Pertemuan yang tidak sengaja dengan orang yang sangat menyebalkan menjadi awal sebuah takdir yang baru untuk dr. Fakhira Shakira.
Bruukk
"Astaghfirullah." Desis Erfan, ia sudah menabrak seorang dokter yang berjalan di depannya tanpa sengaja karena terburu-buru. "Maaf dok, saya buru-buru," ucapnya dengan tulus. Kali ini Erfan bersikap lebih sopan karena memang ia yang salah, jalan tidak pakai mata. Ya iyalah jalan gak pakai mata, tapi pakai kaki, gimana sih.
"It's Okay. Lain kali hati-hati Pak. Jalannya pakai mata ya!" Erfan membulatkan bola matanya kesal, 'kan sudah dibilang kalau jalan menggunakan kaki bukan mata. Ia sudah minta maaf dengan sopan, menurunkan harga diri malah mendapatkan jawaban yang sangat tidak menyenangkan.
"Oke, sekali lagi maaf Bu Dokter jutek." Tekannya kesal, kemudian melenggang pergi. Puas rasanya sudah membuat dokter itu menghentakkan kaki karena kesal padanya. Erfan tersenyum tipis pada diri sendiri setelahnya.
Karena keegoisan seorang Erfan Bumi Wijaya yang menyebalkan, membuat Hira mengalami pelecehan. Sejak kejadian itu ia tak bisa jauh dari sang pria menyebalkan.
Rasa nyaman hadir tanpa diundang. Namun sayang sang pria sudah menjadi calon suami orang. Sampai pada kenyataan ia sudah dibeli seseorang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susilawati_2393, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33
Erfan kembali ke ruang operasi, papi dan maminya sudah ada di sana. Orang tua Bilqis masih terus menangis menunggu anaknya selesai dioperasi.
"Darimana Fan?" Tanya Mami cemas, Erfan duduk di antara Papi dan Mami.
"Makan sama teman Mi." Jawabnya singkat, entah bagaimana kondisi hatinya sekarang yang sedang berkecamuk.
"Papi sudah melakukan penyelidikan, kasus tabrak lari Bilqis. Kamu tenang ya Fan, banyak bersabar." Erfan mengangguk walau ia tak tau bagaimana caranya untuk tenang saat seperti ini.
"Kamu belum sholat dzuhurkan? Sana sholat dulu banyak berdoa, agar Allah memberikan pertolongan."
"Iya Pi."
"Gih sana ke mushola dulu." Erfan mengangguk, berjalan gontai menuju mushola. Setelah melihat ruang operasi itu, jiwanya seperti kehilangan arah.
"Erfan, semangat dong." Ujar Hira saat keluar dari mushola melihat Erfan yang terlihat sangat rapuh.
"Ra, aku tidak kuat melihatnya berada di dalam sana."
Hira gelisah melirik arlojinya, waktunya tinggal sedikit sebentar lagi ia sudah harus berada di ruang operasi. Ia ingin menemani Erfan, tapi tak bisa sekarang.
"Fan, maaf banget gue gak bisa menemani lo sekarang. Lima menit lagi ada jadwal operasi caesar."
"Pergilah, nyawa mereka lebih penting." Hira mengangguk, mempercepat langkahnya ke ruangan kemudian melakukan persiapan untuk operasi. Ya Allah kenapa hatinya gelisah begini memikirkan keadaan Erfan yang sedang terpuruk. Ia hanya ingin membantu lelaki itu agar bisa tegar, seperti Erfan membuatnya kuat.
Erfan mengadukan segala kegundahan di atas sajadah. Tak terasa air matanya berjatuhan ketika sujud. Ia tidak tau apa yang sedang terjadi dengan dirinya sekarang.
Allah, angkat segala sakit Bilqis. Sembuhkan dia, izinkan kami hidup bersama di dunia hingga di surga-Mu kelak. Erfan menangis sejadi-jadinya, air matanya tak dapat ditampung lagi. Ia baru belajar membuka hati, tapi Allah sedang mengujinya lagi sekarang. Apa salahnya sampai semua jadi seperti ini.
Pantaskah ia menyalahkan Allah, padahal Allah sudah sangat baik padanya.
"Tak ada takdir buruk yang Allah berikan, hanya kita sebagai hamba yang belum bisa menerima setiap takdir dari Allah dengan baik."
Kalimat yang diucapkan Hira kembali berputar dalam benaknya. Astagfirullahaladzim, Erfan menghela napas panjang terus beristighfar.
***
Berjam-jam berada di ruang operasi akhirnya Hira bisa bernapas lega. Ia kembali ke ruangan sebentar untuk mengambil ponsel. Lalu mencari Erfan, Hira sangat mengkhawatirkan lelaki itu.
Entah apa yang sedang bersemayam dipikirannya sekarang. Hira berjalan pelan mendekati Erfan yang tertunduk lesu sendirian. Ia berjongkok di depan Erfan, menatap lelaki yang matanya sembab.
"Erfan...!"
Erfan mengangkat wajahnya menatap Hira yang memanggilnya. "Lo hebat, lo kuat, menangislah kalau ingin menangis lagi," lirih Hira.
"Erfan, siapa dia?" Tanya Mami sinis, Hira sontak berdiri dan melangkah mundur mendengar ucapan perempuan paruh baya yang baru datang. "Dia perempuan yang bersama kamu itu Fan?" Teriak mami.
Jangan ulangi kesalahanmu Ra, cukup orang tua Ringgo yang menghinamu. Hatinya sekarang seperti di remas-remas. Seakan tak ada izin untuknya berteman dengan lelaki.
"Mami...!!" Sentak Erfan, ia tak suka dengan nada bicara mami yang kasar pada Hira. Erfan menatap Hira yang menjauh. Ia takut Hira akan kumat kalau dibentak seperti itu.
"Dia yang makan denganmu tadi?" Erfan mengangguk, Mami menatap Hira tidak suka lalu duduk di samping putranya. "Kamu sudah mau menikah dengan Bilqis, kenapa masih bertemu perempuan lain," sentak Mami.
"Mi, Erfan gak ngapa-ngapain, cuma makan bareng." Erfan menatap ibu yang telah mengandungnya itu lekat, hingga tidak menyadari kepergian Hira.
"Mami tetap gak suka." Erfan mengusap wajah kasar, tidak lucu saat seperti ini mami malah mengajaknya berdebat dengan hal yang tak penting.
Pintu operasi dibuka, Abi dan Umminya Bilqis mendekati dokter yang baru saja keluar. Erfan dan mami ikut mendekat, papi sudah pulang lebih dulu.
"Mohon maaf, kami tidak bisa menyelamatkan putri bapak." Ujar dokter pada Abi, Ummu Bilqis langsung limbung dengan sigap Abi menahannya.
Erfan berlari dari ruang operasi dengan air mata yang membanjiri pipinya, tidak peduli dengan Mami yang berusaha menahannya di sana. Ia tidak sanggup, tidak sanggup menatap wajah Bilqis lagi. Ia tidak bisa berada di sana, berita itu sangat menyakitkan.
"Ya Allah, kenapa semua ini harus terjadi padaku. Kenapa?" Erfan berteriak histeris di taman yang sepi.
"Jangan pertanyakan takdir Allah. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."
Tadi Hira melihat Erfan berlari ke taman, ia mengikuti pria itu.
"Sakit Ra." Lirih Erfan, Hira ikut meringis membayangkan sakitnya ditinggalkan orang tersayang. Matanya ikut berkabut teringat saat terakhir kali memandang wajah sang bunda.
"Jangan lari seperti ini Fan!" Hira mendekat ke sisi Erfan, ia ingin memeluk lelaki itu. Seperti Erfan memeluknya waktu itu.
"Gue gak bisa melihatnya terbujur kaku Ra, ini terlalu cepat. Ini terlalu menyakitkan buat gue."
"Fan, lihatlah dia untuk yang terakhir kali. Agar kamu tidak menyesal nanti." Bujuk Hira pelan, pipinya ikut basah sesakit ini melihat Erfan terluka. Ada apa dengan hatinya.
"Gue gak sanggup Ra. Gue gak sanggup." Lirih Erfan menarik Hira kepelukannya, ia membenamkan kepala di ceruk leher Hira. "Ra sakiit, gue gak sanggung Ra. Gue gak bisa." Hira mengusap punggung Erfan membisikkan kata-kata yang bisa menguatkan pria yang sedang di peluknya. "Kamu bisa Fan, kamu bisa, lihat dia sebentar ya."
"Temani gue." Ujar Erfan akhirnya, Hira mengangguk menguatkan hatinya untuk bertemu ibu Erfan kembali. Sekarang bukan saatnya mementingkan ego diri sendiri. Biarlah cacian itu mendarat di telinganya lagi. Niatnya tulus untuk membantu Erfan, bukan memanfaatkan keadaan.
"Gue cuma punya waktu sedikit Fan." Ujar Hira, tidak ingin terlalu lama melihat keluarga Erfan. Ia tidak pantas berteman dengan pria setampan dan sekaya Erfan.
"Tidak apa sebentar, asal ditemani." Erfan mengurai pelukannya, "makasih Ra."
Hira mengangguk, lalu berjalan di belakang Erfan menuju kamar jenazah. Hira hanya menunduk tak berani memandang calon mertua Erfan ataupun orang tua Erfan sendiri. Tiga orang paruh baya itu berdiri di depan ruang jenazah. Ibunya Bilqis masih menangis histeris.
"Boleh saya dan dia masuk." Tanya Erfan pada perawat, mereka mengangguk mengizinkannya masuk.
"Erfan, kenapa membawa orang asing masuk." Hira mendengar ucapan ibunya Erfan, menandakan ia tidak boleh masuk.
"Kamu sendiri ya Fan, gue temani dari sini." Hira berusaha menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum, walau hatinya sangat sakit sekarang.
"Mami bisakan bicara lebih sopan, Erfan yang memintanya untuk menemani ke dalam." Kalimat yang Erfan ucapkan terdengar datar, namun sangat menusuk. Membuat Hira menjadi tidak nyaman. Mami membisu mendengar ucapan putranya.
udah untung suami mendukung pekerjaan nya,malah mau di bikinin tempat praktek sendiri, kurang apa coba si erfan