Sinopsis:
Lilia, seorang agen wanita hebat yang mati dalam ledakan saat menjalankan misinya, namun secara tidak sengaja masuk ke dunia novel sebagai tokoh wanita antagonis yang dibenci oleh semua warga desa. Dalam dunia baru ini, Lilia mendapatkan misi dari sistem jika ingin kembali ke dunia asalnya. Untuk membantunya menjalankan misi, sistem memberinya ruang ajaib.
Dengan menggunakan ruang ajaib dan pengetahuan di dunia modern, Lilia berusaha memperbaiki keadaan desa yang buruk dan menghadapi tantangan dari warga desa yang tidak menyukainya. Perlahan-lahan, perubahan Lilia membuatnya disukai oleh warga desa, dan suaminya mulai tertarik padanya.
Apakah Lilia dapat menyelesaikan semua misi dan kembali ke dunianya?
Ataukah dia akan tetap di dunia novel dan menemukan kebahagiaan yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wanita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 : Keluar Dari Pulau Monyet
Lilia dan Titan membawa para korban keluar dari bangunan itu. Mereka bergerak dengan sigap dan cepat, memantau sekeliling untuk memastikan tidak ada bahaya yang mengintai. Setelah berhasil membawa para korban keluar dari bangunan, Lilia dan Titan kemudian memimpin mereka menuju jalan keluar hutan.
Burung ajaib terbang di atas mereka, membimbing mereka melalui jalan yang berliku-liku di dalam hutan. Dengan bantuan burung ajaib, mereka dapat menemukan jalan tercepat dan teraman untuk keluar dari hutan. Setiba mereka di Dermaga, mereka dapat melihat banyak sekali para tukang pukul sedang berjaga di sekitar. Mereka pun bersembunyi sebisa mungkin di balik pohon. Untunglah posisi mereka masih cukup jauh, sehingga para tukang pukul belum sadar kalau mereka hampir mendekat.
"Bagaimana cara melumpuhkan mereka, kita pasti ditangkap!?" tanya Analia.
Titan dan Lilia tersenyum ringan. Mereka punya cara. "Itu gampang," ucap mereka bersamaan.
Dengan suara hatinya, Lilia kembali meminta pada sistem, " Taro, apa ada bubuk ajaib diruang ajaib yang bisa membuat mereka pingsan?" tanya Lilia.
"Kami punya obat bius bubuk yang bisa berubah jadi asap kalau di lempar," jawab Taro, muncul.
"Aku mau beli. Tukarkan dengan koinku. Suruh burung-burung ajaib ini melempar obat bius itu sampai mengenai para tukang pukul di sana!" titah Lilia.
"Siap, nona," jawab Taro. Permintaan Lilia langsung di proses.
Dengan kecepatan yang luar biasa, Taro memproses permintaan Lilia. Obat bius ajaib langsung muncul di kaki para burung ajaib yang telah menunggu perintah. Burung-burung itu kemudian terbang dengan cepat dan terkoordinasi, melempar obat bius ke arah para tukang pukul.
Obat bius itu meledak menjadi asap tebal yang membuat para tukang pukul tidak bisa melihat dan akhirnya pingsan satu per satu. Para korban melihat dengan heran para tukang pukul yang pingsan satu persatu. Pasalnya mereka tidak bisa melihat burung ajaib maupun kabut asap yang membuat para tukang pukul pingsan. Hanya Lilia dan Titan yang bisa melihat semuanya.
"Kok mereka pingsan?" tanya Pak Johan.
"Entahlah," jawab Titan, pura-pura tidak tahu.
"Anggaplah ini keberuntungan kita. Ayo cepat, kita harus pergi dari sini," kata Lilia. Mereka semua mengangguk cepat. Mereka langsung berlari menuju kapal di Dermaga. Namun, saat mereka tiba tepat di dekat kapal, tiba-tiba saja mereka mendengar suara kapal militer mendekat.
"Lihatlah!" tunjuk Analia. Semua orang melihat ke arah tunjukan Analia. Ternyata benar, ada dua kapal militer yang mendekat. Lilia dan Titan geleng-geleng kepala, kapal itu tiba sangat terlambat. Jika mereka tidak cepat tiba di Pulau Monyet, mungkin saja para korban ini sudah dibuka isi perutnya, dan diambil semua organ tubuhnya.
"Kak Titan, apa yang akan kamu katakan pada mereka tentang kita yang sudah lebih dulu tiba di sini?" tanya Lilia, berbisik di telinga Titan.
"Sistem, aku beli balon udara, letakan di dekat bangunan tua tadi!" titah Titan, pakai suara hatinya. Titan tidak ingin orang-orang di dunia ini tau kalau dia dan Lilia memiliki sistem ajaib. Dengan adanya balon udara itu, mungkin mereka bisa membuat alasan pada semua tentara yang datang, mengenai mereka yang tiba dengan cepat ke sini.
"Siap, tuan," jawab Taro. Perintah Titan segera di proses, balon udara pun muncul di dekat bangunan tua tadi.
Kapal Militer tiba di Dermaga. Para tentara itu turun satu persatu. Rupanya yang di kirim kemari bukan tentara angkatan darat, tapi tentara angkatan laut. Meskipun tentara angkatan laut tapi pimpinan mereka mengenali Pandu. Laksamana Arinto, yang tak lain paman Pandu, terkejut melihat Pandu ada di sana, bersama para korban. Semua tentara yang datang juga terkejut, melihat para tukang pukul itu pingsan.
Pandu yang sebenarnya Titan memberi hormat pada Laksamana Arinto. Hormat Pandu diterima. "Kolonel Pandu, kenapa kolonel bisa ada di sini? Bukankah saat melapor kejadian ini, kolonel masih ada di markas desa?" tanya Laksamana Arinto.
"Jika saya menunggu kalian datang, mereka yang ada di sini pasti sudah mati. Kami datang naik balon udara," jawab Titan.
"Naik balon udara?" Laksamana Arinto tidak percaya, pasalnya selama diperjalanan, dia tidak melihat satupun pesawat maupun balon udara melintas di udara sekitar laut pulau Monyet.
"Saya Analia, Pak. Putri wakil presiden. Kolonel Pandu dan wanita ini sudah menyelematkan kami. Laporkan semua pada ayah saya," kata Analia, membantu bicara.
Laksamana Arinto tidak menyangka kalau salah satu dari korban adalah putri tunggal Wakil Presiden. Pasalnya dari laporan Jenderal Tinggi TNI AD tadi, tidak ada menyebutkan bahwa korban adalah anak Wakil Presiden.
"Baik, kami akan melapor ke gedung kepresidenan," jawab Laksamana Arinto. "Kapten Jaya, periksa balon udara yang dikatakan Kolonel Pandu!" Titah Laksamana. Kapten pun mengangguk, melaksanakan perintah atasannya.
"Tidak jauh dari areal bangunan tua juga ada kuburan massal. Semua yang di kubur di sana adalah korban perdagangan organ tubuh. Sepertinya, sebagian adalah kuburan baru. Katanya kapal yang digunakan untuk menyelundupkan semua organ tubuh itu sudah berlayar ke negara tetangga," kata Lilia, memberikan informasi.
"Saya mengerti. Saya akan perintahkan anak buah saya untuk menghentikan pelayaran kapal ilegal itu," jawab Laksamana Arinto.
Laksamana Arinto pun memerintahkan anak buahnya untuk bekerja. Ada yang memeriksa kondisi para tukang pukul. Ada yang menuntun para korban yang selamat masuk ke dalam kapal militer.
Ternyata tukang pukul itu memang pingsan massal. Mereka pun di bawa satu persatu naik kapal militer. Di dalam, mereka di ikat agar tidak bisa kabur.
Para korban yang selamat dimintai keterangan satu persatu.
Sebagian dari tentara juga di perintah menggali mayat-mayat yang di kubur.
Kapten tentara angkatan laut yang tadi diperintah memeriksa balon udara, datang melaporkan pemeriksaannya pada Laksamana Arinto. Ternyata memang benar ada balon udara di dekat bangunan. Tapi balon udara itu sangat canggih, belum ditemukan ditahun ini. Modelnya berbeda jauh dengan balon udara yang pernah di gunakan di era ini. Laksamana Arinto mengerti, kemudian dia meminta kapten membantu tentara lain memberi makanan pada para korban yang selamat.
Laksamana Arinto diam-diam membawa Pandu ke ruangannya. Dia ingin bicara empat mata. "Pandu, hari ini saya mau bertanya, bukan sebagai tentara, tapi sebagai pamanmu. Dari mana kamu dan istrimu dapat balon udara sehebat itu? Kami belum pernah melihatnya dimanapun," tanya Laksamana Arinto.
"Sistem sialan, kenapa dia memberi kami balon udara yang canggih. Sudah tau latar dunia ini baru tahun 1983. Mungkin aku juga yang salah, karena memberikan perintah dengan tidak lengkap," batin Titan.
"Aku membuatnya sendiri, Paman. Awalnya aku membuat itu untuk istriku, ternyata salah satu warga desa melapor bahwa suaminya hilang. Rupanya, menjadi korban penipuan perdagangan organ tubuh. Istriku adalah kepala desa di desa kami. Jadi kami harus membantu. Kami takut terlambat menyelamatkan nyawa mereka. Jadi aku dan istriku terbang dengan cepat memakai balon udara itu," jawab Titan, berbohong.
"Penemuan kamu sangat hebat. Gambarnya sangat menarik. Sistem pembakarnya juga canggih. Apa bisa kamu membuat balon udara secanggih itu untuk negara? Terutama untuk tentara seperti kami, agar memudahkan tugas kami di kemiliteran," pinta Laksamana Arinto.
"Tidak gampang membuatnya, Paman. Lagi pula, sekali tembak saja balon udara itu pasti jatuh. Kami hanya kebetulan saja bisa sampai dengan cepat di pulau Monyet," jawab Titan, membuat berbagai alasan, untuk menolak permintaan paman Pandu.
Laksamana Arinto terdiam, ada benarnya juga yang dikatakan Pandu, pikirnya. Terlebih, balon udara itu terbuat dari kertas minyak. "Aku benar kan, Paman?" Titan melihat, Paman Pandu sepertinya percaya pada alasannya.
"Kamu benar juga, secanggih apapun balon udara, sekali tembak, pasti langsung jatuh. Ya sudah, kamu boleh keluar. Kami akan bekerja sama dengan TNI Angkatan Darat juga polisi untuk mengusut kasus ini sampai tuntas, apalagi salah satu korban adalah putri tunggal Wakil presiden.
Titan tersenyum senang, dia menang. Dia pun keluar dari ruangan Laksamana Arinto dengan senyuman yang lebar. Dia mendatangi Lilia di ruang makan kapal. Dia memberitahu Lilia mengenai pembicaraannya tadi dengan Laksamana Arinto. Lilia ikut senang mendengarnya, mereka berdua bisa terhindar dari pertanyaan-pertanyaan mencengkam para tentara.
Setelah semua urusan beres di pulau Monyet, kapal pun berlayar kembali, menuju pusat kota Arunika. Balon udara mereka tinggal, mayat-mayat yang mereka gali, dibawa untuk di otopsi lebih lanjut.