh.. sudah kayak prototipe keluarga bahagia sejahtera pokoknya", kata Wina bersemangat.
Eun-mi hanya menghela nafas sambil tersenyum miris. Bahagia... Apakah bisa?
Ditatapnya lagi sosok lelaki yang akan menjadi suaminya. Lalu pikirannya beralih pada Rayyan. Rayyan? Kemana dia?
"Kamu lihat Rayyan?", tanya Eun-mi pada Wina.
Wina kemudian melihat ke sekeliling ruangan.
"Gak Mbak, aku gak lihat. Kayaknya sudah pergi dari tadi", sahut Wina.
"Aku permisi ke toilet dulu ya Mbak", ucapnya, lalu segera menuju ke ke belakang.
Eun-mi mengambil ponselnya lalu menghubungi Rayyan. Tiga kali dia melakukan panggilan, tapi Rayyan tak juga menyahut. Eun-mi jadi sedikit panik dibuatnya. Semenjak Rayyan berencana pulang ke Indonesia, Eun-mi selalu merasa takut kalau-kalau Rayyan pulang tanpa pamit padanya.
Eun-mi tak tahu saja kalau Rayyan tengah tidur nyenyak di kasurnya. Matanya sudah tak mau diajak kompromi karena tadi malam dipakai bergadang demi menyelesaikan kue ulang tahun Dae-ho.
**********
Dae-ho tak mau melepaskan mobil bus mainan hadiah Asna dari tangannya. Dalam perjalanan pulang pun, mainan itu tetap dimainkannya di dalam mobil. In-ho tersenyum melihatnya.
"Apa kau sangat menyukai hadiah dari bibi Asna?", tanya In-ho pada Dae-ho yang duduk di kursi belakang.
Dae-ho mengangguk mantap.
"Ya, aku sangat menyukainya. Aku juga menyukai bibi, dia sangat cantik. Kalau aku besar nanti, aku akan menikah dengannya", sahut Dae-ho polos.
In-ho terbelalak mendengarnya. Saingannya bertambah satu lagi, dan lebih parahnya, itu adalah anaknya sendiri.
"Kalau kau sudah dewasa, bibi Asna akan semakin tua. Apa kau mau menikah dengan wanita tua?", In-ho tersenyum melihat betapa lugunya Dae-ho.
Dae-ho kini terlihat sedang berpikir keras, coba mencerna apa yang dikatakan ayahnya.
"Kalau begitu, aku ingin dia menjadi ibuku saja, bolehkan yah?", ucapnya tiba-tiba.
In-ho sampai kaget dibuatnya. Di saat yang sama ia jadi tak enak hati mendengar permintaan Dae-ho.
In-ho menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Ia kemudian keluar dari mobil untuk pindah ke kursi belakang.
"Dae-ho, ada yang ingin ayah katakan padamu. Sebentar lagi kau akan memiliki seorang ibu. Hanya saja.. dia bukan bibi Asna, tapi bibi Eun-mi", In-ho berkata dengan wajah muram.
Wajah Dae-ho ikut berubah menjadi muram, bahkan terlihat sedih.
"Bibi Eun-mi wanita yang baik, dan dia adalah pemilik toko roti itu. Bila dia menjadi ibumu, kau bisa setiap hari berkunjung ke sana dan makan apapun yang kau inginkan", bujuk In-ho sambil tersenyum, berharap bisa menghibur hati Dae-ho.
Dae-ho tertunduk sambil melihat bus mainan di tangannya.
"Ya, bibi Eun-mi memang baik. Dia memberiku hadiah yang bagus, dan aku juga menyukainya", ucapnya pelan.
Kemudian dia mengangkat kepalanya dan menatap In-ho.
"Tapi aku lebih menyukai bibi Asna. Bisakah dia saja yang menjadi ibuku? Aku berjanji akan selalu menjadi anak baik dan penurut bila dia menjadi ibuku", ucapnya penuh harap dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
In-ho terperangah, tak tahu harus berkata apa. Dia hanya bisa memeluk Dae-ho, juga dengan mata berkaca-kaca.