Malam itu petir mengaum keras di langit, suara gemuruhnya bergema. Angin mengamuk, langit menangis, meneteskan air dengan deras. Alam seolah memberi pertanda, akan datang suatu bencana yang mengancam sebuah keluarga.
Clara seorang ibu beranak satu menjadi korban ghibah dan fitnah. Sampai mati pun Clara akan ingat pelaku yang sudah melecehkannya.
Akankah kebenaran akan terungkap?
Siapa dalang di balik tragedi berdarah ini?
Ikuti ceritanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yenny Een, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 Nenek Tua
BRUUUUUUK!
Putri mendorong Dilara yang ada di kursi roda. Putri juga menginjak lengan Dilara. Putri mengamuk seperti orang gila. Clara lagi-lagi muncul di hadapan Putri dengan wajah yang mengerikan. Putri histeris lari ketakutan.
"SETAAAANNNNNNNN!"
Semua yang ada di ruangan itu tidak ada yang melihat penampakan Clara. Kecuali Putri seorang.
Putra dan kedua orang tuanya yang kebetulan ada di sana, menangkap Putri dan mencoba menenangkannya. Putri mengamuk dan terus berteriak setan. Dokter meminta izin kepada orang tua Putri untuk memberikan Putri obat penenang. Dan mereka pun mengizinkan.
Setelah tenang, Putri dimasukkan kembali ke dalam ruangannya. Dokter memberitahu keluarga Putri, saat ini kondisi mental Putri sangat tidak stabil. Dokter mencari informasi tentang Putri dari keluarganya. Setelah mendengar penjelasan dari keluarga Putri, Dokter menyarankan agar Putri dibawa ke Psikiater. Karena Putri sudah sangat meresahkan.
Orang tua Dira juga mengunjungi Putri di rumah sakit. Mereka sangat prihatin dengan kondisi Putri. Orang tua Putri berpamitan, malam itu juga mereka akan membawa Putri pulang ke luar negeri.
Orang tua Dira menghubungi Dira, mereka baru tahu Dira juga berada di rumah sakit yang sama dengan Putri. Mereka melihat Salman di luar rumah sakit. Salman mengantarkan orang tua Dira ke ruangan Dilara dirawat.
"Dira, kamu kenapa Nak?" Mama Dira melihat Dira yang terbaring di atas tempat tidur tamu.
"Ini semua karena Putri Ma. Putri sudah gila, dia melukai Dilara," kata Dira.
Kedua orang tua Dira menatap ke sebelah tempat tidur Dira, di sana ada Dilara bersama Om dan Tantenya. Setelah perkenalan singkat mereka, kedua orang tua Dira meminta maaf kepada keluarga Dilara atas perbuatan Putri.
"Maaf atas ketidaknyamanan ini Dilara. Om dan Tante tidak pernah menyangka Putri akan bertingkah seperti ini. Putri malam ini juga akan kembali ke luar negeri," kata papa Dira.
"Maaf, apakah Anda tidak mengenali saya?" tanya Om Cakra.
Papa Dira memperhatikan Cakra sambil mengingatnya.
"Ini orang yang sudah menolong Dira Pa. Yang mengantarkan Dira ke rumah sakit ketika terjadi kecelakaan," ingat mama Dira.
"Oh iya, Pak Cakra. Kita ketemu lagi," Papa Dira memeluk Cakra.
"Jadi ini Dira yang dulu kecelakaan?" tanya Cakra.
"Iya, Dira yang Anda selamatkan waktu itu."
"Hmmm, sebenarnya saya melihat pelaku yang menabrak Dira saat itu. Yang ditangkap itu bukan pelaku sebenarnya. Yang menabrak Dira melarikan diri,"
"Maksudnya?" Papa Dira mengerutkan keningnya.
"Sebenarnya dia mengincar orang lain saat itu. Tapi naas bagi Dira, hari itu Dira lah yang jadi korbannya. Yang kemarin ditangkap dan ditahan di kantor polisi, orang yang sengaja dibayar dengan mahal untuk mengakui kesalahannya. Orang itu sangat memerlukan uang untuk pengobatan orang tuanya di rumah sakit," jawab Cakra.
"Benarkah? Tapi tetap saja pelakunya harus mendapatkan ganjarannya!" Papa Dira mengepalkan kedua tangannya.
Dan pada saat itu Salman menunjukkan foto orang yang telah melukai Dilara yang dia dapat dari media sosialnya kepada Cakra dan Elma.
"Pa, ini foto orang yang telah melukai Dilara."
Cakra melebarkan kedua matanya. Cakra mengambil ponsel Salman dan menunjukkannya kepada orang tua Dira.
"Pak Dhika, ini dia orang yang telah menabrak Dira."
"Apa ini pelakunya?"
"Iya, saya masih ingat betul wajahnya," jawab Cakra.
Dira kemudian menceritakan kejadian malam itu kepada orang tuanya. Sebelumnya Dira tidak cerita kepada mereka. Mereka pikir Dilara sakit biasa dan harus segera dibawa ke rumah sakit. Mereka berdua sangat kaget mendengar cerita Dira.
Mereka juga bertanya apa yang dilakukan orang itu kepada Dilara. Dilara menceritakan kejadian di taman pada malam itu. Dan setelah Dilara melihat foto itu, Dilara membenarkan dialah pelaku yang mencoba menculiknya.
"Akhirnya dia mendapatkan balasan atas segala kesalahannya," ujar mama Dira.
...----------------...
Hari pun terus berganti. Dilara dan Dira akhirnya menjalani hari-hari mereka sebagai pasangan kekasih. Dilara meminta izin Dira untuk mendekati Zehan. Awalnya Dira merasa cemburu karena Dira tahu Zehan juga menyukai Dilara. Tapi setelah mendengar alasan Dilara akhirnya Dira mengizinkan. Dira mengingatkan Dilara agar tidak terlalu dekat dengan Zehan. Takutnya Zehan akan salah paham.
Dan hari ini, Zehan mengajak Dilara untuk ke rumahnya mengambil laptop Zehan yang ketinggalan. Dilara duduk di ruang tamu menunggu Zehan. Dilara mengambil bingkai foto yang terpajang di meja hias pojok ruang tamu. Dilara kemudian memotretnya dengan ponselnya.
Di foto itu ada papanya Zehan dan tiga orang temannya. Dilara menaikkan alisnya, Dilara membuka rahang hingga bibir dan giginya terpisah. Yang duduk di sebelah Bobby itu adalah Tony yang mencoba menculiknya sewaktu di taman. Di sebelahnya lagi adalah orang yang dilihat Dilara sewaktu di depan pagar rumahnya. Yang satu lagi Dilara tidak mengenalnya.
"Dila, serius amat? Naksir ya?" goda Zehan.
"Foto siapa ini?" tanya Dilara.
"Foto Papah waktu muda." Zehan duduk di samping Dilara.
"Yang ini, Om Roy. Dia baru saja meninggal sebulan yang lalu. Sepertinya dia dirampok, tubuh bagian belakangnya dicambuk dan kemaluannya dipotong," Zehan bergidik.
"Di sebelah Om Roy, itu Om Indra. Di sebelahnya lagi Om Tony yang baru saja meninggal. Dia ditemukan di peternakannya bunuh diri."
"Kok teman-teman papamu meninggalnya begitu mengerikan? Mereka preman ya?"
"Maklum lah mereka juga kan pernah muda. Pada bandel semua. Mungkin saja mereka dulu rebutan cewek jadi dendamnya sampai mati," Zehan terkekeh.
"Hmmm, Zehan. Maaf, bagaimana Mamahmu?"
"Papah jarang pulang sekarang. Karena Mamah masih sakit hati atas pengkhianatan Papah. Mamah menutup rumah untuk Papah. Mamah menyibukkan diri dengan bekerja. Sedangkan Papah juga bekerja dan pulang ke rumah kekasihnya," Zehan menghela napas.
BBBZZZTTT!
BBBZZZTTT!
"Hallo Mah, iya, ok," Zehan menutup telepon.
"Ada apa Zehan?"
"Dila, sebelum ke kampus kita mampir dulu sebentar ke rumah teman Mamah. Ayo," Zehan mengambil kunci mobilnya.
Zehan dan Dilara melaju di jalan raya. Sepanjang perjalanan, Dilara masih memikirkan foto teman Bobby. Apa mungkin hanya kebetulan dua orang yang ada di foto itu yang menodai mamanya. Dila masih belum yakin. Apa jangan-jangan mereka semua adalah pelaku yang melarikan diri 4 tahun yang lalu. Dilara mencoba mengingat sesuatu tapi lagi-lagi kepalanya sakit.
Mereka tiba di sebuah rumah. Zehan mengajak Dilara untuk menemaninya. Tercium aroma kemenyan yang kuat dari dalam rumah itu. Zehan menekan bel yang ada di samping pintu. Seseorang membukakan pintu.
"ELLA!" Zehan dan Dilara berbarengan.
"Kalian? Ada apa kemari?" Ella juga terkejut melihat mereka berdua.
"Aku disuruh datang kemari. Katakan dari Devi," jawab Zehan.
"Nek, katanya dari Devi," Ella sedikit berteriak.
"Suruh masuk," terdengar jawaban dari dalam rumah.
Ella dengan tidak ramah menyuruh mereka untuk masuk ke dalam rumah. Dilara dan Zehan masuk ke dalam rumah yang dipenuhi alat-alat perdukunan. Zehan dan Dilara duduk di kursi tamu. Seorang nenek tua keluar menemui mereka.
"CLARA!"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...