Hanna Mahira adalah seorang wanita berumur 27 tahun. Dia bekerja sebagai karyawan staff keuangan pada sebuah cabang dari perusahaan ternama. Anna panggilannya, menjadi tulang punggung keluarga. Setelah ayahnya meninggal dunia, semua kebutuhan hidup ada di pundaknya.
Dia memiliki adik perempuan yang sekolah dengan biaya yang di tanggungnya.
Anna mencintai atasannya secara diam-diam. Siapa sangka jika sang atasan mengajaknya menikah. Anna seperti mendapatkan keberuntungan, tentu saja dia langsung menerima lamaran sang bos tersebut.
Namun, di hari pertamanya menjadi seorang istri dari seorang David Arion Syahreza membawanya pada lubang kedukaan.
Sebab di hari pertamanya menjadi seorang istri terungkap fakta yang amat menyakitkan. Bahwa David sang suami yang sangat Anna cintai mengatakan bahwa pernikahan ini adalah kesalahan terbesar yang dia lakukan.
Ada apa sebenarnya?
Anna berusaha menyingkap tabir rahasia David dan berusaha tegar atas pernikahan tersebut.
Baca kisahnya dan temani Anna mengungkap rahasia besar David
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IkeFrenhas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 33
Aku sering bertanya-tanya tentang hubungan Alina dengan bang David.
Mereka serius atau tidak dengan hubungan yang mereka jalani saat ini. Mengapa belum ada kelanjutannya?
Bagaimanapun juga, Alina adalah adikku satu-satunya.
Kebahagiaannya adalah tanggung jawabku. Jika dia tersakiti, tentu saja aku yang akan maju duluan untuk membelanya.
Kami hanya bertiga di dunia ini. Tidak ada siapapun lagi. Sudah sepantasnya kan jika kami saling menguatkan.
Terlepas dari apapun yang telah Alina lakukan, toh ... siapa yang bisa memaksakan hati.
Jangankan hanya seorang David, nyawaku pun jika Alina minta tentu akan aku berikan.
Aku membuka pintu kamar Alina, melangkah ke dalam. Tampak dia tengah asyik mengobrol di telepon. Sejenak kami hanya saling menatap, lantas akupun tersenyum.
Duduk di kursi meja rias, menghadap padanya yang bersandar dinding. Kakinya di lipat, hingga duduk dengan posisi bersila.
"Nanti disambung lagi ya ...." Aku mengernyit, menatap Alina dalam.
"Teman, Kak." Sepertinya dia mengerti isyarat tanyaku.
Aku mengangguk mendengar jawabannya. Aku tidak bertanya lebih lanjut siapa teman yang dia maksud. Jika Alina mau bercerita, tentu dia akan menceritakannya sendiri.
"Dek, sibuk ... enggak?" tanyaku hati-hati.
"Enggak. Kenapa, Kak?"
"Mau ngobrol aja, sih." Alina tersenyum canggung.
Sebenarnya bingung juga, bagaimana memulai obrolan ini. Aku menghela napas panjang.
"Dek, Kakak minta maaf yaa ...." Ya, aku belum pernah mengatakan ini sebelumnya. Seharusnya, dari dulu aku mengucapkannya.
"Untuk apa, Kak?" Alina mengerutkan dahi. Sepertinya, dia bingung. Aku tiba-tiba meminta maaf padanya.
"Untuk semua. Terutama, untuk pernikahan yang Kakak jalani. Karena ... kamu telah tersakiti. Maaf, karena Kak Anna engga tahu. Lelaki yang kamu cintai itu adalah Bang David." Aku menarik napas panjang, lalu menghembuskan kasar.
Alina menggeleng, tampak air matanya mengalir membasahi pipi. Cepat, dia menghapusnya.
"Seharusnya ... dari awal Alina yang menikah dengan Bang David. Tapi, karena kebodohan Kakak, Adek jadi merasakan sakit berkepanjangan. Seharusnya, sebagai seorang yang lebih tua, lebih peka membaca keadaan. Kamu pasti malu kan punya kakak yang bodoh ini." Suaraku mulai serak, bibirku bergetar.
Mengungkit kenangan lam ayang menyakitkan hati, tentu masih menyisakan luka yang menganga. Bukan karena aku masih berharap ataupun menyimpan dendam kepada mereka, tapi ... karena aku belum sepenuhnya bisa melupakan semua yang telah terjadi.
Hanya saja, aku harus bisa mencoba untuk kuat dan mampu menghadapi semuanya.
Luka itu, bukan tentang sikap bang David. Luka itu tentang perasaan seorang kakak membayangkan sakit hati adiknya karena dirinya.
"Kakak enggak salah. Aku yang salah." Alina sesunggukan.
Sejenak kami hanya saling diam. Meresapi perasaan masing-masing. Selama ini, kehidupan kami baik-baik saja. Namun, tiba-tiba seperti orang asing yang saling menghindari.
Saling menyindir, saling merasa lebih. Adakah yang lebih sakit dari persaingan dengan kerabat dekat sendiri?
"Lalu, bagaimana hubungan kalian sekarang? Ada kemajuan apa? Kapan kalian akan merencanakan pernikahan?"
"Entahlah ... aku beberapa kali menanyakan perihal itu kepada bang David, tapi dia selalu menolak. Sibuk benget katanya." Alina menjawab dengan menunduk dalam. Menyembunyikan raut kecewa yang tercetak jelas di wajahnya.
Aku menganggukkan kepala. Mengingat-ingat bagaimana bang David selalu menghabiskan waktu untuk bekerja dan bekerja. Sedikit paham, mengerti posisi lelaki yang telah mencuri hati adik semata wayangku itu.
"Kak, apa bang David selalu sibuk begini?" Alina mendongak, menunggu jawabanku.
Aku berpikir sejenak, kalimat apa yang pantas keluar dari mulutku ini.
"Hmmm. Sepertinya begitu, dia kan pimpinan. Pasti sangat sibuk," jawabku kemudian dengan seulas senyum.
"Pasti Kakak dulu juga sibuk banget ya jadi istrinya bang David?"
Aku mendelik, sedetik kemudian tersedak. Entah karena apa? Pertanyaan itu seperti menohok hatiku. Ada yang tercubit di dada ini. Ah, lagi-lagi aku terbawa suasana.
"Kakak sibuk sendiri, karena bekerja."
"Ah, maaf."
Aku tertawa mencoba mencairkan suasana yang semakin tidak kondusif.
"Dek, apa pendapatmu tentang pak Adrian?"
"Pak Adrian?" Alina melebarkan bola mata, sepertinya terkejut.
"Ya ...."
"Ganteng. Baik. Apa lagi, ya? Kenapa Kakak menanyakan hal itu?"
"Ya ... ingin tau aja bagaimana pendapatmu tentangnya. Kakak tanya ibu, jawabannya sama. Atau jangan-jangan, kalian udah kong kalikong ya berdua. Curang!"
Akhirnya, kami tertawa bersama. Melepaskan beban yang sempat menyesakkan dada. Namun, bukankah begini seharusnya saudara. Saling berbagi, saling tertawa bersama.
Entahlah. Aku hanya selalu berusaha membuat orang-orang di sekitarku bahagia.
Karena bagiku, kebahagiaan mereka adalah kebahagiaanku juga.
"Lho, udah tanya ke ibu, ya? Wah, berarti enggak ada yang perlu dipertimbangkan lagi, Kak."
Ada. Hatiku. Pernikahan pertama yang gagal. Semoga saja dia memang lelaki yang spesial untukku. Pak Adrian.
"Ya ...."
"Aku setuju kalau Kakak sama Pak Adrian. Kalian tampak cocok sekali."
"Ya ...."
"Ih, ya ya melulu dari tadi. Gugup ya ...?"
"Ya ... sepertinya Kakak jatuh cinta padanya."
"Wah, itu kabar baik. Aku bahagia untuk Kakak."
"Jadi, apakah tidak apa-apa jika Kakak menikah lagi?"
"Tentu saja. Apa yang Kakak risaukan?"
"Kamu."
"Aku?"
"Hmmm."
"Aku, kenapa?"
"Kakak menikah dua kali, lha kamu belum juga." Aku nyengir kuda, menggodanya. Sejujurnya, aku ingin melihatnya menikah lebih dulu.
"Jangan pikirkan aku, Kak."
"Ya ...."
"Kak, aku serius. Kakak berhak bahagia. Tidak perlu membanting tulang lagi untuk membiayai hidup kita, apalagi kuliahku. Aku udah bekerja, Kak."
"Ya .... Seharusnya Kakak memang memikirkan diri sendiri. Tidak perlu memikirkan adik kecil Kakak yang telah dewasa ini."
"Tentu."
Obrolan kami berakhir dengan pelukan erat. Kami saling menguatkan, entah untuk apa ... yang jelas, hati ini sama-sama pernah tersakiti oleh lelaki yang sama.
Tidak ... tidak, lebih tepatnya hatiku yang pernah tersakiti oleh lelaki yang mencintai adikku. Seorang suami yang mencintai adikku.
Suamiku mencintai adikku.
***
Seminggu setelah obrolan malam itu. Aku memutuskan memberikan jawaban pada pak Adrian
Lamaran yang telah berbulan-bulan aku abaikan. Semoga saja, lelaki itu masih setia menungguku.
Aku memantapkan diri untuk menerimanya.
Janjian bertemu dengannya jam tujuh, tapi aku telah siap bahkan sebelum jam enam.
Ini karena gugupkah, cintakah atau ....? Entahlah.
Suara ketukan di pintu, membuatku bergegas keluar kamar. Mungkin ibu tengah sibuk, sehingga mengabaikan ketukan tersebut.
Pak Adriankah?
Cepat sekali dia datang, walaupun sebenarnya aku telah siap. Tapi, dia janji akan menjemputku jam tujuh.
Mengabaikan pikiran-pikiran yang menari di kepala. Aku keluar, mengayun langkah menuju pintu utama. Membukanya, oh ... ternyata Bang David berdiri di sana.
"Bang David, mau menunggu di luar atau masuk. Alina belum pulang," ucapku tanpa basa-basi.
"Iya, aku tahu. Aku sengaja datang ke sini ingin bertemu denganmu."
"Saya?" aku menunjuk dadaku sendiri. Ada urusan apa dia? "Ada urusan apa, Bang? Sepertinya, di antara kita tidak ada yang perlu dibahas."
Lelaki itu diam, menatapku lekat. Tatapan matanya tentu saja membuatku jengah.
sungguh menyebalkan
terus adiknya juga kenapa gak sopan gitu , rasanya gak mungkin ada yg gitu amat , gak ada segen² nya sama kaka sendiri
semangat