Suamiku Mencintai Adikku
Menikah dengannya adalah impian terbesar dalam hidupku. Dia adalah laki-laki yang memiliki wajah rupawan, berwajah oval, hidung yang tinggi dan sangat mancung bagiku, rahang yang kokoh, dagunya panjang dan lancip memiliki lekukan di ujungnya. Ah, dia pria tertampan dalam pandangan mataku. Matanya seperti mata elang, tatapannya tajam mematikan. Kulitnya tergolong sangat putih untuk ukuran seorang pria. Kadang aku merasa minder dan tidak percaya diri bahwa laki-laki sepertinya datang melamarku. Ah, aku menjadi tidak waras karenanya.
Hidupku kini seperti dongeng, dengeng seorang buruk rupa menikah dengan pangeran tampan.
Masih terngingang jelas ditelinga, bagaimana dia lelakiku itu mengucapkan janji setia kepada Tuhan. Disahkan oleh para saksi pernikahan. Ijab Kabul berkumandang jelas, dan sejak saat itu aku sepenuhnya milik dia. Dia lelaki pujaanku.
Setelah acara pernikahan yang digelar sederhana dirumahku. Aku langsung diboyong pindah kerumahnya. Rumah yang sangat besar ini memiliki pagar yang sangat tinggi. Kesan pertama saat aku memasukinya adalah ini seperti villa pribadi. Saat kami datang pintu depan dibukakan oleh pelayan , kamipun disambut oleh banyaknya pelayan dirumah ini. Aku belum hafal nama-nama mereka. Aku berjanji akan mengingat nama-nama mereka menjalin keakraban
bersama mereka.
Melangkah dalam diam mengikuti lelakiku dari belakang. Sepanjang perjalanan tidak ada percakapan diantara kami. Aku lebih memilih menunduk tanpa memandangnya.
“Hei tegakkan kepalamu.” Tiba-tiba suaranya mengagetkanku. Sontak aku mendongak menatapnya. Ada gelenyar-gelenyar aneh saat mata ini menatapnya.
“Bik Kar, layani dia.” Perintahnya pada salah satu pelayang.
“Ba-ik Tuan.” Jawab pelayan yang dipanggil bik Kar.
Aku menurut saja tanpa ada suara yang keluar dari mulutku. Bik Kar membawaku ke sebuah kamar.
“Silahkan Nyonya.”
Aku masuk perlahan duduk di tepi ranjang, tanganku sibuk meraba Kasur yang ditutupi seprai indah. Mataku melihat sekeliling kamar. Karpet tebal terbentang di lantai. Ranjang mewah, meja dan kursi rias dan sofa. Bingung mau melakukan apa.
Pintu terbuka, lelakiku itu masuk. Seketika aku berdiri memandangnya. Dia melihat dengan tatapan yang tidak bisa kuartikan. Jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya seiring dengan langkahnya yang semakin mendekat.
Tubuhku kaku, keringat dingin kurasakan mengucur dalam tubuh ini. apa yang akan dia lakukan?. Sudah saatnyakah. Perlahan tanganku memegang dada, merasakan debarannya yang semakin menggila. Matanya bagai elang yang menemukan makanan kesukaan. Glek. Dengan berat aku menelan saliva, membasaki kerongkongan yang kering.
Dia berdiri menjulang di depannku. Tetap dengan tatapan yang tajam menghunus dadaku. Gila. Gila. Aku bisa gila. Tiba- tiba kedua tangannya menangkup kedua pipiku.
“Dengar ….” Dia menjeda suaranya sejenak. Entah kenapa, aku merasa tidak enak dengan ini. lantas dia melanjutkan kalimatnya yang membuatku melayang tinggi kemudian tiba-tiba tubuhku jatuh terhempas kebumi dan tenggelam dalam kubangan lumpur menyakitkan.
“Pernikahan ini tidak seharusnya terjadi. Ini adalah kesalahan terbesarku. Maafkan aku, kamu jangan mengharapkan lebih dari pernikahan ini.” Dia berdiri, aku tidak bisa melihat ekspresinya selanjutnya. Sebab hanya bisa menatap punggungnya saja.
“Ini kamarmu. Kamarku ada di depan sana. Jika butuh apa-apa kamu bisa ketuk saja. Permisi.” Aku masih mematung melihatnya berlalu, keluar dari kamarku lalu menutup pintu kamar.
Dadaku terasa nyeri, sangat sakit. Bahkan aku aku kesulitan bernafas. Air mata ini tak lagi mampu aku bending, bening-bening kristal mengalir deras membasahi pipi. Aku meremas dada, tulang belulangku terasa layu.
Aku bagai bunga bermekaran yang tiba-tiba layu, mongering dan patah diterpa badai.
Tubuhku meluruh kelantai. Menunduk, menangis sejadi-jadinya. Entah berapa lama aku terduduk di lantai, meratapi nasib yang tidak berpihak baik padaku.
Lalu, untuk apakah semua ini. Sandiwara belaka. Menyakiitkan, sungguh menyakitkan hatiku. Baiklah, aku tidak ingin terlihat lemah olehnya. Aku memang mencintainya, sangat mencintainya. Namun aku bukan wanita murahan yang mengharapkan balasan cinta dari orang yang bahkan tidak menganggapku ada. Lalu, kenapa dia menikahiku?
Pertanyaan-pertanyaan berkecamuk dalam otakku. Kelak aku akan menemukan jawaban itu, harus aku temukan. Sekarang aku cukup menerima dan menikmati pernikahan ini.
Menuju kamar mandi, membersihkan diri. Aku bertekad akan menjalani pernikahan ini walaupun aku harus berjuang seorang diri.
Aku istrinya, apapun anggapan dia terhadapku. Aku akan tetap melayaninya sepenuh hati. Kelak, jika aku dan dia harus berpisah. Setidaknya, aku tidak pernah menyesal karena telah menikah dengannya. aku bisa pergi dengan hati bahagia seperti saat pertama kali menginjakkan kaki dirumah ini.
Ah, aku bahkan menganggapnya suami. Sedangkan aku sendiri tidak dianggapnya sebagai istri. Pernikahan ini adalah kesalahan terbesarnya. Ingat itu, sehingga hatiku harus sadar dimana seharusnya berada. Tanpa harus mengharapkan lebih padanya.
Sampai di depan pintu kamarnya, aku bingung sendiri. Ragu, harus masuk atau enggak. Ah, kepalang tanggung aku telah berderi disini. Mengetuk pintu beberapa kali. Setelah mendengar panggilan masuk dari dalam, ku putar knop dan membuka pintu kamar David secara perlahan.
“Ehm ….” Aku bersuara sejenak mengatur nafas dan suara untuk berbicara padanya. Dia masih dalam posisinya. Tanpa suara maupun merubah posisinya. Dasar kaku.
“Aku ingin membicarakan tentang kita.” Dia bergeming. Oke. Kuanggap kamu mengizinkanku berbicara dan kamu siap mendengarkan tuan David yang sok.
“Aku jika pernikahan ini adalah kesalaha. Mmm setidaknya sekarang aku tahu, jika pernikahan ini kesalahan kamu.” David mengernyitkan dahinya. Sekarang dia menghadap padaku sepenuhnya, duduk dipinggir ranjang. Matanya fokus melihatku.
Aku menelan saliva beberapa kali, membasahi kerongkongan yang kering. Jujur saja aku sangat gugup. “Tapi, aku merasa tidak bersalah dalam pengambilan keputusanmu untuk menikahiku. Jadi walau bagaimanapun kondisinya, aku Hanna Mahira adalah istri sah dari seorang lelaki bernama David Arion Syahreza. Jadi bagaimanapun kondisi kita saat ini, mau tidak mau aku telah memutuskan akan menyiapkan semua keperluanmu. “
“Suatu saat jika kamu tak lagi mengharapkan kehadiranku. Kamu bisa menceraikanku. Dan kamu harus tahu, kamu bisa melakukan itu kapanpun kamu mau.” Air mataku telah menggenang di pelupuk mata ini. tapi aku meyakinkan diri, aku tak boleh lemah di depannya.
David bediri mendekatiku. Kini jarak kami hanya beberapa senti saja. Dapat kucium dengan jelas aroma maskulin drai tubuhnya. Degup jantungku semakin menggila di dekatnya.
“Apa kamu yakin dengan keputusanmu?” dia berkata lirih dengan tatapan menghujam.
Aku jengah melihatnya, sebenarnya apa yang dia inginkan. Mempermainkanku atau mempermiankan pernikahan ini. Ah, sama saja. Aku tak boleh lagi terlena olehnya.
“Tentu saja.” Jawabku mantap dengn membalas sorot matanya tak kalah tajam.
“Oke. Kita lakukan permainan ini. kita buktikan siapa diantara kita yang bisa bertahan.” Ujarnya. Kini tatapannya tak setajam tadi. Ada sorot kedukaan yang tangkap dari matanya. Ada apa sebenarnya?
“Ada lagi yang kamu butuhkan?” tanyanya.
Seketika aku tersentak, kaget.
“Ah, tidak. Kalau begitu aku permisi.” Pamitku. Kemudian aku bergegas keluar dari kamarnya. Menutup pintu.
Aku masih berdiri dengan memagang dadaku, ada rasa nyeri disini. Tidak bisa di pungkiri aku sangat rapuh saat ini. Namun, apapaun yang terjadi aku harus terlihat tegar didepannya. Aku menghapus air mata yang telah lancang mengalir tanpa perintahku. Menghapusnya hingga kering tak tersisa. Akupun berjalan dengan anggun menuju ke ruang makan untuk makan malam.
Sampai di meja makan. Telah terhidang berbagai macam menu masakan di atasnya. Sesaat aku melupakan segala kesedihanku. Aku tersenyum melihat ada beberapa menu kesukaanku di meja.
“Malam Bik ….” Menyapa bik kar, kemudian aku duduk di kursi.
“Malam Nyonya ….” Bik Kar menatapku dengan wajah bingung.
“Suamiku sebentar lagi turun Bik. Aku ingin meyiapkan piringnya.” Kilahku padanya. Aku tidak ingin ada orang yang tahu jika pernikahan ini hanya permainan. “Nah, itu dia ….” Aku berusaha tersenyum dengan senyum terbaikku. Bik Kar melihat David dan menyapanya.
Dia tetap dengan wajah datarnya, duduk di kursi makan. Aku menyiapkan piring, mengambilkan nasi dan lauk. Dia tidak menolak pelayananku. Awal yang baik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Ummu Sakha Khalifatul Ulum
Lanjut
2023-03-27
0
Siti Sri Wahyuni
mampir 👍
2022-08-19
0
Elisabeth Ratna Susanti
like fav 😍
2021-11-07
0