"Aku mencintainya, tapi akulah alasan kehancurannya. Bisakah ia tetap mencintaiku setelah tahu akulah penghancurnya?"
Hania, pewaris tunggal keluarga kaya, tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Meskipun seluruh sumber daya dan koneksi dikerahkan untuk mencarinya, Hania tetap tak ditemukan. Tidak ada yang tahu, ia menyamar sebagai perawat sederhana untuk merawat Ziyo, seorang pria buta dan lumpuh yang terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya.
Di tengah kebersamaan, cinta diam-diam tumbuh di hati mereka. Namun, Hania menyimpan rahasia besar yang tak termaafkan, ia adalah alasan Ziyo kehilangan penglihatannya dan kemampuannya untuk berjalan. Saat kebenaran terungkap, apakah cinta mampu mengalahkan rasa benci? Ataukah Ziyo akan membalas dendam pada wanita yang telah menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Keraguan
Pagi itu, Clara terbangun dengan perasaan tidak nyaman. Perutnya terasa mual dan kepalanya berdenyut hebat. Ia mengerang pelan, menekan pelipisnya, berusaha mengabaikan rasa tidak enak yang menguasai tubuhnya.
"Ini pasti karena kurang tidur," gumamnya lirih.
Ia memaksakan diri bangun dari tempat tidur, melangkah ke kamar mandi dan mengguyur tubuhnya dengan air dingin, berharap itu bisa sedikit mengusir pusingnya. Setelahnya, ia mengoleskan makeup dengan teliti di depan cermin, menyembunyikan wajah pucatnya dengan bedak dan blush on tipis.
Meski wajahnya terlihat segar, ia tahu tubuhnya masih terasa lemas. Tapi hari ini ada meeting penting. Ia tidak bisa membiarkan kelemahan tubuhnya menghalangi pekerjaannya.
Dengan langkah sedikit tertahan, ia turun ke lantai bawah. Saat ia melewati ruang makan, suara ibunya, Rita, menghentikannya.
"Clara, sarapan dulu."
Clara melirik jam tangan. Ia menghela napas. “Ma, aku buru-buru. Ada meeting pagi ini.”
Rita memandang putrinya dengan cermat. Dari sekilas, Clara memang terlihat rapi seperti biasanya. Tapi sebagai seorang ibu, Rita bisa melihat sesuatu yang berbeda.
Mata Clara tampak sayu. Meski makeup menutupi kepucatan wajahnya, ekspresi kelelahan di matanya tak bisa disembunyikan.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Rita dengan nada khawatir.
Clara sudah berjalan menuju pintu. “Aku baik-baik saja, Ma. Nanti aku makan di kantor.”
Rita hendak bertanya lebih lanjut, tapi Clara sudah lebih dulu masuk ke dalam mobil yang mesinnya sedang dipanasi.
Rita menatap mobil putrinya yang semakin menjauh, hatinya tak tenang. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres. Tapi apa?
***
Clara melangkah cepat di koridor kantor, menahan rasa pusing yang semakin menjadi. Tubuhnya lemas, tapi pikirannya tetap fokus pada meeting yang akan segera dimulai.
Tiba-tiba, dari ujung lorong, seorang staf perempuan berlari tergesa-gesa menuju toilet. Clara menoleh, keningnya berkerut.
"Kenapa dia?" tanyanya pada seorang staf lain yang sedang menyusun dokumen di meja.
Staf itu menoleh, lalu menjawab dengan suara pelan, seolah-olah takut ada yang mendengar. "Katanya dia tiba-tiba datang bulan, jadi dia buru-buru ke toilet, Kak."
Clara mengangguk kecil. "Oh..." gumamnya, tidak terlalu memikirkan hal itu.
Ia kembali melangkah menuju ruang meeting, namun beberapa detik kemudian, langkahnya terhenti begitu saja.
Kata haid seakan menggema di telinganya.
Datang bulan.
Clara membelalakkan mata, jantungnya mendadak berdegup lebih cepat.
Tangannya mencengkeram tas di bahunya, napasnya tercekat. Ia menatap lurus ke depan tanpa benar-benar melihat apa pun.
Berapa lama…?
Berapa lama sejak terakhir kali ia mengalami tamu bulanannya?
Matanya berkedip cepat, menghitung mundur. Otaknya bekerja panik, mengingat kembali siklusnya. Seharusnya—seharusnya ia sudah mendapatkannya beberapa minggu yang lalu. Tapi tidak.
Tidak.
Darahnya seakan berhenti mengalir. Tangannya meremas perutnya, seolah mencari tanda-tanda yang biasa ia rasakan sebelum menstruasi—tapi tidak ada. Tidak ada rasa nyeri yang biasa, tidak ada kram yang membuatnya kesal setiap bulan.
Tidak ada apa-apa.
Pikirannya berputar liar. Napasnya memburu. Kakinya terasa lemas, seakan dunia di sekelilingnya berputar.
Ini tidak mungkin. Tidak boleh.
Tapi kenyataan menghantamnya lebih keras daripada yang bisa ia tolak.
Kemungkinan itu ada.
Dan jika benar… maka hidupnya bisa berubah selamanya.
***
Clara duduk di VIP room restoran mewah, menatap piringnya yang masih penuh. Nafsu makannya hilang sejak pagi, dan perasaan gelisah yang terus menghantuinya semakin menjadi-jadi.
Di hadapannya, Bryan menyantap makanannya dengan santai, seakan dunia baik-baik saja. Seakan tidak ada hal besar yang akan dibicarakan Clara.
Clara menggenggam sendoknya erat, mencoba menenangkan diri. Lalu, dengan suara yang terdengar lebih tenang daripada perasaannya saat ini, ia berkata, "Aku terlambat datang bulan."
Bryan berhenti mengunyah. Dahinya berkerut sejenak, sebelum akhirnya ekspresi terkejut itu berubah menjadi sesuatu yang mengejutkan Clara—senyuman.
"Berarti kemungkinan kamu hamil."
Nada suaranya terdengar antusias, seolah kabar itu adalah hal yang menyenangkan. Senyuman lebar merekah di wajahnya, sementara mata Clara justru semakin dipenuhi kecemasan.
"Bryan..." Clara menggigit bibirnya, menatap pria di hadapannya dengan perasaan kalut. "Aku hamil di luar nikah. Ini bukan sesuatu yang bisa dianggap enteng."
Bryan mengulurkan tangannya, menggenggam jemari Clara dengan lembut. Sentuhan itu seharusnya menenangkan, tetapi malah terasa dingin di kulit Clara.
"Tenang saja," katanya dengan nada lembut, matanya menatap Clara seolah penuh kasih sayang. "Kalau kamu memang hamil, aku akan bertanggung jawab."
Clara ingin mempercayainya. Ingin merasa aman dengan kata-kata itu. Tapi jauh di dalam lubuk hatinya, ada suara kecil yang berbisik bahwa Bryan bukan pria yang bisa dipercaya sepenuhnya.
"Kita harus periksakan untuk memastikan," lanjut Bryan, suaranya masih terdengar penuh semangat. "Aku bisa menemanimu kapan saja."
Clara menundukkan kepala. Dadanya terasa sesak.
Tanggung jawab?
Selama ini, Bryan selalu menolak memakai pengaman, meskipun Clara telah membujuknya berkali-kali. Bukan hanya itu, ia bahkan tidak pernah mengizinkan Clara melakukan pencegahan kehamilan dengan alasan tak ingin ada yang mengganggu hubungan mereka. Setiap kali Clara mencoba membahasnya, Bryan selalu meyakinkannya bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Namun sekarang, jika benar ia hamil… apakah ini bagian dari rencana Bryan karena mencintainya dan ingin memilikinya?
Atau… ada sesuatu yang lain?
Sesuatu yang selama ini ia abaikan perlahan mulai menghantui pikirannya.
Keraguan.
Perasaan bahwa Bryan mungkin tidak benar-benar mencintainya. Hatinya membisikkannya.
Tapi sekarang, semuanya sudah terlambat. Ia terjebak dalam situasi yang tidak pernah ia bayangkan. Dan satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah mencari kepastian.
Bryan menatap Clara yang terdiam di hadapannya. Jemarinya yang biasanya lincah memainkan sendok kini hanya menggenggamnya tanpa bergerak. Wajahnya terlihat pucat, pikirannya jelas sedang berkecamuk.
Sejak malam itu—malam di mana ia meniduri Clara—Bryan mulai melihat sesuatu yang berbeda dalam diri wanita itu. Keraguan.
Clara tidak lagi menatapnya dengan penuh keyakinan seperti dulu. Bahkan, ada saat-saat di mana ia seperti menahan diri saat bersamanya. Apalagi setelah ia mengancamnya dengan video itu.
Namun, Bryan tidak punya pilihan lain. Ia sudah melangkah terlalu jauh. Terlalu banyak yang telah ia korbankan untuk sampai di titik ini.
Mundur? Itu bukan opsi.
Jika ia ingin mendapatkan kekuasaan atas perusahaan Clara, maka ia harus memastikan satu hal—Clara tidak bisa pergi darinya.
Dan jika benar Clara hamil… itu akan menjadi keuntungan terbesar baginya.
Bryan menyesap kopinya perlahan, lalu menatap Clara dengan senyum tenang, seolah tak terjadi apa-apa. “Kita periksakan saja, Sayang,” ucapnya lembut, tangannya meraih tangan Clara dan menggenggamnya lembut. “Jika benar kau hamil, maka itu adalah takdir kita. Kita akan menikah.”
Clara menoleh, matanya beradu dengan tatapan Bryan yang penuh keyakinan. Ia tidak tahu harus merasa lega atau justru semakin terjebak.
Bryan menggenggam tangan Clara erat, menyalurkan kehangatan yang entah nyata atau hanya manipulasi semata. “Percayalah, aku akan bertanggung jawab penuh. Kau tidak sendiri, Clara.”
Namun di balik senyum lembutnya, Bryan tahu betul—ini bukan tentang tanggung jawab. Ini tentang kendali. Tentang memastikan Clara tetap dalam genggamannya.
...🔸"Jangan biarkan logika menenggelamkan bisikan kata hatimu. Karena kebenaran seringkali bersembunyi di balik ketidakmasukakalan."🔸...
...🍁💦🍁...
.
To be continued
Tinggal bersama kakak ziyo dan hania...
Diva dilaporkan ke polisi...
Demi ambisimu ingin menguasai perusahaan Clara tega selingkuh dengan Clara...