Hidup Kirana Tanaya berubah dalam semalam. Ayah angkatnya, Rangga, seorang politikus flamboyan, ditangkap KPK atas tuduhan penggelapan dana miliaran rupiah. Keluarga Tanaya yang dulu disegani kini jatuh ke jurang kehancuran. Bersama ibunya, Arini—seorang mantan sosialita dengan masa lalu kelam—Kirana harus menghadapi kerasnya hidup di pinggiran kota.
Namun, keterpurukan ekonomi keluarga membuka jalan bagi rencana gelap Arini. Demi mempertahankan sisa-sisa kemewahan, Arini tega menjadikan Kirana sebagai alat tukar untuk mendapatkan keuntungan dari pria-pria kaya. Kirana yang naif percaya ini adalah upaya ibunya untuk memperbaiki keadaan, hingga ia bertemu Adrian, pewaris muda yang menawarkan cinta tulus di tengah ambisi dan kebusukan dunia sekitarnya.
Sayangnya, masa lalu keluarga Kirana menyimpan rahasia yang lebih kelam dari dugaan. Ketika cinta, ambisi, dan dendam saling berbenturan, Kirana harus memutuskan: melarikan diri dari bayang-bayang keluarganya atau melawan demi membuktika
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehilangan yang Menghancurkan
Pagi itu mendung, dan udara terasa berat. Di luar rumah megah keluarga Tanaya, beberapa kendaraan hitam dengan logo pemerintah terparkir berjajar. Beberapa petugas berseragam sedang berbincang dengan tegas, membawa dokumen dan peralatan. Di dalam rumah, suasana tidak kalah tegang.
Arini duduk di sofa ruang tamu dengan wajah pucat, tangannya memegang erat tangan Kirana, yang kini sudah remaja. Kirana berusaha menahan tangisnya, tetapi air mata mengalir tanpa ia sadari.
“Mah, apa benar Papa akan dipenjara?” tanya Kirana dengan suara bergetar. Matanya memandang Arini dengan harapan mendapatkan jawaban yang bisa menenangkan.
Arini tidak bisa langsung menjawab. Tenggorokannya seperti tercekat. Ia mengalihkan pandangan ke jendela, melihat petugas yang sudah mulai bersiap untuk masuk ke rumah. “Mama juga tidak tahu, Kirana. Tapi kita harus kuat. Papa pasti tidak bersalah.”
“Kalau begitu, kenapa mereka datang ke sini?” Kirana mulai terisak. “Ini rumah kita! Mereka tidak boleh mengambilnya!”
Belum sempat Arini menenangkan Kirana, suara ketukan keras di pintu terdengar. Seorang petugas, pria berseragam dengan wajah tanpa ekspresi, berdiri di ambang pintu bersama beberapa rekannya.
“Maaf, Bu. Kami datang atas perintah pengadilan untuk melakukan penyitaan aset terkait kasus penggelapan dana yang melibatkan suami Anda, Bapak Rangga Tanaya,” ucap petugas dengan nada formal.
Arini berdiri, mencoba menjaga wibawanya meskipun hatinya hancur. “Ini pasti salah paham! Suami saya tidak bersalah. Kalian tidak punya hak untuk mengambil rumah ini!”
“Bu, kami hanya menjalankan tugas. Semua aset yang terkait atas nama Bapak Rangga Tanaya telah disita oleh negara untuk keperluan penyelidikan. Mohon kerja samanya,” jawab petugas tegas, sambil menyerahkan surat keputusan pengadilan.
Arini membaca surat itu dengan tangan bergetar. Rasanya seperti dunia runtuh di hadapannya.
“Kami akan memberi waktu dua jam untuk Ibu dan putri Anda mengemasi barang-barang pribadi. Setelah itu, rumah ini harus kami kosongkan,” lanjut petugas itu tanpa ragu.
“Dua jam?!” seru Kirana tiba-tiba. Ia berdiri dari sofa, matanya penuh amarah dan air mata. “Kalian tidak tahu apa-apa! Papa tidak bersalah! Kalian tidak berhak mengusir kami!”
Arini menarik Kirana ke belakang, mencoba menenangkannya. “Kirana, tenang, Nak. Jangan seperti ini.”
“Tapi, Bu! Mereka mengambil semuanya! Kita tidak punya tempat lain!” tangis Kirana meledak.
Petugas hanya diam, membiarkan mereka meluapkan emosi. Beberapa rekan mereka mulai memeriksa rumah, memotret dan mencatat barang-barang yang akan disita.
Di kamar, Arini mulai mengemasi barang-barang. Tangannya gemetar saat ia mengambil bingkai foto keluarga dari meja. Dalam foto itu, Rangga tersenyum hangat, memeluk Arini dan Kirana yang masih kecil. Air matanya jatuh tanpa henti.
“Bu...” suara lirih Kirana terdengar dari belakang. Gadis itu berdiri di pintu kamar, memegang boneka kesayangannya. “Kalau kita pergi, ke mana kita akan tinggal?”
Arini berbalik dan memeluk putrinya erat. “Mama tidak tahu, Nak. Tapi kita akan melewati ini bersama. Kita harus percaya, Papa akan segera pulang dan semuanya akan kembali seperti semula.”
Kirana menggeleng dalam pelukan Arini. “Tapi, Bu... bagaimana kalau Papa tidak pernah kembali?”
“Jangan bilang begitu,” kata Arini tegas, meskipun hatinya juga dipenuhi ketakutan yang sama. “Papa adalah orang baik. Dia akan pulang. Kita hanya perlu bersabar.”
Dua jam berlalu dengan cepat. Petugas mulai membawa barang-barang keluar rumah, termasuk perabotan mewah dan karya seni yang menghiasi dinding. Arini dan Kirana hanya bisa berdiri di depan rumah, menyaksikan semuanya dengan perasaan tak berdaya.
“Mereka bahkan mengambil piano Kirana!” Arini berseru, tidak lagi bisa menahan emosinya.
“Bu, ini sudah perintah pengadilan. Semua aset yang bernilai harus disita,” jawab salah satu petugas dengan nada datar.
Kirana berlari ke arah piano yang sedang diangkat oleh dua petugas. “Jangan ambil itu! Itu hadiah dari Papa! Itu milik saya!” teriaknya sambil mencoba mendorong mereka.
Petugas menghentikan langkahnya sejenak, tetapi tetap melanjutkan pekerjaannya. Arini segera menarik Kirana ke belakang.
“Maafkan dia,” kata Arini kepada petugas. “Dia hanya... kesal.”
Petugas mengangguk dan pergi tanpa berkata-kata.
Kirana memeluk Arini erat, menangis tanpa suara. “Bu, kenapa semua ini terjadi? Kenapa kita harus kehilangan semuanya?”
Arini mengusap rambut Kirana, mencoba menenangkannya meskipun hatinya juga hancur. “Mama tidak tahu, Kirana. Tapi kita harus tetap kuat, untuk Papa, untuk kita berdua. Kita akan menemukan cara untuk memulai lagi.”
***
Menjelang sore, rumah besar yang dulu penuh dengan kehidupan kini kosong dan sunyi. Hanya tersisa beberapa koper yang berisi barang-barang pribadi Arini dan Kirana. Petugas terakhir menutup pintu utama, mengunci rumah itu dengan segel pemerintah.
“Mari, Bu. Kami akan mengantar Anda ke tempat sementara,” kata salah satu petugas dengan nada lebih lembut.
Arini memegang tangan Kirana dan mengangguk pelan. Mereka menaiki mobil sederhana yang telah disediakan untuk mereka. Selama perjalanan, Kirana hanya diam, memandang keluar jendela dengan tatapan kosong.
“Bu,” kata Kirana tiba-tiba, suaranya hampir berbisik. “Apa kita akan baik-baik saja tanpa Papa?”
Arini menggenggam tangan putrinya erat. “Kita harus percaya, Kirana. Papa ingin kita tetap kuat, tidak peduli apa yang terjadi.”
Kirana mengangguk pelan, meskipun matanya masih dipenuhi kesedihan.
Setibanya di rumah kecil yang telah disediakan sementara, suasana semakin terasa mencekam. Rumah itu jauh berbeda dari tempat tinggal mereka sebelumnya. Dindingnya kusam, perabotannya sederhana, dan lokasinya berada di pinggiran kota.
“Ini rumah kita sekarang?” tanya Kirana dengan nada penuh ketidakpercayaan.
Arini mencoba tersenyum, meskipun hatinya terasa berat. “Iya, Nak. Sementara saja, sampai semuanya membaik.”
Kirana berjalan masuk dengan langkah pelan, melihat sekeliling ruangan kecil itu. “Papa pasti sedih kalau melihat kita seperti ini.”
Arini menahan air mata, lalu memeluk Kirana dari belakang. “Papa hanya ingin kita bahagia, Kirana. Kita harus bertahan, untuknya.”
Malam itu, mereka tidur di kamar sempit yang hanya memiliki satu tempat tidur. Kirana memeluk Arini erat, seperti mencari rasa aman yang hilang.
Hari itu menjadi awal dari kehidupan baru mereka kehidupan yang penuh perjuangan dan ketidakpastian, tetapi juga penuh harapan bahwa suatu saat, mereka akan kembali menemukan kebahagiaan.