Niatnya mulia, ingin membantu perekonomian keluarga, meringankan beban suami dalam mencari nafkah.
Namum, Sriana tak menyangka jika kepergiannya mengais rezeki hingga ke negeri orang, meninggalkan kedua anaknya yang masih kecil – bukan berbuah manis, melainkan dimanfaatkan sedemikian rupa.
Sriana merasa diperlakukan bak Sapi perah. Uang dikuras, fisik tak diperhatikan, keluhnya diabaikan, protesnya dicap sebagai istri pembangkang, diamnya dianggap wanita kekanakan.
Sampai suatu ketika, Sriana mendapati hal menyakitkan layaknya ditikam belati tepat di ulu hati, ternyata ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Isyt : 26
"Kamu kenapa, Ka?” Sriana sedang menemani nenek memotong daun-daun busuk pada tanaman hias kesayangannya.
Eka yang berdiri di tembok, siku bertumpu di atas pagar beton, pipi disanggah tangan itu mencebik. “Paijo njaluk kawen, Mbak.”
“Hah?!” Mulut Sriana menganga, sampai nenek terkejut mendongak melihat dia.
“Ndak apa-apa, Bo. Kami lagi bergosip kalau di pasar ada penjual ikan tampan, badan kekar,” canda Eka.
Bobo pun terkikik, melanjutkan lagi mengelus-elus daun lebar terdapat lubang lumayan besar-besar.
“Bukannya kalian sudah sering kawin di hotel?”
Seketika raut Eka keruh, sorot mata kesal sekaligus geli. “Aku ki masih perawan loh, mbak Sri.”
“Mosok?” Alis Sriana naik-turun.
“Suwer ketewer-tewer!” Jarinya membentuk huruf v. “Kami dihotel itu ndak anu, anu. Cuma sepil dan cicip sedikit-sedikit saja. Ibarat kata orang mau nikah, gladi bersih dulu.”
Sriana membekap mulut, tawanya nyaris meledak. “Bocah eddian. Lah dia minta kawin apa nikah?”
“Nikah biar bisa kawin.” Eka kembali murung.
“Kan bagus itu, berarti Paijo betulan cinta sama kamu. Lagian kalau dirimu mau nikah sama dia, lalu menetap di sini – bisa cari kerja lain selain pembantu rumah tangga, Ka. Semisal jaga toko Indonesia, dan lainnya. Upahnya bisa dua sampai tiga kali lipat daripada gaji kayak kita gini.”
Eka langsung menanggapi. “Tak seindah bayangan, Mbak. Kehidupan disini itu mahal. Sementara dia kerjanya belum bisa dibilang mapan, ekonomi pun masih merangkak, ndak bisa dijadikan pegangan. Kalau cuma untuk senang-senang ya oke lah, tapi lebih dari itu kudu pikir seribu kali.”
Sriana pun paham, kehidupan disini cukup menguras kantong. “Lah terus njuk piye?”
“Ya tak tantang dia, kalau mau beneran nikah. Cari kerjaan lain, mapankan dulu ekonomi, seenggaknya punya lah investasi, entah itu disini atau Indonesia. Rencanaku ini ya ….”
Mata Sriana berkaca-kaca, setiap kata yang keluar dari mulut Eka bagaikan angin surga untuk keberlangsungan masa depannya. “Kok kamu baik banget sih, Ka.”
“Ya karena mbak Sri juga ndak kalah baik, tulus. Sikapku iku tergantung bagaimana diperlakukan.” Dia tersenyum. “Semoga saja rencanaku, bukan cuma angan tapi bisa jadi kenyataan ya, Mbak.”
“Aamiin,” bersama-sama mereka mengaminkan.
Eka melambaikan tangan ke nenek, dia mau pergi ke pasar. Kegiatan rutinnya setelah kedua majikan pergi kerja, anak sekolah.
Namun, sekarang Eka sendirian dirumah, majikannya sedang liburan ke luar negeri.
***
“Bude Wulan, Bude!”
Yang dipanggil pun keluar dari kamar mandi. Wulan terbelalak melihat Ambar menggenggam piala kecil.
“Aku juara dua menggambar dan mewarnai, Bude.” Ia melompat-lompat, memamerkan piala serta bingkisan dibungkus kertas kado.
“Alhamdulillah, Nduk.” Wulan langsung memeluk gadis kecil mengenakan rok merah terdapat coretan tinta, kemeja bagian kerah kuning kehitaman, kancingnya dijahit benang beda warna. Rambut diikat satu rapi, dia yang menguncirnya sewaktu Ambar sarapan disini.
“Bude tolong fotoin ya, kasih lihat ke Bunda.” Sebenarnya ingin sekali memberi tahu langsung, tapi sekarang sudah siang. Ibunya tidak bisa dihubungi secara sembunyi-sembunyi.
Wulan langsung mengiyakan. “Lah ... mas Tian mana, Nduk?”
“Belum pulang, katanya lagi ada piket bersihin tempat habis dipakai acara sekolah.”
“Terus kamu pulang sama siapa? Apa jalan kaki? Paklek mu mana?” Wulan baru sadar kalau Ambar seorang diri.
Ambar menggeleng, dia berdiri tengah bergaya seraya memeluk piala dan bingkisannya. Tersenyum manis sekali. “Dibonceng Paman … ndak tahu namanya, tapi dia kenal bu guru Hasna.”
Kening Wulan mengernyit, mencoba menebak sosok baik hati. Dia sekarang sudah punya akun media sosial, langsung membuka lama pertemanan, mengklik satu nama, meminta Ambar mendekat. “Apa ini orangnya?”
“Iya, Bude. Tadi aku juga dibelikan es teh ada asem-asemnya sama sosis, bakso bakar. Udah habis tak makan di jalan.”
“Ini namanya paman Zahid Bagas, dia sahabatnya paklek mu, mas nya bu guru Hasna,” terangnya.
Ambar cuma mengangguk saja, dia pun senang melihat foto-foto yang baru saja dibidik sang tante.
“Aku pulang ya, Bude.”
“Ndak nunggu mas, Tian?” ada nada khawatir.
“Nggak, soalnya tadi kakek lihat aku dibonceng paman Zahid, nanti dia ngadu lagi ke lainnya.” Ambar memberikan pialanya ke Wulan. “Ini tak titip disini saja ya, Bude. Kalau hadiahnya aku bawa pulang, nanti mau tak buka kalau mas Tian sudah pulang.”
“Kamu ndak makan dulu, Nduk?” Wulan meletakkan piala Ambar di dalam kamarnya, untuk jaga-jaga seandainya ada yang datang bertamu.
“Aku masih kenyang.” Dia pun menyalami tangan Wulan, menggendong tas selempang, dan memeluk hadiah menang lomba.
Ambar melangkah riang, dia bernyanyi dengan lirik benar tapi nada asal-asalan. Bibirnya terus merekah memamerkan senyum bangga, ini kali pertama dirinya mengikuti lomba, dan mendapatkan juara meskipun bukan nomor wahid, tapi dia benar-benar bahagia.
Saat sampai di halaman rumahnya, senyum cantiknya pun sirna, mulut terkatup, tergantikan raut takut.
Di teras rumah berlantai semen, ada Eli dan neneknya, lalu sang ayah serta tante Dwita, tak ketinggalan nek Wiyah.
Satu persatu orang yang sedang menunggu Ambar masuk ke dalam rumah, kecuali Agung.
“Masuk kamu!” tak ada sorot sayang, nada lembut, dia perlakukan darah dagingnya seperti orang lain.
Takut-takut Ambar melangkah, ingin dirinya berlari kembali ke rumah bude Wulan, tapi hal tersebut akan menimbulkan masalah lain lagi.
Fisiknya memang masih kecil, tapi cara berpikirnya jauh di atas anak sebayanya. Kerasnya kehidupan yang dialami, membuat Ambar lebih cepat dewasa, pemikir, dan berusaha selalu waspada.
Saat pintu rumah sudah ditutup, Ambar menunduk, memeluk kuat bukti kerja kerasnya hingga meraih juara.
“Berikan hadiah itu ke Eli, Ambar!” titah Wiyah tanpa perasaan, dia duduk di sofa empuk. Perabotan baru dibelinya setengah tahun lalu, jelas menggunakan uang sang menantu.
Ambar melirik anak perempuan seumuran dengannya, satu kelas juga. Kemudian menatap sang nenek. “Tapi ini punyaku, aku menang_”
“Jangan membantah!”
Tubuh kurus itu berjengit, dia terkejut bentakan ayahnya. Buliran bening terjun sudah, tangannya bergetar mengulurkan kado yang dia sendiri belum tahu apa isinya.
Eli, gadis kecil berkuncir dua, mengenakan pakaian rapi, warna cerah tak pudar seperti milik Ambar – merebut paksa bingkisan yang masih dipertahankan pemiliknya.
“Harusnya kamu itu mengalah, biar aku jadi juara dua!” dia tidak terima dapat peringkat 3, apalagi dikalahkan oleh Ambar Ratih.
Ambar diam, menggigit kuat bibirnya. Hatinya patah, dia yang berusaha kenapa harus orang lain menikmati hasilnya.
“Mana pialanya?” tagih Eli, dia jelas tahu apa saja hadiah bagi para pemenang.
“Masih tak titipkan ke bu guru Hasna,” dustanya, entah mengapa nama itu terlintas begitu saja.
“Besok ambil! Terus kasihkan ke Bapak!”
Ambar tidak terima, dia pandangi berani sosok yang seharusnya menjadi pelindung, malah menorehkan luka dalam hatinya. “Itu punyaku, Pak! Setiap hari aku belajar mewarnai, menggambar biar menang, kenapa harus dikasihkan ke dia?!”
“Sudah berani melawan ya, kamu! Mau jadi anak durhaka, iya?!” mantra sakti kembali bergema demi membungkam protes, membuat darah dagingnya tunduk.
“Ndak apa-apa jadi anak durhaka, asal aku bisa mempertahankan kepunyaanku!”
PLAK!
.
.
Bersambung.
semoga berhasil ambil Semua yg berharga,🤲🤲🤲
ada paparazi
lek Dimas?
naaaaaa kaaannnn
sudah lama hubungan mereka
🤬🤬🤬🤬🤬
part Iki misuh troooosss kak cublikkkkk 😆😆😆
astagfirullah astagfirullah astagfirullah astagfirullah
haduuuwww seketika ngakak
🤣🤣🤣🤣maaf zaaa✌️✌️✌️
Treek Treeekkkk
sekarang mulai menata dr awal
pelan tpi pasti keluar dari jeratan laki2 gak guna!
sampai mau nikah dgn laki2 mokondo?
apa ada campur tangan Ita mbokne Tri?
akan ada kegemparan apa?🤔
bener kui Sri 👍👍👍
langsung muntah ke mukamu gooooonggggg
ngarang kentang 🥔
opo mau lewat hape
emange Trisundel, muaaaaaaakkkkk 🤢🤢🤢
tensi meroket huasy* Kowe guuunggg!!!!
astagfirullah astagfirullah astagfirullah
yg ngitung gaji siapa!