Tak sekedar menambatkan hati pada seseorang, kisah cinta yang bahkan mampu menitahnya menuju jannah.
Juna, harus menerima sebuah tulah karena rasa bencinya terhadap adik angkat.
Kisah benci menjadi cinta?
Suatu keadaanlah yang berhasil memutarbalikkan perasaannya.
Bissmillah cinta, tak sekedar melabuhkan hati pada seseorang, kisah benci jadi cinta yang mampu memapahnya hingga ke surga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7
"Siapa lu berani ikut campur urusan kita"
"Gue kakaknya, kenapa?" Jawab Juna dengan tatapan setajam pisau.
"Kakak!" Ucap pria yang masih mencekal tangan Yura.
"Lepaskan adek gue kalau lu nggak mau urusan ini jadi panjang"
"Lu ngancam kita" Pria yang tadi jatuh tersenyum miring, ia bangkit dengan tertatih sambil menahan sakit, kemudian mendekati rekannya dan berbisik. "Sikat saja bro, sepertinya dia bawa mobil, dan itu pasti mobilnya" Saat mengatakan itu dia melirik ke arah mobil yang terparkir di tepi jalan. "Kita berdua, dia sendirian. Kita giring ke dalam gedung, kita lumpuhkan dia, terus ambil kunci mobilnya, setelah itu kita kabur"
"Okay, aku bawa gadis ini, sementara kamu serang dia" Masih dengan berbisik. Yura yang samar mendengar percakapan mereka menggeleng-gelengkan kepala.
"HEI!" Sentak Juna yang sudah tersulut emosi. "Kalau berani, sini lawan gue" Tambahnya.
Melihat satu pria lainnya membawa paksa Yura, Juna kembali berteriak.
"MAU LU BAWA KE MANA ADEK GUE, HAH!" Ia mengabaikan pria yang sudah siap untuk bertarung dan memilih lari mengejar Yura.
Detik itu juga, Juna malah mendapat serangan dari arah belakang.
Dia pun jatuh, namun dengan tangkas bisa bangkit lagi dan membalas serangannya dengan sangat sempurna. Spontan Juna menendang perut lawannya, kemudian segera berlari mengejar pria yang membawa Yura.
Sampai langkahnya memasuki sebuah gedung, Juna melihat pria asing itu mendorong Yura hinga jatuh.
"Yura!" Tatapan Juna mengikuti tubuh Yura yang tahu-tahu terjerembab hingga gadis itu merintih kesakitan.
"Kurang ajar, lu" Kemarahan Juna kian berapi-api.
Dan lagi-lagi, Juna kembali tersungkur ke lantai karena mendapat pukulan mendadak di punggungnya dari pria asing lainnya.
Dua pria itu pun tertawa renyah melihat kelengahan Juna.
Tak di sangka, alih-alih menyerah, Juna justru bangkit, dan langsung menyerang dua pria itu dengan brutal.
Dia meninju pipinya, menendang alat v*talnya, hingga satu lawan sudah berhasil ia lumpuhkan. Saat di detik mencekik leher lawannya yang lain, mendadak dia di serang menggunakan pisau kecil.
Meski Juna berusaha menghindari serangannya, namun benda tajam itu tetap menggores wajahnya, tepatnya di bagian pelipis.
Yura reflek berteriak ketika pisau itu melukai wajah Juna.
"Mas Juna!" Teriak Yura, panik.
Sementara wajah Yura terkena percikan darah segar yang keluar dari luka Juna, sebab tanpa sengaja, Juna terjatuh di atas tubuh Yura yang terduduk lemas di lantai saat menghindari mata pisau.
Otomatis mereka saling bersitatap. Bau khas darah pun menguar di hidung keduanya.
Sepertinya rasa sakit di pelipis Juna sama sekali tidak ia rasakan, buktinya Juna kembali berdiri, dan langsung menyerang sang lawan dengan pukulan sangat keras dari kepalan tangannya.
Sampai-sampai pria asing itu tumbang dengan darah mengalir dari sudut bibir.
Juna menggunakan kesempatan ini untuk segera menggandeng tangan Yura, dan berlari meninggalkan tempat itu.
Langkah Juna yang lebar, membuat Yura kewalahan mengikutinya, akan tetapi Yura tetap berusaha sebisa mungkin untuk mengimbangi kaki lebar pria yang berada satu langkah di depannya.
Ketika sampai di mobil, Juna membuka pintu bagian penumpang. "Masuk!" Ucapnya, lalu menutupnya kembali.
Dia berjalan memutari depan mobil, dan memasukinya.
Segera menyalakan mesin mobil, memasukkan gigi, baru setelahnya melajukannya dengan kecepatan sedang.
"Kamu nggak apa-apa?" Tanya Juna saat mobil sudah jalan. Nadanya datar, seperti ada kesal dalam dirinya.
Yura terdiam, pikirannya masih belum bisa fokus. Rasa takut bahkan trauma seakan masih bergelayut dalam dirinya.
"Ra!" Panggil Juna melirik Yura sesaat.
Yura pun menoleh, memindai wajah Juna.
"Mas Juna nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa" Jawabnya membalas tatapan Yura, lalu kembali menatap lurus ke jalanan.
Melihat darah masih menetes di pelipis kakaknya, tangan Yura terulur meraih tisu di atas dashboard.
"Maaf!" Lirihnya sambil menyodorkan beberapa lembar tisu.
Juna menerimanya. "Makasih" Balasnya mengelap darah dengan tanpa ekspresi. "Kita cari puskesmas dulu, sepertinya lukaku lumayan dalam"
"Nggak cuma lumayan mas, itu memang dalam"
"Nggak apa-apa, nanti bisa di jahit"
"Apa sakit?" Tanya Yura, merasa sangat bersalah.
"Enggak"
"Bohong banget!"
"Nggak usah bahas sakit atau enggak" Ujar Juna, nadanya sangat dingin di tambah ekspresinya masam "Fikirkan saja apa yang mau kamu katakan ke mama saat mama melihat ada jahitan di pelipisku"
Hati Yura berbisik sesaat setelah mendengar kalimat Juna.
Benar juga.
Apa yang harus dia katakan ke mamahnya mengenai kejadian yang menimpanya?
Ah, andai Yura mau menunggu sedikit lebih lama, ini semua pasti tidak akan terjadi.
Iapun merutuki kesalahannya sendiri. Hanya karena seorang pria bernama Malik, dia mendadak jadi orang bodoh.
Menghembuskan napas pelan, Yura kembali menoleh ke kiri jalan, menatap kosong pepohonan yang seakan turut bergerak.
"Besok-besok kalau aku suruh nunggu, ya tunggu, coba kalau aku nggak lihat, kamu mungkin pasti sudah di rujak sama mereka. Lalu aku? Apa yang harus mu katakan pada mama?"
Yura tak merespon, ia sibuk dengan pemikirannya sendiri.
Sampai mobil akhirnya berhenti di halaman puskesmas, sebelum turun Juna memberikan tisu basah pada Yura.
"Di lap dulu pakai tisu basah. Ada darah di wajahmu" Kata Juna menyerahkan tisu pada Yura.
Yura menoleh, menerimanya dan langsung mengusapkannya di wajahnya.
Usai Yura melakukan itu, mereka kompak membuka pintu mobil dan turun.
"Kamu belum sholat maghrib, kan?" Tanya Juna di sela-sela langkahnya memasuki puskesmas.
"Belum"
"Kamu bisa sholat dulu, selesai sholat cari aku di IGD"
"Aku temani mas saja, lagi pula waktu sholat maghrib sudah hampir habis"
Mendengar ucapan Yura, reflek Juna melihat jam di tangannya.
"Masih ada sedikit waktu, segeralah sholat! Aku tunggu di ruang IGD. Mungkin butuh waktu tiga puluh menit untuk menjahit lukaku"
"Ya sudah, aku ke mushola dulu"
"Hmm" Sahut Juna, menyimpan kunci mobil ke saku celana.
****
Ketika berdoa setelah sholat, Yura memohon ampun sekaligus bersyukur karena masih di beri perlindungan. Juga untuk pertama kalinya dia menyebut nama Juna dalam do'anya.
Dia memohon umur panjang untuk sang kakak angkat, meminta agar Tuhan selalu melindungi dimana Juna berada, serta meminta keberkahan dalam hidup kakak yang tidak pernah menyukainya.
Selesai berdoa, ingatan Yura mendadak jatuh pada tragedi yang menimpanya tadi. Ia tak bisa membayangkan bagaimana jika Juna tidak datang menolongnya?
Dia mengusap wajahnya dengan gusar, berusaha melupakan sesuatu yang membuatnya setrauma itu.
Mendesah lirih, wanita itu berjalan dari tempat sholat menuju ruang IGD.
Sesampainya di sana, ternyata dokter belum selesai menjahit luka Juna. Ia mengetuk pintu seraya berucap.
"Permisi!"
Sang dokter dan Juna menoleh.
"Iya, mbak?" Dokter tidak tahu kalau Yura datang bersama Juna. "Ada yang bisa di bantu?" lanjut dokter bertanya.
"Dia adik saya, dok!" Kata Juna.
"Oh, adiknya dokter Juna. Maaf, saya kira butuh pertolongan"
Yura masuk, melihat tangan dokter yang bergerak menusukkan jarum di kulit Juna.
Sesekali wanita itu mendesis sambil meringis.
"Gimana lukanya, dok?" Tanya Yura dengan fokus sepenuhnya ke arah pelipis Juna.
"Lumayan sakit, di jahit sedikit nanti beres"
"Butuh berapa lama untuk sembuh?"
"Nggak lama, paling cuma dua minggu sudah kering, tapi bekas jahitannya mungkin nggak akan hilang. Dan untung saja goresannya nggak panjang, hanya dua centi, jadi nggak terlalu nampak"
Yura mengangguk paham.
Kemudian hening, tak ada yang bersuara dari ketiga orang yang ada di ruangan lumayan besar.
Sampai sesi jahit selesai, Yura dan Juna pun siap pulang ke rumah.
Dalam perjalanan, ponsel Yura yang di senyap ternyata menerima banyak panggilan dari Jazil. Begitu juga dengan ponsel Juna. Karena data internetnya dalam mode of, panggilan whatsap Jazil tak bisa masuk.
Seketika ponselnya berdering ketika datanya sudah on.
Pria itu pun langsung mengangkat telfon dari mamahnya.
"Assalamu'alaikum, mah!"
"Wa'alaikumsalam, Juna! Kalian dimana? Dari tadi kenapa nggak bisa di hubungi?"
"Maaf mah, ponselnya mati" Jawab Juna dengan entengnya.
"Mending buang aja itu ponsel kalian kalau nggak kepakai. Heran mamah, punya ponsel nggak berguna" Kesal Jazil, yang sudah di buat cemas sebab ponsel kedua anaknya sama-sama tak bisa di hubungi . "Dimana Yura, dia ada bersamamu, kan?"
"Iya mah, Yura sama aku. Ini lagi jalan mau pulang"
"Berapa lama lagi sampai di rumah?"
"Lima belas menitan lagi"
"Ya sudah hati-hati, mamah tunggu"
"Okay, mah!"
"Assalamu'alaikum" Ucap Jazil masih dengan nada kesal.
"Wa'alaikumsalam"
Bukan kesal karena apapun, tapi lebih ke lega karena anak-anaknya baik-baik saja, dan rasa tidak tenang yang sempat ia rasakan sejak pukul lima hanya sebatas firasat.
Juna mematikan panggilannya, menepikan mobil keluar dari bahu jalan, kemudian menatap sebal wajah Yura dari samping.
"Sekarang aku tanya" Pria itu menghadap ke Yura dengan begitu judesnya. "Gimana perasaan mama kalau seandainya kamu kenapa-napa? Kamu mikir nggak kalau aku pasti yang akan kena marah?"
"Maaf" Lirih Yura.
"Dari bayi sampai segede gini, maaf terus yang di ucapkan. Kamu nggak pernah belajar dari kesalahan, hmm?"
"Pergi aja sekalian kalau sudah nggak mau nurut" Imbuh Juna, tanpa mau tahu perasaan Yura.
"Heran, sudah di baikin, di sayang sama keluargaku, masih aja suka keras kepala. Apa salahnya nunggu sebentar? Kamu bisa menyibukkan diri selagi nunggu aku, nggak apa-apa toh itu di rumah ustad Zaki"
Yura masih mengunci rapat mulutnya. Memaklumi kemarahan Juna karena apa yang Juna katakan memang benar.
Juna sendiri tak tahu entah apa yang memicu emosinya itu.
Benar-benar khawatir pada Yura? Atau takut menghadapi mamahnya jika dia tak membawa pulang sang adik dengan selamat?
Bersambung
Malik ntar poligami
tp sy msh gregetan sm yura yg ga peka sm keinginan orang tuay dan juna jg ga trs terang sm yura klu dia suka...klu yura sdh tunangan sdh ga ada harapan buat juna...s.g aja ga jd khitbahy
ayo Thor lanjut lagi
ntar lama2 jd cinta..
lanjut mbak ane
yura kurang peka terhadap keinginan jazil, kurang peka dg perubahan juna dan kurang peka sama perasaan sendiri
yuk kak lanjut lagi
thanks author semangat ya berkarya