Nandana Panesthi, seorang istri yang sempurna di mata orang-orang, terjebak dalam pernikahan tanpa cinta dengan Dimas Larung Mahdiva, pria ambisius yang lebih mencintai kekuasaan daripada dirinya. Kehidupan rumah tangga mereka yang tampak harmonis hanyalah topeng dari kebekuan yang semakin menusuk hati Nanda.
Hingga suatu hari, Sanjana Binar Rimbawa hadir seperti badai di tengah gurun kehidupan Nanda. Seorang pria dengan tatapan yang dalam dan kata-kata yang mampu menghidupkan kembali jiwa yang hampir mati. Sanjana bukan sekadar selingkuhan dia adalah pria yang menempatkan Nanda di singgasana yang seharusnya, memperlakukannya bak ratu yang selama ini diabaikan oleh suaminya.
Namun, cinta terlarang ini tak semudah kelihatannya. Di balik kelembutan Sanjana, tersimpan rahasia yang mengancam segalanya. Sementara Dimas mulai mencurigai perubahan sikap Nanda dan bertekad untuk mengungkap siapa pria yang berani merebut perhatian istrinya.
Akankah Nanda menemukan kebahagiaan sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehidupan yang Hambar
Kehidupan baru yang hambar itu terasa begitu nyata bagi Nanda. Sejak pagi pertama di rumah ini, Nanda merasakan kekosongan yang menyesakkan dada. Rumah megah yang seharusnya menjadi tempat ia memulai kehidupan baru bersama Dimas, justru terasa dingin dan sunyi. Setiap sudut rumah itu terasa asing, seperti mencerminkan hubungan mereka yang rapuh.
Setelah sarapan yang sepi, Nanda berjalan perlahan menyusuri rumah. Tangannya menyentuh dinding-dinding yang dingin, mencoba mencari kehangatan yang tidak ada. Pandangannya jatuh pada ruang tamu yang luas, sofa empuk yang tidak disentuh, dan jendela besar yang memperlihatkan taman di luar. Tapi semuanya tampak kosong, seperti hatinya.
Dimas tidak kembali hingga siang menjelang. Ketika pintu utama terbuka, Nanda mendongak dengan harapan, tapi segera menyadari bahwa ekspresi suaminya tetap datar. Tidak ada senyuman, tidak ada kata-kata manis yang ia harapkan dari seorang suami yang baru menikah.
“Maaf, semalam aku ada urusan mendadak,” ucap Dimas singkat, tanpa penjelasan lebih lanjut.
Nanda hanya mengangguk. “Tidak apa-apa,” jawabnya pelan, meskipun hatinya meronta ingin bertanya lebih jauh. Tapi ia menahan diri. Percuma saja, pikirnya. Dimas tidak akan memberikan jawaban yang ia cari.
Hari-hari berlalu dengan pola yang sama. Dimas sibuk dengan pekerjaannya, atau mungkin dengan kehidupannya di luar yang tidak pernah Nanda ketahui. Sementara itu, Nanda menjalani rutinitas di rumah bersama Bu Turi. Bangun pagi, sarapan sendiri, menghabiskan waktu dengan membaca atau berjalan di taman.
Setiap malam, Nanda duduk di kamar, menunggu Dimas yang selalu pulang larut malam atau bahkan tidak pulang sama sekali.
Pernikahan ini, yang seharusnya menjadi awal baru yang penuh cinta dan harapan, berubah menjadi kehidupan yang hambar. Tidak ada kehangatan, tidak ada perhatian, hanya formalitas yang harus mereka jalani demi menjaga nama baik keluarga.
Di dalam dirinya, Nanda mulai bertanya-tanya, “Apakah ini hidup yang harus aku jalani selamanya? Apakah ini pernikahan yang diinginkan Ibu?”
Namun, meski rasa kecewa dan kesepian semakin dalam, Nanda mencoba bertahan. Ia belum tahu bagaimana caranya keluar dari kehampaan ini, tapi ia tahu satu hal ia tidak ingin selamanya terjebak dalam pernikahan yang hanya menjadi beban tanpa kebahagiaan.
"Saya mau tanya, boleh." Nanda yang berdiri di samping ranjang mereka.
"Tanya saja," ucap Dinas yang mengenakan jam tangan di tangan kirinya.
"Untuk apa kita menikah, jika kita harus seperti ini?" tanya Nanda membuat Dimas meliriknya.
Tanpa aba-aba, Dimas melayangkan tamparan keras pada wajah Nanda.
Nanda terhuyung ke belakang, memegangi pipinya yang terasa panas akibat tamparan Dimas. Matanya membulat, tidak percaya bahwa lelaki yang baru saja menikahinya bisa bertindak sekejam itu. Suara tamparan itu menggema di kamar yang luas, membuat suasana menjadi semakin mencekam.
“Jangan pernah menanyakan hal yang tidak perlu!” suara Dimas rendah, namun penuh amarah. Tatapannya tajam seperti belati, menusuk langsung ke hati Nanda.
Nanda menatap Dimas dengan mata yang mulai berair. “Aku hanya ingin tahu... kenapa kita harus hidup seperti ini?” Suaranya bergetar, namun ia berusaha untuk tetap tegar.
Dimas mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Nanda. “Kamu pikir pernikahan ini tentang cinta?” Dimas tersenyum sinis. “Ini tentang kesepakatan, Nanda. Aku menikahimu karena keluargaku membutuhkannya. Itu saja.”
Kata-kata itu menghantam Nanda lebih keras daripada tamparan tadi. Kesepakatan. Satu kata itu sudah cukup untuk meruntuhkan semua harapannya. Pernikahan ini bukan tentang cinta, bukan tentang membangun kehidupan bersama. Hanya sebuah perjanjian bisnis yang dingin dan tanpa perasaan.
Air mata Nanda akhirnya jatuh. “Jadi aku hanya alat?” bisiknya lirih.
Dimas menatapnya tanpa rasa bersalah. “Kamu tahu ini sejak awal. Jangan bertingkah seolah kau tidak mengerti.”
Nanda menggeleng pelan. “Aku menikahimu karena aku berharap... setidaknya ada sedikit cinta. Tapi ternyata aku salah.”
Dimas meraih jas yang tergantung di kursi. “Kamu tidak salah, Nanda. Kamu hanya terlalu berharap,” ujarnya sebelum melangkah keluar dari kamar, meninggalkan Nanda sendiri dalam luka dan kepedihan yang baru saja terbuka.
***
Sejak malam itu, kehidupan Nanda semakin terasa seperti penjara. Dimas bahkan tidak membiarkannya keluar rumah tanpa ditemani Bu Turi. Kebebasannya terenggut, dan rumah megah yang mereka tinggali berubah menjadi sangkar emas yang membatasi langkahnya.
Setiap kali Nanda mencoba berbicara kepada Dimas mengenai keinginannya untuk keluar, walaupun hanya sekadar berjalan-jalan di taman atau mengunjungi ibunya, Dimas selalu menolak dengan dingin.
“Kalau kamu perlu sesuatu, suruh Bu Turi yang membelinya,” ucap Dimas suatu malam, ketika Nanda memintanya untuk pergi ke luar rumah.
“Aku bukan tahanan, Dimas. Aku butuh udara segar. Aku butuh melihat dunia luar,” Nanda mencoba berargumen dengan suara tenang, meski hatinya bergejolak.
Dimas menatapnya tajam. “Kamu aman di sini. Dunia luar hanya akan membuatmu lemah dan terpengaruh hal-hal yang tidak perlu. Aku tidak ingin kau keluar tanpa alasan.”
Nanda menghela napas panjang. Aman? Yang Dimas maksud adalah kontrol, bukan perlindungan. Ia merasa dirinya seperti boneka yang ditempatkan di etalase, hanya ada untuk dilihat, tapi tidak pernah bebas menjalani hidupnya sendiri.
Setiap pagi, Bu Turi selalu memastikan semua kebutuhan Nanda terpenuhi. Tapi Nanda tahu, Bu Turi bukan hanya seorang pembantu, melainkan juga mata dan telinga Dimas. Setiap pergerakan Nanda dilaporkan, setiap percakapan yang terdengar di rumah pasti akan sampai ke telinga suaminya.
Hari-hari Nanda dihabiskan dalam kesunyian. Membaca buku di ruang tamu yang luas, menyiram tanaman di taman belakang yang kecil, atau sekadar berdiri di dekat jendela, memandang dunia luar yang terasa begitu jauh.
Apakah ini hidup yang harus aku jalani selamanya? pikirnya berulang kali. Tapi ia tahu, jika terus begini, perlahan jiwanya akan terkikis oleh rasa sepi dan ketidakberdayaan. Ia harus menemukan jalan keluar, meskipun belum tahu bagaimana caranya.
***
Marah dan kesal akan suatu hal, Dimas selalu melampiaskannya kepada Nanda. Entah itu karena masalah pekerjaan, tekanan dari keluarganya, atau bahkan hal kecil yang tidak berjalan sesuai keinginannya. Nanda selalu menjadi sasaran.
Suatu malam, Dimas pulang dengan wajah yang gelap. Langkahnya berat, dan napasnya terdengar kasar. Nanda yang tengah duduk di ruang tamu segera berdiri, mencoba menyambutnya dengan senyum meski dalam hatinya sudah ada firasat buruk.
“Kamu tidak perlu pura-pura ramah,” ucap Dimas dingin, melempar jasnya ke sofa. “Kamu tahu apa yang terjadi hari ini?”
Nanda menggeleng pelan. “Apa ada yang salah?” tanyanya hati-hati.
Dimas mendekat, matanya menatap Nanda dengan tajam. “Investor membatalkan kontrak. Semua itu karena laporan yang kacau. Dan kamu tahu apa yang mereka katakan? Mereka ragu dengan citra perusahaan setelah pernikahan kita.” Suaranya semakin meninggi, penuh kemarahan.
Nanda terdiam, mencoba meredam rasa takut yang mulai merayap. “Aku... aku tidak tahu itu akan mempengaruhi—”
“Diam!” potong Dimas, suaranya menggema di ruangan. “Kamu hanya perlu diam dan mengikuti apa yang aku katakan. Jangan banyak bicara seolah-olah kanu mengerti.”
Nanda menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir tumpah. Aku selalu menjadi pelampiasannya, pikirnya. Setiap kemarahan, setiap frustrasi, selalu diarahkan kepadanya, seolah-olah ia adalah akar dari semua masalah.
Dimas melangkah ke arah meja, meraih gelas dan menuangkan minuman dengan tangan yang gemetar karena marah. “Kamu ini benar-benar tidak berguna. Apa gunanya aku menikahimu kalau hanya membawa masalah?”
Kata-kata itu menusuk Nanda seperti pisau. Tidak berguna. Itulah yang selalu diucapkan Dimas ketika kemarahan menguasainya. Nanda menunduk, memandang lantai sambil mengepalkan tangan di sisi tubuhnya.
“Aku minta maaf...” suaranya hampir tak terdengar, hanya sebuah upaya sia-sia untuk meredakan amarah Dimas. Tapi permintaan maaf itu hanya berakhir sebagai gema di ruangan yang dingin.
Dimas mendekat sekali lagi, menatap Nanda dengan sorot mata yang penuh kebencian. “Ingat, Nanda. Kamu di sini karena aku mengizinkanmu berada di sini. Jangan pernah lupa siapa yang punya kendali.”
Setelah itu, Dimas pergi ke kamar, meninggalkan Nanda sendirian dalam keheningan yang menyesakkan. Ia berdiri di tempatnya, merasa kecil, tidak berdaya, dan semakin terjebak dalam pernikahan yang hanya memberinya luka. Berapa lama lagi aku bisa bertahan? tanyanya pada dirinya sendiri, meski ia tahu jawabannya semakin sulit untuk ditemukan.