Saat sedang menata hati karena pengkhianatan Harsa Mahendra -- kekasihnya dengan Citra -- adik tirinya. Dara Larasati dihadapi dengan kenyataan kalau Bunda akan menikah dengan Papa Harsa, artinya mereka akan menjadi saudara dan mengingat perselingkuhan Harsa dan Citra setiap bertemu dengan mereka. Kini, Dara harus berurusan dengan Pandu Aji, putra kedua keluarga Mahendra.
Perjuangan Dara karena bukan hanya kehidupannya yang direnggut oleh Citra, bahkan cintanya pun harus rela ia lepas. Namun, untuk yang satu ini ia tidak akan menyerah.
“Cinta tak harus kamu.” Dara Larasati
“Pernyataan itu hanya untuk Harsa. Bagiku cinta itu ya … kamu.” Pandu Aji Mahendra.
=====
Follow Ig : dtyas_dtyas
Saran : jangan menempuk bab untuk baca y 😘😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CTHK 23 ~
Pandu terjaga dan terkejut dengan keberadaan CItra yang bersandar pada tubuhnya. Sempat berdecak, seingatnya ia tidur menjelang subuh setelah Surya dan Kemala pulang dan Citra memilih tetap tinggal untuk menemani Pandu menjaga Jaya.
Padahal perempuan itu sudah tidur di ranjang khusus keluarga pasien, kenapa sekarang ada di samping Pandu. Tanpa aba-aba, apalagi perlahan agar tidak membangunkan Citra, Pandu bergegas berdiri membuat wanita itu terjaga karena tubuhnya oleng ke sofa.
“Mas Pandu, sudah bangun.” Citra menyapa sambil mengucek matanya, sedangkan Pandu hanya berdehem dan menghampiri ranjang pasien. Mengecek kondisi Jaya yang masih tertidur. CItra ikut mendekat dan menawarkan sarapan untuk pria itu.
“Jangan berisik dan duduk saja di sana,” tunjuk Pandu ke arah sofa.
Waktu sudah menunjukan pukul enam pagi, semalam ia sudah komunikasi dengan asisten Jaya untuk bergantian jaga. Tidak mungkin alpa dari kantor, apalagi baru beberapa hari menjabat.
“Mas, mau kopi atau ….”
“Tidak usah, aku akan sarapan di kantor,” sahut Pandu menyela tawaran Citra saat ia mengambil ponsel di atas meja.
“Mau kerja? Tapi ‘kan Opa lagi sakit?”
“Aku di sini pun Papi nggak akan setuju, lagi pula ada dokter dan asistennya yang menjaga. Terserah kalau kamu mau tetap di sini.”
Belum juga CItra menjawab, terdengar pintu dibuka. Benar saja, asisten Jaya yang datang membawa dua paper bag yang mana salah satunya diberikan pada Pandu yang langsung dibawa ke toilet.
Citra kesal karena Pandu malah akan pergi, untuk apa pula dia tetap di sana. Rencananya bukan untuk ikut memantau kesehatan Jaya, tapi mendekati Pandu.
“Susah banget sih cari perhatian Mas Pandu,” gumam Citra.
Keluar dari toilet, Pandu sudah berganti pakaian dengan kemeja dan celana panjang. Berbicara sebentar dengan asisten Jaya dan berpesan agar terus mengabari kondisi pria itu.
“Mas Pandu mau jalan?”
“Hm.”
“Aku gimana pulangnya?” tanya Citra dengan nada manja, berharap Pandu akan mengantarkannya pulang.
“Semalam kamu kesini naik apa?”
“Taksi.”
“Ya sudah, gunakan saja taksi lagi.”
“Hah, tapi Mas ….” Citra mengekor langkah Pandu keluar dari kamar rawat dan memohon agar pria itu mau mengantarkannya pulang.
“Aku masih ngantuk, kalau nanti supir taksinya nakal. Gimana?”
“Telpon saja Harsa, minta dia jemput kamu.”
Citra terkejut karena Pandu membahas Harsa. “Kenapa harus Mas Harsa yang jemput aku?”
“Kenapa juga harus aku yang antar kamu? Dengar Citra, aku sibuk. Urusanku bukan hanya di Mahendra Group, tapi juga Grand Season. Jangan mencoba menarik perhatian karena aku tidak tertarik.”
“Hah!”
Pandu meninggalkan Citra, sadar kalau ucapannya itu cukup kasar dan mungkin akan menyinggung perasaan Citra. Tidak ingin mengambil resiko, karena menurutnya Citra sangat pintar memanfaatkan situasi. Ditambah tidak tahu malu, bagaimana mungkin kekasih dari saudaranya sendiri malah ditikung dan sekarang tanpa rasa bersalah mendekati dirinya.
“Mas Pandu,” panggil Citra, tapi diabaikan olehnya.
***
Sejak kembali ke meja kerjanya, Dara langsung fokus mengerjakan tugas yang beberapa hari ini terbengkalai. Leo belum mendapatkan penggantinya dan langsung memberikan arahan lengkap dengan nasihat dan omelan agar tidak melakukan kesalahan fatal lagi.
Menjelang makan siang, Dara masih fokus dengan layar komputer mengabaikan notifikasi pesan masuk dan hanya menjawab panggilan dari Leo yang dibedakan nada deringnya juga merespon laporan lewat radio HT yang memang digunakan oleh petugas.
“Pantas saja lapar, ternyata sudah siang.”
Dara beranjak dari kursinya menuju toilet lalu ke pantry untuk membuat kopi dan kembali ke kubikelnya.
“Mbak Dara, ada telpon dari Pak Leo. Katanya suruh cek ponsel.”
“Oh, iya.”
Dara mengira kalau Leo menghubungi ketika dia berada di toilet, segera menghubungi balik. Ia menghela nafas saat mendengar Leo mencak mencak karena mengabaikan ponselnya.
“Maaf Pak, saya baru dari toilet.”
“Gara-gara kamu aku sampai di hubungi Pak Pandu. Kamu kenapa senang bikin saya kena masalah sih. Cepat cek ponsel kamu.”
“Pak Pandu,” ulang Dara ketika Leo mengakhiri panggilan lalu membuka ponselnya. Memang ada banyak pesan masuk. Bukan hanya ramai pesan di grup, tapi juga kontak personal termasuk dari … Pandu.
Beberapa panggilan tidak terjawab dari Leo dan Pandu, membuat Dara bergegas menghubungi Pandu. Khawatir ada informasi atau kabar mengenai kondisi Jaya.
“Halo, Om, Pandu.”
“Ck, apa ponselmu rusak sampai aku harus menghubungi Leo baru bisa bicara denganmu?” tanya Pandu di ujung sana, bahkan tidak mendahului dengan sapaan atau basa-basi.
“Saya sibuk, suruh siapa dipindah tugas dan sekarang malah numpuk begini.”
“Di mana kamu?”
“Di hotel Om, masa di Mall,” jawab Dara.
“Jangan makan junk food apalagi cemilan tidak sehat,” ujar Pandu, padahal ia ingin bertanya apakah Dara sudah makan atau belum.
“Rencananya saya mau pesan burger,” sahut Dara dengan pandangan tertuju pada layar di depannya.
“Kamu ….”
“Opa Jaya, gimana kondisinya?” tanya Dara
“Hm, sudah lebih baik.“
“Syukurlah, sudah ya … saya sibuk Om. Beda sama situ yang ongkang-ongkang kaki juga cuan tetap mengalir.”
“Hei, apa kamu bilang? Ongkang-ongkang kaki. Seharusnya kamu ke sini dan lihat apa yang sedang aku kerjakan, juga ….”
“Tut tut tut, nomor yang anda hubungi sedang sibuk. Silahkan hubungi nanti,” sahut Dara kemudian mengakhiri pembicaraan dan terkekeh geli membayangkan Pandu yang mungkin sedang emosi di sana.
“Aneh juga ya, ngapain telpon Cuma ngasih tahu makan junk food nggak baik.” Dara teringat ucapan Vio kalau Pandu kemungkinan menyukainya dan CItra yang menuduh dia dan Pandu ada hubungan. Tidak ingin percaya diri kalau Pandu menyukainya, tapi kenyataan tidak dan akan berakhir kecewa.
“Nggak mungkin juga Om Pandu menyukaiku. Sadar Ra, kamu bukan siapa-siapa. Om Pandu itu kayak langit dan kamu hanya bumi entah lapisan ke berapa,” gumam Dara.
Selain menghilangkan pikiran mengenai Pandu dan berusaha tidak terbawa perasaan karena kedekatan dengan pria itu yang notabene terlihat sempurna sebagai seorang pria. Dara tidak ingin merasakan lagi sakit hati, seperti yang sebelumnya.
“Fokus Ra, no time for love. Jangan baper nanti laper, pokoknya kalau Om Pandu datang lebih baik abaikan saja,” ujar Dara bicara sendiri.
≈\=≈\=\=\=\=
Berjuanglah Pandu, langkahmu tidak akan mudah.
Pandu :kelamaan 🙄
sama ortu gampang banget manggil ""situ,kamu""drastis banget berubahnya 😏
ada saatnya juga kita jangan kalah
semua ada masanya😘
dan terkadang hati juga memungkiri si pemiliknya😉
mau rasa apa saja tersedia banyak disana😘✌️