Arumi harus menelan kekecewaan setelah mendapati kabar yang disampaikan oleh Narendra, sepupu jauh calon suaminya, bahwa Vino tidak dapat melangsungkan pernikahan dengannya tanpa alasan yang jelas.
Dimas, sang ayah yang tidak ingin menanggung malu atas batalnya pernikahan putrinya, meminta Narendra, selaku keluarga dari pihak Vino untuk bertanggung jawab dengan menikahi Arumi setelah memastikan pria itu tidak sedang menjalin hubungan dengan siapapun.
Arumi dan Narendra tentu menolak, tetapi Dimas tetap pada pendiriannya untuk menikahkan keduanya hingga pernikahan yang tidak diinginkan pun terjadi.
Akankah kisah rumah tangga tanpa cinta antara Arumi dan Narendra berakhir bahagia atau justru sebaliknya?
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi pada calon suami Arumi hingga membatalkan pernikahan secara sepihak?
Penasaran kisah selanjutnya?
yuk, ikuti terus ceritanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadya Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 29
Bastian dan Silvi pulang dengan senyum kemenangan membuat Vino yang berada di ruang keluarga menatap heran ke arah kedua orang tuanya. Pria itu beranjak dari tidurannya sembari memijat kepalanya yang terasa pusing dan nyeri sebab semalam ia terlalu banyak minum bersama teman-temannya.
“Kamu baru bangun, Vin?” tanya Silvi pada putra semata wayangnya.
“Hm … kalian dari mana saja?” tanya Vino tanpa memedulikan Papanya tengah menatap tajam ke arahnya.
“Ke mana lagi? Tentu saja menyeret bocah tengik itu ke penjara,” jawab Silvi sambil terkekeh. Wanita paruh baya itu kemudian duduk di seberang putranya bersama sang suami.
“Berhentilah membuat ulah, Vin. Meski kamu cucu kandung kakekmu satu-satunya, tapi tidak menutup kemungkinan Pak Hasbi akan menangguhkan jatah warisanmu. Kamu tentu ingat bukan, kalau kakek pernah bilang akan mencabut semua fasilitas dan warisan dari masing-masing cucunya kalau mereka ketahuan berurusan dengan hukum atau berbuat ulah? meski mereka hanyalah cucu angkat, tapi mereka juga selalu diunggulkan sama kakekmu. Kamu juga pasti tidak lupa, semua itu sudah tertulis di dalam surat resmi yang dititipkan kakek pada Pak Hasbi.” Bastian menegur Vino dengan tegas.
Pria paruh baya itu sangat kesal dengan almarhum papanya yang dengan tega membagi warisannya pada anak yang tidak memiliki hubungan darah dengannya alih-alih diberikan seluruhnya kepada keturunan aslinya. Di usianya yang sudah separuh abad ini dirinya masih belum leluasa memimpin perusahaan yang ditinggalkan olehnya. Bahkan untuk bersikap layaknya teman-temannya pun pria itu seakan merasa di penjara karena semua aktivitasnya selalu dipantau oleh sang papa dulunya. Berbeda dengan Bagas, pria itu selalu diberikan wewenang penuh untuk menentukan pilihannya sendiri tanpa campur tangan darinya.
“Ck, bukannya Papa sudah menyeret Naren ke kantor polisi, itu berarti kita tinggal memberitahu Pak Hasbi tentang kelakuan dia. Lagipula Pak Hasbi juga ada di tempat kejadian waktu itu. Jadi, nggak mungkin dong, dia lupa?” gerutu Vino yang merasa kesal sebab mendapat teguran dari papanya.
“Kamu kalau dikasih tahu selalu ngejawab! Dengar apa yang papa katakan, Vino. Papa harap kamu berhenti foya-foya dan mulailah bekerja di kantor kalau kamu memang ingin mempertahankan harta warisan itu!” bentak Bastian marah.
“Alah … kalau Vino ngurus perusahaan sekarang, yang ada semua kacau, Pa. Vino belum siap!”
“Lalu kapan kalau tidak sekarang? Kamu mau perusahaan itu berpindah tangan ke Galendra karena kamu nggak mau ikut turun tangan?” bentaknya lagi.
“Ya, enggak, lah, Pa. Gila aja kita ngasih perusahaan itu ke Galen. Lagian kakek juga aneh, masak sama cucu kandungnya sendiri pilih kasih!” Vino berseru geram. Sampai kapanpun pria itu akan terus membenci Narendra dan keluarganya.
“Makanya bantuin Papa di kantor!” sentak Bastian kemudian berlalu meninggalkan anak dan istrinya di sana.
Silvi merasa suaminya terlalu berlebihan menekan putranya yang masih berusia 26 tahun itu, wanita itu kemudian beranjak dari duduknya, berniat mengejar sang suami yang berjalan menaiki anak tangga menuju kamar mereka.
“Lebih baik kamu turuti perintah papamu, Vin. Mama juga khawatir kalau kamu lalai, Pak Hasbi akan benar-benar bertindak tegas. Kamu tahu sendiri, ‘kan, dia orang kepercayaan kakekmu meski kakekmu sendiri sudah tiada. Jadi, tidak menutup kemungkinan kakekmu memberikan hak penuh atas keputusannya kalau kita tidak bisa patuh dengan apa yang kakekmu inginkan!” Silvi berseru sebelum akhirnya meninggalkan Vino di sana.
“Argh!” Vino menjambak rambutnya kasar.
"Dasar keluarga sia*lan, penjilat kalian semua!" pekik Vino marah.
Pria itu merasa kepalanya yang masih berdenyut itu akan pecah karena tuntutan dari kedua orang tuanya. Padahal sebelumnya mereka tidak terlalu peduli dengan apa yang ingin dia lakukan. Vino adalah anak yang bebas, sedari dulu ia tidak pernah dibebankan akan pekerjaan menyebalkan itu.
“Awas, ya, kalian. Aku akan benar-benar menghancurkan kalian satu persatu!” gumam Vino berseru marah.
Pria itu segera berlalu menuju ke kamarnya untuk membersihkan diri dan bersiap. Tujuannya hari ini adalah menjumpai Narendra yang saat ini berada di kantor polisi. Pria itu begitu penasaran akan sepupu angkatnya itu. Akankah pria itu tengah menangis darah, ataukah tengah meringkuk dengan tatapan kosongnya? Ah, Vino semakin penasaran dengan keadaan Narendra sekarang.
Selesai bersiap pria itu segera melakukan mobil sport hasil taruhannya bersama teman-temannya menuju ke kantor polisi. Dengan riang pria itu juga menyalakan musik seakan tengah bergembira atas berita yang ia dapatkan hari ini.
“Aku semakin nggak sabar, pengen lihat wajah menyedihkan pria sia*lan itu!”
***
Arumi telah menyetujui apapun yang dikatakan oleh Satria. Meski awalnya ia cukup terkejut, tetapi apa boleh buat, jika itu bisa membebaskan suaminya maka ia akan melakukannya. Dewi, Bagas, dan Galendra, mereka belum sepenuhnya tahu akan bukti-bukti yang dimiliki Narendra dan Satria, tetapi mereka akan terus memberikan dukungan penuh untuk Narendra dan Arumi.
“Lalu bagaimana selanjutnya, Pa? Apakah kita akan gertak keluarga Vino dengan bukti itu terlebih dahulu atau kita langsung laporkan balik kelakuan Vino?” tanya Galendra.
“Kita akan langsung tuntut mereka, terutama Vino sebab bukti-bukti itu mengarah ke Vino, bukan?”
“Benar, Tuan,”
“Ya, sudah, setelah ini kita buat laporan ke kantor polisi. Arumi, kamu benar-benar tidak masalah meski ini menyangkut sesuatu yang mungkin pribadi untukmu?” tanya Bagas memastikan. Ia khawatir dianggap egois dengan hanya memikirkan putranya, tetapi mengabaikan menantunya.
“Arumi tidak apa-apa, Pa,” jawabnya yakin.
Semua orang lantas mengangguk dan tersenyum lega. Kini mereka harus menyusun rencana untuk memutar balikkan keadaan untuk membebaskan Narendra.
***
Vino menatap Narendra yang baru saja tiba dengan senyum mengejek seolah mengatakan bahwa dirinyalah pemenangnya. Namun, Narendra justru menggeleng dengan senyum lebar.
“Apa kau merindukanku, Vin? sampai-sampai kamu langsung mendatangiku ke sini,” tanya Narendra yang berhasil membuat Vino melenyapkan senyumannya.
Vino inginnya Narendra saat ini tengah menangis karena untuk yang pertama kalinya masuk ke dalam penjara bukannya malah tersenyum seakan semua baik-baik saja.
“Cih, buat apa aku merindukan bajing*an sepertimu!” Vino lantas terkekeh. “Bagaimana rasanya tinggal di sini, nyaman bukan? Tempat ini memang cocok untuk penjilat sepertimu!” Umpat Vino.
“Kamu jangan berbangga diri dulu, Vino. Adalah kamu yang bajing*an karena tidak memiliki otak untuk berpikir. Kamu ingat-ingat dulu, seberapa banyak kesalahan yang kamu perbuat sebelum mengatakan orang lain bajing*an. Ah, iya, aku hampir lupa … bukannya kamu memang tidak memiliki otak sehingga perbuatanmu pun di luar nalar semuanya!” ungkap Narendra dengan begitu tenang. Tidak ada guratan emosi dan kemarahan dari raut wajahnya.
“Apa kamu bilang?!“ raung Vino marah.
“Jangan emosi gitu, lah, Vin. Tunggu saja kejutan dariku. Mari kita lihat, siapa yang akan benar-benar mendekam di penjara dingin ini!” Narendra berseru tenang.
“Dasar breng*sek, dasar penjilat! Enyah saja kau dari hidupku!” pekik Vino kemudian beranjak dari duduknya dan pergi begitu saja dengan membawa amarah yang meluap-luap.
Niat hati ingin mengompori dan menyulut emosi Narendra agar pria itu semakin tertekan di sana, tetapi dirinyalah yang justru terbakar karena ucapan pedas penuh tekanan dari Narendra.
“Brengsek! Sudah dipenjara saja masih belagu!” umpat Vino begitu sampai di luar.
Saat ini pikiran pria itu begitu kacau. Ia. Butuh Karina, sang kekasih, untuk melepaskan amarah yang membakar dadanya. Dengan masih menahan amarah, pria itu mencoba untuk menghubungi kekasihnya itu.
“Ke mana dia, aku harus ke apartemen Karina sekarang!”