Hanya karena ingin membalas budi kepada Abram, lelaki yang telah menolongnya, Gisela memaksa menjadi istri lelaki itu meskipun ia harus mendapat perlakuan kasar dari Abram maupun mertuanya. Ia tetap bersabar.
Waktu terus berlalu, Gisela mengembuskan napas lega saat Abram mengajak tinggal di rumah berbeda dengan mertuanya. Gisela pikir kehidupan mereka akan lebih baik lagi. Namun, ternyata salah. Bak keluar dari kandang macan dan masuk ke kandang singa, Gisela justru harus tinggal seatap dengan kekasih suaminya. Yang membuat Gisela makin terluka adalah Abram yang justru tidur sekamar dengan sang kekasih, bukan dengannya.
Akankah Gisela akan tetap bertahan demi kata balas budi? Atau dia akan menyerah dan lebih memilih pergi? Apalagi ada sosok Dirga, masa lalu Gisela, yang selalu menjaga wanita itu meskipun secara diam-diam.
Simak kisahnya di sini 🤗 jangan lupa selalu dukung karya Othor Kalem Fenomenal ini 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AMM 33
"Untuk apa kamu datang ke sini!" bentak Abram. Lelaki itu bangkit berdiri dan menyuruh kedua wanita tadi untuk menjauh darinya.
Gisela hanya diam dan menatap Abram yang sepertinya mulai mabuk. Terlihat dari lelaki itu yang beberapa kali menggeleng sembari memijat pelipis. Tidak mendapat jawaban dari Gisela, dengan langkah lebar Abram mendekati mantan istrinya tersebut dan segera mencekal tangan wanita itu cukup kuat.
"Le-lepaskan aku!" Gisela berusaha melepaskan cengkeraman tersebut, tetapi ia kalah tenaga. Ketakutan pun mulai menyelimuti hati Gisela saat melihat sorot mata Abram yang begitu menakutkan.
"Jawab! Untuk apa kamu datang ke sini! Kamu sengaja mengikutiku? Atau kamu mau memata-mataiku!" Suara Abram masih tinggi. Menggelegar di sekitar sana, tetapi tidak ada yang peduli. Dua wanita tadi pun hanya menatap sinis kepada Gisela.
Gisela menggeleng cepat karena memang bukan itu tujuannya datang ke tempat laknat tersebut. Ia hanya mengikuti langkah kakinya saja. Ia bahkan tidak menyangka jika dipertemukan Abram di tempat ini. Jika sejak awal Gisela tahu ada Abram di sana, sudah pasti ia tidak akan datang ke tempat tersebut.
Ketika melihat Gisela yang menggeleng, Abram justru tersenyum miring dan makin menguatkan cekalan tangannya.
"Lepaskan aku, Mas." Gisela berusaha meronta ketika Abram mulai menarik tangannya dan entah akan membawa dirinya ke mana. Suara teriakan Gisela kalah dengan dentuman musik di sana. Beberapa orang yang melihat pun justru bersikap tidak acuh. Sungguh mereka minim kepedulian.
"Ka-kamu mau membawaku ke mana, Mas?" Gisela makin ketakutan saat mereka sudah berada di lantai tiga dan Abram langsung menariknya masuk ke sebuah kamar. Apalagi ketika mendengar bunyi pintu terkunci, tubuh Gisela mulai gemetar.
Merasa sedang tidak berada di posisi tidak aman, Gisela pun mulai bersiaga dan hendak mengambil ponsel untuk menghubungi siapa pun yang bisa menolongnya. Namun, sialnya tangan Abram lebih cepat menghempaskan tubuh Gisela ke ranjang hingga wanita itu sedikit meringis. Tas dan ponsel milik Gisela pun sudah berhamburan di lantai.
"A-apa yang akan kamu lakukan, Mas?" Gisela mulai memundurkan tubuhnya saat Abram membuka kancing kemeja yang dikenakan.
"Aku? Tentu saja ingin memberi pembalasan untukmu." Abram menjawab disertai senyuman licik.
"Pe-pembalasan dendam?" Gisela terbata. Sungguh saat ini ia sedang berada dalam sebuah ketakutan yang amat luar biasa. Apalagi sekarang seluruh kancing kemeja Abram telah terbuka hingga terpampanglah dada bidang lelaki itu.
"Ya! Kamu sudah membuatku kehilangan calon buah hatiku dan kamu juga sudah berani merendahkan harga diriku. Hanya karena lelaki yang bergelar dokter itu, kamu berani menceraikanku!" bentak Abram. Suaranya menggema di kamar tersebut.
"Aku tidak membunuh calon anakmu, Mas. Stevani yang waktu itu hendak mendorongku. Soal perceraian, ini tidak ada hubungannya dengan Dirga. Bukankah seharusnya kamu senang bisa terbebas dariku," timpal Gisela memberanikan diri.
"Ya! Tapi aku tidak terima. Seharusnya aku yang menggugatmu dan bukan malah sebaliknya!"
"Ja-Jangan, Mas." Gisela menangis ketika Abram sudah menindih tubuhnya. Mengunci dirinya dalam kungkungan.
"Rasakan pembalasanku!" Abram mulai menciumi wajah Gisela walaupun wanita itu terus berusaha menghindar dari ciuman tersebut. Bahkan Abram dengan berani menciptakan banyak tanda cinta di leher wanita itu.
Tidak ada yang bisa dilakukan oleh Gisela selain pasrah dan menerima semua perlakuan Abram. Hanya air mata yang menjadi saksi bisu di mana Gisela harus terluka untuk kesekian kalinya dengan sikap Abram.
Percuma.
Semakin Gisela menolak maka Abram akan makin beringas melumpuhkannya dengan cumbuan hingga sampai akhirnya Abram membenamkan adik kecilnya sedalam-dalamnya dan menumpahkan cairan kental ke dalam rahim terdalam milik Gisela.
"Ahh ... sungguh luar biasa," gumam Abram sebelum tubuhnya ambruk di samping Gisela.