"Aku akan berusaha melawan badai yang akan menerpaku kapanpun itu. Aku siap menerima serangan badai yang besar sekalipun. Aku tidak takut kepada besarnya badai, aku tidak gentar terhadap ganasnya badai. Aku juga tidak akan menyerah walau badai itu terus menggulungku. Aku akan berusaha berdiri di atas badai itu. Aku akan menghadapi badai itu. Aku akan melawan badai itu. Aku akan menari diatas badai itu pula. Hingga pada akhirnya, badai itu bisa menyatu dengan diriku. Aku adalah badai dan badai adalah aku."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nnot Senssei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kota Bunga Perak
Saat ini Shin Shui sedang berjalan-jalan menelusuri kota yang jaraknya lumayan jauh dari Istana Kekaisaran. Dia berjalan layaknya orang biasa, sepanjang perjalanan dia banyak menjumpai para orang-orang sekitar.
Sekarang Shin Shui akan menuju ke kota Bunga Perak. Kota itu hanya terhalang lima kota besar dengan Istana Kekaisaran. Jarak tempuh jika ingin ke Istana hanyalah dua hari perjalanan jika berjalanan kaki seperti biasa.
Kota itu sangat ramai, ada banyak orang-orang berdagang, mulai dari yang berdagang senjata, pusaka, sumber daya, bahkan permata siluman. Semua ini adalah hal lumrah di sini, mengingat kota Bunga Perak adalah kota yang sering di kunjungi oleh sebagian besar pendekar. Baik yang hanya lewat, ataupun mereka yang memang bertujuan akan ke istana.
Matahari bersinar terik, suasana kota semakin siang semakin ramai. Teriakan-teriakan dari para pedagang yang mencoba menarik perhatian pembeli terdengar disetiap sudut.
"Wahhh … ramai sekali kota ini. Kali ini aku akan berjalan mengelilingi kota Bunga Perak ini, lalu setelah itu mencari tempat makan, lalu aku akan mencari penginapan. Rasanya aku sudah bosan tidur beralas bebatuan seperti saat di 'Hutan Kematian'," gumam Shin Shui sembari berjalan mengamati tiap-tiap sudut disana.
"Tuan kemari tuan, kami menjual baju pendekar yang bagus dengan bahan dasar benang sutera."
"Tuan kemarilah, lihat! Kami menjual berbagai senjata yang cukup bagus bagi tuan."
"Tuan, barangkali Anda butuh sumber daya, kami menyediakan dengan harga murah."
"Tuan kami menjual permata siluman. Barangkali tuan pendekar berminat untuk membelinya."
Teriakan demi teriakan para pedagang terus memanggil Shin Shui. Mereka seolah tak ada capenya memanggil setiap pendekar yang di lihat, pikirnya. Dia terus berjalan selama beberapa jam untuk sekedar melihat dan mengamati kota Bunga Perak.
Dalam waktu normal, biasanya kota ini bisa dua kali lipat lebih ramai, namun karena peperangan yang terjadi beberapa waktu lalu membuat para pedagang ini libur. Bahkan tak sedikit dari mereka yang memilih pindah ke tempat lain yang lebih aman.
Shin Shui berniat untuk mencari sebuah restoran. Perutnya sudah merengek minta diisi. Wajar saja, dia belum makan lagi semenjak meninggalkan Istana.
"Hemmm … Restoran Siluman. Sepertinya menarik," gumamnya. Dia memasuki sebuah tempat makan dengan nama Restoran Siluman, restoran ini terbilang besar. Dimana restoran ini memiliki empat lantai.
Lantai pertama makanannya berharga murah, lantai kedua harganya terbilang menengah. Dan lantai tiga terbilang mahal, lantai tiga biasanya diisi oleh orang-orang yang mempunyai harta lebih. Karena satu porsi makanan di lantai ketiga bisa mencapai dua puluh sampai tiga puluh koin emas. Sedangkan lantai keempat adalah tempat penginapan.
"Selamat datang tuan, mari silahkan masuk. Kami menyediakan beberapa menu yang dibuat dari daging siluman yang berguna untuk perkembangan pendekar." seorang wanita yang terlihat baru berumur dua puluh tiga tahun menyambut Shin Shui dengan ramah.
"Terimakasih. Aku ingin memesan di lantai tiga dan makanan terbaik di tempat ini. Aku juga ingin memesan sebuah kamar untukku sendiri," jawab Shin Shui.
Melihat penampilan Shin Shui yang sedikit mencolok, pelayan itu pun tidak meragukannya lagi. Terlebih ketika dia menyadari cincin ruang Shin Shui adalah cincin yang biasa dipakai oleh para penguasa ataupun orang-orang yang mempunyai banyak harta.
"Baik tuan, mari ikut saya langsung menuju ke lantai tiga dan empat untuk menunjukkan kamar untuk Anda," jawab pelayan itu.
Shin Shui pun langsung membuntuti pelayan tersebut dan segera naik ke lantai tiga. Meja dilantai tiga hanya ada kurang lebih dua puluh. Wajar, karena biasanya lantai ini hanya digunakan oleh orang-orang penting.
Makanan telah datang, aromanya membuat selera makan bertambah naik. Tak mau membuat perutnya menyanyi lagi, Shin Shui pun langsung menyantap makanan tersebut.
"Enak sekali. Rasanya baru kali ini aku makan enak," gumamnya sendiri.
Dia baru saja memesan makanan yang terbaik, menu makanan itu bernama Sup Kelinci Merah. Kelinci merah adalah salah satu siluman, meskipun tidak terbilang berbahaya bagi pendekar, tapi kelinci merah bisa mengeluarkan api saat dirinya merasa terancam.
"Benar-benar makanan yang lezat. Tubuhku rasanya menjadi lebih segar kembali," kata Shin Shui.
"Pelayan, berikan aku makanan seperti ini lagi dan pastikan rasanya sama seperti sebelumnya," kata Shin Shui, dia berniat untuk memesan Sup Kelinci Merah lagi.
Daging Kelinci Merah itu sangat lembut. Rasa rempah-rempah bercampur di dalamnya menciptakan kenikmatan bagi yang memakannya. Jadi wajar saja jika restoran ini merupakan salah satu restoran terbaik yang ada di kota Bunga Perak. Mengingat makananya pun jauh lebih baik daripada restoran lainnya.
Setelah selesai mengisi perutnya, Shin Shui berniat untuk memasuki kamarnya. Dia merasa sudah kelelahan karena berkeliling kota dengan berjalan kaki.
Dia ingin segera merebahkan diri di kasur empuk, merasakan kehangatan dan kenyamanan yang mungkin belum dia dapatkan semenjak berlatih di 'Hutan Kematian'. Atau mungkin belum dia rasakan sepanjang hidupnya saat di gubuk.
Setelah mencapai kamarnya, Shin Shui langsung membuka pintu dan segera saja melompat ke atas kasur. Tentu dia sangat kegirangan karena ini pertama kalinya.
"Ahhh … akhirnya aku bisa hidup enak. Guru benar-benar baik. Dia bahkan memberikanku harta yang sangat berlimpah. Jadi begini ya rasanya jadi orang kaya," gumamnya sambil tersenyum sendiri. Dia mengelus-elus cincin ruang pemberian gurunya.
Tapi saat mengingat kenangan pahit di masa lalu, senyumannya langsung menghilang. Yang ada hanyalah kesedihan yang dipancarkan dari raut wajahnya. Dia teringat kedua orang tuanya yang sudah tiada.
"Ayah, ibu. Lihatlah anakmu sekarang. Aku sudah menjadi pendekar hebat, sudah punya banyak harta…" Shin Shui tersenyum kecut. "Tapi … rasanya semua ini hampa, andai ayah dan ibu masih ada. Mungkin aku sudah bisa membahagiakan ayah dan ibu dengan memberikan hidup yang layak. Semoga ayah dan ibu bahagia di surga. Shui'er berjanji, Shui'er akan membalaskan kematian ayah dan ibu," hatinya perih bagaikan disayat-sayat.
Sudah pasti setiap anak ingin membahagiakan orang tuanya, begitu pula Shin Shui. Tapi takdir berkata lain, dibalik kebahagiaannya sekarang, tersimpan kesedihan yang teramat dalam.
Tak terasa, air matanya menetes ke pipi lembutnya. Air mata yang begitu bening, seolah menggambarkan tentang kerinduan seorang anak kepada kedua orang tuanya.
Hari sudah mulai larut, Shin Shui tidak menyadari bahwa dirinya sudah beberapa jam berlarut-larut dalam kesedihan dan kerinduan. Dia berniat untuk segera beristirahat, semoga saja dengan tidur bisa melepas rasa sakit dan perihs dihati, pikirnya.
Tak lama dia pun mulai pergi ke alam mimpi dengan membawa rasa bahagia dan duka.
Hari sudah pagi, mentari pagi mulai memancarkan sinar ke kamar Shin Shui. Suara burung-burung sudah riuh terdengar dengan sangat merdu.
Orang-orang yang akan melakukan aktivitasnya kembali mulai ramai. Seperti biasa, suara bising para pedagang yang menawarkan barang dagangannya mulai saling bersahut-sahutan.
Shin Shui bangun dari tidurnya. Sungguh, dia merasakan kenyamanan dan kehangatan dalam tidurnya. Dibalut selimut yang lembut, membuatnya semakin betah untuk tetap tidur.
Dia kemudian segera membersihkan diri. Setelah itu dia berniat turun ke lantai tiga untuk sarapan. Ternyata, walaupun masih terbilang pagi, suasana di Restoran Siluman sudah cukup ramai. Tak sedikit para pendekar atau bahkan orang-orang penting yang memilih sarapan di tempat ini.
"Maaf tuan muda, mau memesan menu sarapan apa?" seorang pelayan wanita mendekati dirinya. Pelayan itu adalah yang melayani Shin Shui dari kemarin.
"Aku ingin memesan menu sarapan terbaik disini, pastikan rasanya tak kalah enak dari Sup Kelinci Merah," kata Shin Shui.
"Baik tuan muda," pelayan itu berniat segera pergi, tapi Shin Shui menahannya.
"Maaf, ada apalagi tuan muda?" tanya pelayan itu kebingungan.
"Ini untuk kantong pribadimu," Shin Shui memberikan tiga keping emas kepada pelayan itu. "Jangan bilang kepada siapa-siapa!" ucap Shin Shui.
"Terimakasih tuan muda," senyuman manis terhias di wajah pelayan wanita itu, baginya tiga koin emas adalah jumlah yang besar.
Tak perlu menunggu lama, sebuah menu sarapan dengan aroma yang menggugah selera di hidangkan di depan Shin Shui. Makanan itu menyerupai bubur, tapi dengan warna kuning dan diatasnya ditaburi bumbu-bumbu.
"Silahkan tuan," kata pelayan yang tadi. "Ini namanya Bubur Ayam Kuning. Bubur ini dibuat sepenuhnya dari siluman Ayam Kuning yang dimasak selembut mungkin. Bubur ini bisa meningkatkan tenaga dalam walau tidak banyak," lanjut pelayan itu.
"Baiklah, terimakasih," kata Shin Shui. Dia langsung segera memakannya mumpung masih hangat. Pelayan itu langsung pergi kembali bekerja, dia tidak ingin mengganggu tamunya.
semoga utk cerita2 lain penulis bisa insaf 🤣🤣🤣
kasian Thor membuat cerita seperti ini 🤣🤣🤣