Karina kembali membina rumah tangga setelah empat tahun bercerai. Ia mendapatkan seorang suami yang benar-benar mencintai dan menyayanginya.
Namun, enam bulan setelah menikah dengan Nino, Karina belum juga disentuh oleh sang suami. Karina mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi pada suaminya dan mulai mencari tahu.
Hingga suatu hari, ia mendapati penyebab yang sebenarnya tentang perceraiannya dengan sang mantan suami. Apakah Karina akan bertahan dengan Nino? Atau ia akan mengalami pahitnya perceraian untuk kedua kalinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fahyana Dea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mulai Ragu
Pertama kali Nino bertemu Karina, ia terkejut saat melihat wajahnya. Saat itu, Nino sedang melamun ketika mengendarai mobil. Ia tidak benar-benar memerhatikan jalanan di depannya. Saat ponselnya berdering, hal itu membuatnya terkejut dan ponselnya terjatuh. Ketika akan mengambil benda itu, seseorang menyeberang jalan, Nino telat menginjak rem dan berakhir menabrak penyeberang jalan itu.
Ia sempat diomeli oleh pengendara lain karena kelalaiannya. Ketika Nino menghampiri gadis yang saat itu dipapah seorang wanita paruh baya, Nino sempat tertegun melihat parasnya yang tak hanya cantik, dia juga mirip dengan Clarissa, kekasihnya yang sudah meninggal. Matanya yang besar, bulu mata lentik, terutama saat melihat senyumannya. Itu sangat mengingatkannya pada Clarissa. Walau kemiripan wajah mereka tidak sama persis.
Sejak saat itu, Nino selalu ingin bertemu dengan gadis yang ia ketahui bernama Karina. Namun, hatinya terasa sakit saat mengetahui jika dia sudah dijodohkan dengan seorang teman dekatnya, Hardi. Ketika Hardi bercerita tidak mencintainya sedikit pun, ia bahkan berani untuk mendoakan mereka tidak akan saling mencintai dan bercerai pada akhirnya dan Karina akan menjadi miliknya. Karena itu, hampir saja ia terjebak dalam obsesinya jika tidak bisa mengendalikan diri. Karena Nino ingin menghidupkan kembali Clarissa dalam diri Karina. Namun, ia akhirnya sadar, semua itu mustahil.
"Karina dan Clarissa itu berbeda. Mereka sangat berbeda, meskipun sifat mereka tidak terlalu bertolak belakang dan cukup banyak kesamaan." Amira kembali bicara setelah Nino hanya diam tanpa menjawab pertanyaan darinya. "Kamu jangan pernah menjadikan Karina sebagai bayangan Clarissa, itu gak akan bisa, Nino. Kamu harus mencintainya sebagai Karina. Dia gak akan bisa menjadi orang lain."
Nino membuang napas pelan. "Awalnya aku berniat seperti itu, Mbak. Tapi aku sadar, mereka memang berbeda," ujar Nino kemudian. "Aku mencintai Karina tanpa melihat Clarissa dalam dirinya. Meskipun awalnya itu sangat sulit karena mereka punya kemiripan."
Amira memainkan bolpoinnya. "Pertama kali bertemu, Mbak juga merasa bertemu lagi dengan Clarissa. Kalau Mami tahu, Mami pasti gak bisa nahan buat peluk dia." Amira tenggelam dalam lamunannya beberapa saat, lalu ia segera menyadarkan diri dengan menarik napas dalam. "Oke, kita mulai sekarang. Jadi, apa yang kamu rasakan akhir-akhir ini? Sebelumnya Mbak sudah punya poin, kalau kamu gampang tersulut emosi ketika mengingat seseorang yang berhubungan dengan masa lalu kamu. Selain itu, apa lagi yang kamu rasakan?"
Nino ragu sejenak. "Mungkin … ini sedikit sensitif. Aku …."
Nino menceritakan semua yang yang menjadi masalahnya akhir-akhir ini. Dari ia yang sering mengalami mimpi buruk, khawatir berlebihan jika ditinggal atau meninggalkan Karina sendiri, dan juga tentang dia yang tidak bisa berhubungan intim hingga saat ini—-hingga usia pernikahan mereka yang menginjak bulan ke tujuh—-itu bukan masalah sepele yang harus diabaikan oleh Nino. Ia tidak bisa terus menerus seperti ini. Ia dan Karina punya mimpi untuk mempunyai seorang atau dua orang anak.
Amira mendengarkan dengan saksama setiap kali Nino bercerita permasalahannya dan mulai menulis catatan medisnya pada selembar kertas yang ia jepit di clipboard. Ia sudah menduga dampaknya akan seperti ini jika trauma masa lalu Nino kembali dirasakan. Sungguh berat apa yang dirasakan Nino sekarang.
"Kamu harus mulai bicara terbuka pada Karina, Nino," ujar Amira. "Dia harus tahu kesulitan yang membuat kamu tidak bisa berhubungan seksual dengannya. Dan tentu saja, hal itu harus dengan kesiapan kamu."
"Aku masih takut, Mbak. Aku selalu takut kalau aku bisa menyakitinya."
"Mbak mengerti, ketakutan itu hal yang wajar. Tapi kamu gak sendiri dalam menangani perasaan kamu, ada Mbak yang siap membantu jika merasa kesulitan. Setiap langkah kecil, itu sangat berarti buat pemulihan kamu."
Nino mengangguk meski masih ragu. Amira tersenyum. Lalu, ia menarik napas dalam. "Selain itu, kamu juga masih merasa cemas saat tidak sengaja menemukan benda-benda tajam di rumah. Kamu masih merasa benda itu bisa melukai siapa saja yang memegangnya. Kita bisa mengidentifikasi pemikiran-pemikiran yang muncul dengan memeriksa kebenarannya, lalu mengganti dengan pemikiran yang realistis."
"Aku selalu takut kalau benda itu bisa memotong urat nadi siapa saja." Nino sedikit tegang saat berbicara hal itu.
"Nino, kita bisa bekerja pada desensitisasi gradual pada stimulus tersebut. Mungkin bisa merinci momen ketika Karina memegang benda tajam, tetapi tanpa mengekspos diri sepenuhnya. Ini akan membantu tubuh kamu terbiasa secara perlahan. Selain itu, teknik relaksasi pernapasan dalam juga bisa membantu kamu mengurangi ketegangan."
Nino tertegun sejenak.
"Mbak gak memaksa harus melakukannya sekarang, tapi di saat kamu sudah siap, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan."
"Aku akan mencobanya, Mbak," sahut Nino dengan tekad yang penuh. "Aku gak mau menunda-nunda. Aku mau cepat sembuh."
Amira tersenyum. Ia melihat semangat yang luar biasa dalam diri pria itu, sangat berbeda saat ia menanganinya ketika pertama kali melakukan terapi.
"Mbak senang dengernya. Kamu memang harus sembuh." Amira menepuk bahu Nino dengan ekspresi terharu.
***
Karina menatap pesan dari Nino yang dikirim satu jam lalu. Ia juga tidak menjawab telepon darinya, entah kenapa ia mendadak meragukan perasaan Nino padanya. Ia sedikit kesal jika ingat hal itu. Namun, sebenarnya Karina tidak terlalu percaya pada ucapan Kevin. Karina mendesah pelan, ia benci dengan konflik batin yang seperti ini.
Tiba-tiba ponselnya berdering, membuatnya tersentak karena ia tengah berada dalam lamunan. Karina tidak segera menjawab telepon itu, ia memandanginya sejenak. Setelah beberapa detik kemudian, ia menggeser ikon hijau bergambar telepon yang terus bergerak ke atas dan ke bawah.
"Halo, Mas."
"Kamu pulang jam berapa, Sayang?" tanya Nino di seberang sana.
Karina sedikit terbata. "Kayaknya … aku pulang agak telat deh hari ini, Mas."
"Mau aku jemput?"
"Enggak usah, aku … pulang agak malem. Kamu istirahat aja, kamu udah pulang, kan?"
"Iya, aku udah di rumah."
"Kamu istirahat aja, aku bisa pulang naik taksi, kok."
"Ya, udah. Hati-hati di jalan kalau nanti pulang, ya."
"Iya, Mas."
Setelah itu, telepon terputus. Karina masih memegang ponselnya, ia sedang menimbang-nimbang sesuatu, tetapi akhirnya ia membuka riwayat percakapannya dengan Amira, lalu mulai mengetik pesan baru untuk wanita itu.
Karina menyelesaikan pekerjaannya dengan tepat waktu. Ia tidak harus lembur hari ini, ucapannya tadi pada Nino hanya alasan saja. Sebenarnya, setelah ini, ia akan bertemu dengan Amira.
Ketika akan pulang, Karina dengan susah payah menghindari Kevin. Sejak mereka keluar dari lift pun, Karina berusaha untuk tidak berpapasan dengan pria aneh itu. Ya, menurutnya dia aneh dan kurang ajar. Kenapa perusahaan ini memilihnya sebagai direktur kreatif? Apa tidak ada kandidat yang lebih baik selain pria itu? Ia tidak mengerti bagaimana para petinggi perusahaan menilainya.
Ketika lift terbuka, Karina keluar, tetapi seseorang menariknya hingga ia tersentak. Karina diseret ke lorong menuju toilet di dekat lobi lift. Dia mendorong tubuh Karina hingga membentur tembok. Karina memekik, tetapi orang itu segera menutup mulut Karina dengan tangannya.
Karina terbelalak saat tahu siapa yang sudah menyeretnya ke tempat yang jarang dilalui orang-orang. Apalagi ketika jam bubar kantor seperti ini. Jarang sekali orang yang menuju ke tempat itu.
"Kamu menghindari saya?"
Karina membuang napas cepat saat tangan Kevin dilepaskan dari mulutnya.
"Bukan urusan kamu, saya menghindar atau tidak!" Karina menjawab tegas tanpa menyebutnya dengan panggilan sopan seperti layaknya pada seorang atasan. Karina tidak sudi memanggil sapaan sopan pada orang seperti Kevin.
"Tapi saya gak suka kamu menghindar." Suaranya terdengar lebih rendah.
"Kamu gak berhak melarang apa pun yang saya lakukan. Jangan karena saya punya kemiripan dengan mantan kamu, kamu bisa seenaknya memperlakukan saya!" Emosi Karina mulai memuncak, bukan hanya jengkel, ia sudah berada di tingkat kemarahannya.
Kevin mendengkus seraya menyeringai. "Ternyata kamu berani juga. Kamu seperti ini justru semakin mengingatkan saya pada Clarissa. Dia orang yang lembut, tapi tidak cengeng. Dia juga galak seperti kamu." Kevin membelai wajah Karina, tetapi Karina dengan kasar menepisnya.
"Jangan pernah sentuh saya!"
Kevin tertawa pelan. "Kamu sangat menawan kalau seperti ini."
Orang gila! Karina menatap pria itu tajam. Namun, hinaan itu tidak sampai keluar dari mulutnya.
"Sebenarnya kenapa kamu selalu mengganggu saya seperti ini? Sikap kamu seperti ini membuat saya tidak nyaman!" Karina menyatakan kebenaran yang ia rasakan.
"Hmm." Kevin berpikir dengan ekspresi yang dibuat-buat. "Kenapa, ya? Oh, awalnya saya ingin mendekati kamu dengan cara yang baik, tetapi begitu saya tahu kamu istrinya Nino. Saya patah hati dan semakin membenci laki-laki itu!"
Karina masih menatapnya dengan tajam.
"Kamu tahu, kalau Nino sudah merebut Clarissa dari saya?" Rahangnya mengeras karena menahan amarah. Lalu, dia menyeringai. "Tapi saya senang ketika mendengar dia hampir gila karena kehilangan Clarissa. Sayangnya … ternyata dia masih bisa kembali normal seperti sekarang dan bisa hidup bahagia. Dan saya sangat kecewa melihat itu."
"Jangan pernah libatkan saya dalam masa lalu kalian. Saya tidak pernah tahu apa-apa!" Karina memalingkan wajah.
Kevin tertawa sampai bergema di lorong itu.
"Tentu saja kamu harus terlibat, Karina. Karena kamu adalah orang yang paling dekat dengan Nino."
Sebenarnya Karina merasa takut, tubuhnya sudah gemetar sejak tadi. Ia ingin berteriak, tetapi mulutnya terasa sangat kelu untuk mengeluarkan suara keras.
"Menyenangkan sekali karena takdir sudah mempertemukan kita." Sudut bibirnya terangkat.
Karina menarik napas dalam diam-diam untuk sedikit menenangkan dirinya sendiri.
"Tolong beri saya jalan! Saya mau pergi." Karina berkata tanpa menatap pria itu. Ia tidak tahan mendengar semua omong kosongnya.
Posisinya sekarang tidak bisa pergi ke mana-mana karena Kevin menumpukan kedua tangannya di dinding, menghalangi Karina agar tidak pergi.
Kevin menegakkan tubuhnya dan mempersilakan Karina pergi. Namun, ketika baru beberapa langkah, Karina kembali dihalangi.
"Tapi ingat satu hal, Karina. Selama kamu berada di sini—di perusahaan ini—-kamu gak akan bisa lari dari saya. Bahkan mungkin, kamu gak akan saya biarkan keluar dari pekerjaan kamu."
Karina kembali menatapnya dengan tajam. Ia sudah tidak menimpalinya lagi. Kemudian, Kevin mendekatkan wajahnya ke telinga Karina.
"Biar saya beritahu satu rahasia kecil," ujarnya pelan. Kemudian berbisik, "Saya ingin membuat Nino benar-benar gila karena kehilangan kamu. Karena tampaknya, dia sangat mencintai kamu. Saya ingin membuat dia benar-benar menderita!" Kevin menyeringai penuh kepuasan.