#TURUN RANJANG
Tiga tahun pasca sang istri meregang nyawa saat melahirkan putranya, Zeshan tetap betah menduda dan membulatkan tekad untuk merawat Nadeo sendirian tanpa berpikir sedikitpun untuk menikah lagi.
Namun, hal itu seketika berubah setelah Mommy-nya datang dan berusaha meluluhkan hati Zeshan yang telah berubah sebegitu dinginnya. Berdalih demi Nadeo, Amara menjanjikan akan mencarikan wanita yang pantas untuk menjadi istri sekaligus ibu sambung Nadeo.
Zeshan yang memang terlalu sibuk dan tidak punya kandidat calon istri pasrah dan iya-iya saja dengan siapapun pilihan Mommy-nya. Tanpa terduga, Mommy Amara ternyata merekrut Devanka, adik ipar Zeshan yang mengaku sudah bosan sekolah itu sebagai calon menantunya.
*****
"Ingat, kita menikah hanya demi Nadeo ... jangan berharap lebih karena aku alergi bocah bau ingus." -Zeshan Abraham
"Sama, aku juga alergi om-om bau tanah sebenarnya." - Devanka Ailenatsia
ΩΩΩΩΩΩΩΩΩ
PLAGIAT/MALING = MASUK NERAKA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11 - Pengasuh/Diasuh?
Mommy Amara bilang, alasan utama kenapa dia memilih Devanka sebagai istri untuk Zeshan adalah untuk menjadi ibu sambung Nadeo. Dia yakin, hanya Devanka yang memungkinkan akan sayang karena memang masih ada ikatan darah.
Awalnya Zeshan yakin tentang itu, benar adanya memang benar Devanka memiliki ikatan darah dan kemungkinan dia mampu mengasuh Nadeo seperti anak sendiri. Namun, setelah melihat sang istri bersama bonekanya, mendadak Zeshan ragu.
Bukan ragu tentang kasih sayangnya, tapi yang Zeshan ragukan adalah kemampuan Devanka. Karena di mata Zeshan saat ini, istrinya masih cocok diasuh, bukan jadi pengasuh.
"Dev," panggil Zeshan sembari memijat pangkal hidungnya.
Sudah beberapa waktu berlalu, sudah cukup banyak hal yang Zeshan lakukan dan Devanka masih bertahan di posisinya. Duduk di pangkuan boneka super besar sembari menyibukkan dirinya dengan kuas dan kanvas di sana.
"Iya, Kak? Nadeo pulang ya?"
Zeshan menggeleng, entah kenapa putranya belum juga pulang, padahal menurut pengakuan Mommy Amara, Nadeo hanya diajak sarapan di luar, tapi hingga menjelang makan siang belum pulang juga.
"Terus mau apa? Makan? Sebentar lagi jam makan siang, 'kan?"
"Bukan, aku masih kenyang."
"Terus?"
Jika ditanya, sebenarnya Zeshan bingung juga. Dia tidak tahu harus bagaimana hendak memulai, tapi yang pasti kehadiran boneka milik Devanka benar-benar mengganggu Zeshan sebagai pemilik kamar tersebut.
"Aku mau bicara sesuatu, penting.
"Bicara apa memangnya?" tanya Devanka bahkan sampai meletakkan kuas dan canvas yang sejak tadi dia jadikan pelarian demi menghilangkan kegugupannya.
Zeshan mendekat, sengaja duduk di tepian tempat tidur dan menatap Devanka begitu lekat. "Maaf jika tersinggung, tapi apa kamu tidak bisa tidur tanpa boneka itu?"
"Namanya Lulu, Kak."
"Iya, terserah apa namanya, jawab dulu pertanyaanku," pinta Zeshan usai membuang napas kasar, peduli setan dengan namanya, bagi Zeshan tidak penting.
"Bisa sih, tapi biasanya tidurku jelek," jelas Devanka tanpa ditutup-tutupi dan Zeshan percaya akan hal itu.
"Kalau misal diganti gimana? Bisa?"
"Ganti? Ganti apa?"
Zeshan tak segera menjawab, dia agak bingung mengutarakan keresahan jika harus frontal sebenarnya. "Ganti guling atau apa begitu? Intinya yang lebih kecil dari itu ... kamu lihat sendiri, ranjangnya jadi sempit."
"Sempit?" Devanka menatap tempat tidur yang sebenarnya masih menyisakan ruang yang cukup andai bonekanya di tengah.
Selain karena ukuran ranjang Zeshan memang besar, Devanka juga amat mungil dan sejak awal Lulu tiba, Devanka juga sudah mempertimbangkannya. "Tapi aku rasa tidak begitu, masih muat kok itu," tutur Devanka menunjuk sisi kanan yang masih tampak kosong.
"Muat memang, tapi sempit ... tidak leluasa."
Devanka menghela napas panjang, sebal sekali dirinya tatkala mendengar jawaban Zeshan. Andai sejak awal Zeshan tidak berkenan, kenapa diizinkan, begitu pikirnya.
"Ya sudah, kalau kakak mau leluasa, kami tidur di bawah saja."
Zeshan mengerutkan dahi. "Tidur di bawah?"
"Iya, atau kakak yang mau di sofa?"
.
.
Tidak dua-duanya, pilihan yang Devanka berikan terlalu konyol dan merugikan bagi Zeshan. Pria itu menghela napas kasar, berusaha mencari cara untuk membuat Devanka mengerti apa maksudnya tanpa harus Zeshan bicara.
Usia pernikahan mereka baru sehari, tapi sudah ada sosok ketiga yang membuat Zeshan gusar tanpa arah. "Ehm, kamu lupa berapa mahar yang kamu minta?"
"Kok jadi kesana?" Devanka mengerjap pelan, pertanyaan Zeshan terlalu membingungkan untuk dia cerna.
"Cuma sekadar mengingatkan, 2 Milyar itu besar ... aku rasa tidak ada pria yang rela mengeluarkan uang sebanyak itu jika akhirnya tidur terpisah," ucap Zeshan seketika membuat Devanka meneguk salivanya pelan.
Benar adanya Devanka meminta mahar fantastis dengan harapan Zeshan akan menyerah. Dia berpikir, kunci dalam hubungan mereka adalah Zeshan, karena itulah dia meminta mahar dengan jumlah besar yang ternyata Zeshan sanggupi tanpa tapi.
Tiada pernah Devanka duga, setelah menikah Zeshan akan mengungkit tentang mahar yang dia minta. Seketika Devanka mengatupkan bibir dan berpikir keras bagaimana cara menjawabnya.
"Jadi maunya gimana? Lulu yang di sofa?" Devanka memberikan penawaran, mata bulatnya begitu polos menunggu jawaban.
"Menurutmu?"
"Iya itu, Lulu di sofa ... kitanya berdua jadi luas. Tapi aku tidurnya jelek banget, Kak sumpah!!" Tak hanya bersumpah dengan lisan, tapi jemarinya juga ikut-ikutan dan Zeshan hanya menggangguk pelan.
Tidak harus bersumpah, dia tahu dan tadi malam sudah menyaksikan sendiri sejelek apa Devanka tidur. Bisa dibilang, mungkin lebih jelek dibandingkan kucing kejang.
"Tidak masalah, aku terima semua kebiasaan burukmu itu, Deva," ucap Zeshan tanpa sadar mengusap puncak kepala sang istri hingga hati Devanka menghangat seketika. Berkedok menerima kebiasaan, padahal ada niat terselubung sebenarnya.
"Thanks, Kak ... dan maaf, aku tidak sesempurna kak Talita." Berawal dari pembicaraan biasa, perlahan semakin berat saja.
"Tidak ada yang sempurna, semua manusia itu sama kedudukannya di hadapan Sang Khalik, Devanka."
Devanka menatap sang suami lekat-lekat, jika sedang bijaksana, Zeshan memang sangat sempurna. Pria itu idaman kaum Hawa, tapi Devanka secepat mungkin tersadar dan menggelengkan kepalanya.
"Benar, di hadapan-Nya memang sama, tapi di hadapan kakak berbeda ... dan ak_"
"Daddy!!"
Belum selesai Devanka bicara, suara melengking Nadeo mengalihkan perhatian keduanya. Zeshan yang tadi uring-uringan, ternyata tidak menutup pintu dengan benar, jelas saja Nadeo bisa menerobos masuk tanpa bantuan siapapun di belakangnya.
Dengan bibir belepotan cokelat, Nadeo menghambur ke pelukan Zeshan yang sontak berlutut tatkala putranya datang. Devanka yang juga merindukan Nadeo, ikut turun dari tempat tidur dan berdiri tepat di sebelah sang suami.
"Duh makan cokelat, siapa yang kasih?"
"Deo ga mam cokat, Daddy," elaknya menggeleng cepat, padahal bukti sudah begitu jelad di depan mata.
"Bohong, ini apa?" tanya Zeshan tak lupa memperlihatkan noda cokelat yang baru saja dia usap dari bibir Nadeo dengan jempolnya.
"Cedikit kok, Papa Dain biang boweh," jelasnya tak mau kalah, entah mirip siapa yang jelas Talita tidak begitu.
"Tetap tidak boleh, nanti giginya sakit."
"Ga cakit, Daddy ... iiiii."
"Hahah dasar anak nakal, ngeyel kalau dibilangi." Zeshan tak kuasa menahan gemas tanpa sadar menggigit pipi Nadeo hingga berakhir jeritan tangis putranya.
Saat itulah, naluri Devanka sebagai pelindungnya Nadeo muncul. Kebetulan, Nadeo yang juga sudah mengenalnya tak menolak kala Devanka mengulurkan tangan.
"Cakit, Onty ...." Disertai isakan tangis, Nadeo mengadu dalam pelukan Devanka.
Dia tidak akan mempermasalahkan panggilan Nadeo. Karena seperti yang Mommy Amara katakan terkhusus Nadeo biarlah perlahan, saat ini memang dia masih nyaman dengan panggilan itu.
"Cup-cup, Sayang, coba Onty lihat mana yang sakit? Hm?"
"Cini," jawabnya menunjuk bagian pipi yang memang terdapat bekas gigitan Zeshan.
"Wah, sini Onty obatin," tutur Devanka membawa Nadeo untuk naik ke atas tempat tidur.
Dia bersikap layaknya dokter yang tengah merawat pasien. Pandai sekali Devanka menenangkannya hingga rasa sakit itu seolah musnah. Tidak lagi ada air mata, senyumnya juga kembali dan kini perhatian Nadeo beralih pada boneka super besar di atas kepalanya.
"Onty bekanya becal, punya ciapa?" tanya Nadeo sengaja berdiri dan kini menyentuh bagian perut boneka itu.
Seolah tengah menemukan mainan baru, Nadeo bahagia sekali. Nadeo yang memang dasarnya lincah, melakukan berbagai cara untuk bisa bermain dengan boneka sebesar itu.
Jungkir balik, meminta Devanka menidurkan boneka itu dan dia naik di atasnya dan masih banyak lagi. Bermain sesuka hatinya hingga berkeringat dan Devanka mengikuti semua maunya tanpa peduli akan kehadiran Zeshan di sana. Pemandangan itu tak lepas dari tatapan Zeshan, putranya benar-benar bermain sampai lelah hingga berakhir terkapar di sisi Devanka.
"Deo capek?" tanya Devanka yang kemudian Deo angguki.
Di tengah pembicaraan mereka, Zeshan juga turut merebahkan tubuhnya di sisi Nadeo. Sontak Deo membelakangi Zeshan dan mengalungkan tangan di leher Devanka, dia masih marah ternyata.
"Onty bobonya kamal Deo ya, bawa bekanya kecana," pinta Nadeo terang-terangan yang membuat Devanka dan Zeshan saling memandang.
"Ke kamar Deo?"
"Iya, Onty dangan mau di cini nanti Daddy Haaap cepelti Deo, cakit, Onty," selorohnya bahkan menggunakan meraup wajah Devanka saat mempraktikkan cara Zeshan menyerang.
"Jadi Onty bobonya sama Deo?"
"Iya cama Deo, mau ya?" rayunya lagi hingga Devanka tersenyum simpul.
Interaksi mereka disaksikan oleh Zeshan yang turut mencuri dengar pembicaraan mereka. Awalnya semua santai, sampai pada akhirnya Devanka menjawab. "Okay deh, Onty bobonya di kamar Deo."
"Benelan?! Onty ga boongin Deo taaan?"
"Enggak dong, masa boong," sahut Devanka yang semakin mengundang Zeshan untuk mengumpat dalam benaknya. "Dasar wanita, benar-benar tidak bisa dipegang ucapannya."
.
.
- To Be Continued -