"3 tahun! Aku janji 3 tahun! Aku balik lagi ke sini! Kamu mau kan nunggu aku?" Dia yang pergi di semester pertama SMP.
***
Hari ini adalah tahun ke 3 yang Dani janjikan. Bodohnya aku, malah masih tetap menunggu.
"Dani sekolah di SMK UNIVERSAL."
3 tahun yang Dani janjikan, tidak ditepatinya. Dia memintaku untuk menunggu lagi hingga 8 tahun lamanya. Namun, saat pertemuan itu terjadi.
"Geheugenopname."
"Bahasa apa? Aku ga ngerti," tanyaku.
"Bahasa Belanda." Dia pergi setelah mengucapkan dua kata tersebut.
"Artinya apa?!" tanyaku lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BellaBiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28
Saat aku terbangun. Aku melihat sekelilingku adalah ruangan kamar yang biasanya aku pakai untuk tidur. Aku menghela napas lega. Untungnya semua itu hanya mimpi.
Aku mendnegar suara hingar bingar di ruang tamu. Langsung kubuka pintu kamar yang ternyata mama Arzio sedang menangis bersama ibuku.
"Kenapa?" tanyaku menghampiri mereka.
~Plak! Untuk pertama kalinya ibu menamparku. Aku terkejut dan tertegun. Muncul rasa tidak nyaman di dadaku.
"ARZIO KECELAKAAN GARA-GARA NYUSULIN KAMU KE PANTAI! GILA YA KAMU! DIA UDAH BILANG JANGAN KE TEMPAT YANG JAUH! PULANG-PULANG KAMU PINGSAN KAYAK TADI, KAMU KIRA DIA GA KHAWATIR?!" teriak ibu membuatku meneteskan air mata.
Ternyata kejadian tadi bukanlah mimpi.
"KURANG BAIK APA ARZIO SAMA KAMU, LITA?!" teriak ibu lagi.
Mama Arzio menengahi kami agar ibu tak lagi menyentuhku. "Sudah sudah! Kita ga ada yang tau bakalan kejadian kayak gini," ucapnya.
"Sekarang Arzio di mana?" tanyaku pada mama.
***
Semua orang berangkat ke rumah sakit. Sedangkan aku ditinggal di rumah sebab mobilnya tidak muat dan dipaksa ibu untuk menjaga rumah. Bahkan untuk di saat-saat seperti ini, aku tidak ada untuk Arzio.
Pada pukul 23:12 WIB pintu rumah diketuk oleh seseorang. Aku kira itu ibu yang baru pulang dari rumah sakit. Saat kubuka .....
"Jadi Arzio gima ...." Kalimatku terhenti.
Kakiku melemah. Rasanya seperti mendadak lumpuh. Dadaku kembali sakit.
"Da—Dani?" Lidahku yang keluh berusaha bersuara.
Dia tersenyum menatapku.
~Brag! Aku terduduk di lantai.
"Ga mungkin! Gue mimpi lagi ya? Gue mimpi?!" pekikku yang terus terus menampar wajah agar segera terbangun dari mimpi aneh ini.
"Kamu kenapa?" tanyanya yang ikut berjongkok di hadapanku.
"Ga! Enggaak!" teriakku berusaha menjauh.
"Lita Lita! Kamu kenapa? Ini aku! Dani! Kamu ga mimpi!" tegasnya.
"Ga! Dani udah meninggal!" teriakku.
"Hum, pesawat itu ya? Aku ga ikut penerbangan waktu itu. Soalnya cuaca lagi buruk di Indo, jadi aku ga balik," jelasnya.
"Ga! Gue ga mau! Ke luar! Gue ga mau ada urusan sama Dani lagi! Ke luar! KELUAAAAARRR!!" teriakku menjadi-jadi.
"Lita!" tegas Dani. "Kamu ...." Dia tak melanjutkan kalimatnya dan pergi begitu saja.
Aku langsung menutup pintu rumah dan menguncinya. Kalang kabut aku mengambil ponsel dan menelepon Rina sambil menangis ketakutan.
Rina datang dan kini dia duduk di hadapanku. Dia berusaha menelepon Xia, namun gadis itu mendadak tidak aktif.
"Gue yakin Xia tau soal ini! Ga mungkin temennya ga nginfoin apa-apa! Mustahil!" ocehnya.
"Da—Dani masih hidup?" tanyaku pelan. "Apa jangan-jangan Arzio udah tau? Makanya dia takut gue balik lagi sama Dani?"
Rina menoleh padaku. "Kayaknya iya. Sekarang kalo kejadiannya kayak gini, lo bakalan balik lagi ke Dani?!"
"Ga! Gue udah janji buat nunggu Arzio! Dia juga janji mau nikahin gue!" tegasku.
"Mending sekarang lo tidur, besok pagi tanyain keadaan Arzio gimana sama ibu lo. Lo jangan mikirin Dani. Terserah dia mau mati, mau hidup, mau apa kek. Yang penting lo fokus sama Arzio!"
"Tapi ...."
"Tapi apa?! Lo masih ngarepin Dani?!"
"Ga! Bukan itu maksud gue! Gue takut Arzio kenapa-kenapa," jawabku.
"Kita tunggu kabarnya besok pagi."
***
"Bawain ini buat Arzio," ucap ibu menaruh 4 Tupperware berwarna hijau berisi berbagai macam makanan.
Sesampainya aku di rumah sakit, dan sempat tersesat ke ruangan antah berantah. Akhirnya aku sampai di ruang rawat inap VIP. Arzio sedang bermain ponsel di atas bed.
Dia tak menghiraukan kehadiranku. Kutaruh kumpulan Tupperware di atas nakas khusus pasien.
Kukirim pesan pada mama Arzio, menanyakan apa anaknya ini sudah sarapan dan bersih-bersih? Beliau menjawab belum dan menyerahkan semuanya padaku.
Kutatap tangan kiri Arzio yang berbalut perban. Wajahnya juga terdapat beberapa bekas luka gores.
"Kamu mau sarapan dulu apa bersih-bersih dulu?" tanyaku.
Dia hanya berdiam tanpa memberi jawaban.
Baiklah, kuanggap itu artinya dia serahkan semuanya padaku. Kuambil sebuah baskom stainless steel dari kamar mandi dan mengisinya dengan air. Tak lupa sebuah handuk kering yang kurendam di dalamnya.
Dia langsung berbaring saat kuhampiri. Mengelap wajahnya terlebih dahulu. Kupandangi wajah Arzio yang sedang memejamkan mata. Juga kubersihkan lukanya.
~Cup! Kukecup bibir Arzio dan membuatnya membuka mata.
Kulanjutkan mengelap rambutnya dan membuat helai demi helai menjadi basah.
"Aku udah tau alasan kamu takut aku nyari Dani," ucapku.
Tampak jelas wajahnya yang terkejut. "Kenapa?" tanyanya.
"Dani ga kecelakaan pesawat waktu itu. Dia ga ikut balik ke Indonesia. Aku pingsan di pantai kemaren karena ngeliat dia," jawabku sambil terus mengelap lengan Arzio.
"Isi surat yang nyokap Dani bawa dulu, itu isinya Dani minta nyokapnya minta maaf ke kamu. Dan dia bilang dia ga balik hari itu dan dia minta kamu nunggu lagi. Aku ga mau kamu nunggu lebih lama! Udah cukup 8 tahun kamu terbuang sia-sia!" jelas Arzio.
Aku terus menggosok kulitnya agar menjadi segar dan cepat sembuh. "Semalam dia ke rumah, tapi aku usir. Aku ga mau berurusan sama dia lagi," jawabku.
Arzio tak memberikan respon apapun. Aku menyelesaikan tugasku. Perawat datang memberi jatah sarapan untuknya.
"Mau makan yang ini atau yang ibu masak?" tanyaku.
"Yang ibu aja," jawabnya.
Tangan kanan Arzio patah, jadi aku akan menyuapinya hingga selesai makan. Setelah ia selesai sarapan, tiba-tiba Arzio menyodorkan ponselnya padaku.
"Kenapa?" tanyaku.
"Baca," jawabnya singkat.
Kuambil alih dan membaca isi chat antara Arzio dan kontak yang bernama "Tolol".
[Sebanyak apapun effort lo buat Arlita. Dia tetap jadi milik gue] tulis Tolol dalam pesan yang paling atas.
^^^[Ini siapa?] balas Arzio.^^^
[Arlita ga bakalan bisa lupain gue. Meskipun lo bilang kalo gue mati]
^^^[Ini siapa sih? Ga jelas]^^^
[Gue udah nyangka dari awal kemah waktu itu. Lo pasti suka sama Arlita. Maksud gue, lo suka sama pacar gue]
^^^[Ow, lo Dani? Yang nyokapnya bikin Lita trauma? Yang minta Lita nunggu bertahun-tahun tanpa kejelasan? Kalo tujuan lo cuma buat Lita ngabisin waktu, gue bakalan kasih tau kalo waktu dia itu lebih berharga dari lo]^^^
[Terserah lo mau bilang apa. Apapun yang lo lakuin, ga bakal bisa bikin Arlita berpaling dari gue. Lo kira Arlita mau sama lo alasannya apa? Dia suka sama lo? Ha ha. Dia cuma kasian sama lo!]
^^^[Setidaknya gue bisa berada di samping Lita setiap dia butuh gue]^^^
[Inget kata-kata gue. Apapun yang lo lakuin, Arlita tetap ga bakal bisa lepas dari bayang-bayang gue. Lo cuma pengganggu yang ga tau malu ngerebut pacar orang!]
^^^[Gue bakal buktiin bahwa cewek yang lo bilang pacar itu calon istri gue]^^^
Aku terdiam membacanya dan menatap ke arah Arzio. Kini aku mengerti alasan Arzio takut aku mencari Dani.
"Di IG juga ada, baca aja DM-nya," ucap Arzio. Namun aku tak membukanya. Kukembalikan ponsel itu pada sang pemilik. "Kenapa?" tanyanya.
"Aku ga mau berurusan lagi sama Dani. Sekarang kita fokus kisah kita aja," ujarku.