Bella, seorang gadis ceria berusia 21 tahun, diam-diam menyukai Alex, pria berusia 33 tahun yang sukses menjalankan perusahaan keluarganya. Perbedaan usia dan status sosial membuat Bella menyadari bahwa perasaannya mungkin hanya akan bertepuk sebelah tangan. Namun, ia tak bisa mengingkari debaran jantungnya setiap kali melihat Alex.
Di sisi lain, Grace, seorang wanita anggun dan cerdas, telah mencintai Alex sejak lama. Keluarga mereka pun menjodohkan keduanya, berharap Alex akhirnya menerima Grace sebagai pendamping hidupnya. Namun, hati Alex tetap dingin. Ia menolak perjodohan itu karena tidak memiliki perasaan sedikit pun terhadap Grace.
Ketika Alex mulai menyadari perhatian tulus Bella, ia dihadapkan pada dilema besar. Bisakah ia menerima cinta dari seorang gadis yang jauh lebih muda darinya? Ataukah ia harus tetap berpegang pada logika dan mengikuti kehendak keluarganya? Sementara itu, Grace yang tak ingin kehilangan Alex berusaha sekuat tenaga untuk memiliki Alex.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Meragukan Perjodohan
Malam itu, suasana di rumah keluarga Benjamin terasa tenang. Di ruang keluarga, Tuan Ben dan Nyonya Victoria duduk di sofa, menikmati teh hangat. Televisi menyala, tetapi perhatian mereka tidak tertuju ke layar. Ada sesuatu yang mengganjal dalam pikiran mereka, sesuatu yang harus dibicarakan.
Ny Victoria meletakkan cangkir tehnya di atas meja. Ia menoleh ke suaminya, ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, "Beberapa hari lalu, aku bertemu dengan teman lamaku di butik. Kau ingat Melissa? Dia datang bersama putrinya."
Tuan Ben mengangkat alisnya. Melissa? Sudah lama sekali aku tak mendengar namanya. Bagaimana kabarnya?"
"Baik. Dan putrinya, Laura... anak itu mengingatkanku pada sosok yang tenang dan dewasa. Cara bicaranya sopan, pembawaannya anggun. Berbeda sekali dengan Grace."
Tuan Ben menghela napas panjang. Ia bersandar ke sofa dan menatap istrinya dengan sorot mata berpikir. "Aku juga mulai ragu dengan perjodohan ini," katanya akhirnya. "Aku tahu Grace adalah anak baik, tapi dia terlalu manja. Dia tidak serius dengan bisnisnya sendiri, hanya ingin bersenang-senang. Sementara Alex... dia butuh seseorang yang bisa mengimbanginya, bukan justru membuatnya semakin jengah."
Ny Victoria mengangguk pelan. "Itulah yang kupikirkan. Selama ini aku memang mencoba melihat sisi baik Grace, tapi kenyataannya, dia belum menunjukkan kedewasaan yang cukup. Sementara Laura... dari caranya berbicara saja, aku bisa merasakan bahwa dia jauh lebih stabil. Entah kenapa, aku merasa dia lebih cocok untuk Alex."
Tuan Ben diam sejenak, seolah mempertimbangkan sesuatu. "Tapi kita tak bisa langsung membatalkan perjodohan ini. Keluarga Grace masih berharap."
Ny Victoria menghela napas. "Aku tahu. Lagipula, aku tak ingin membahas ini dengan Alex dulu. Aku ingin melihat bagaimana perkembangan hubungan mereka. Kalau Grace bisa berubah, mungkin perjodohan ini masih ada harapan. Tapi kalau tidak..."
Tuan Ben melanjutkan kalimat itu dengan tenang, "Kita harus membiarkan Alex memilih jalannya sendiri."
Hening sejenak. Keduanya saling bertukar pandang, memahami bahwa keputusan ini tidak bisa diambil terburu-buru. Namun, satu hal kini menjadi jelas, untuk pertama kalinya, mereka mulai meragukan apakah Grace benar-benar pasangan yang tepat untuk Alex.
Di ruangan yang sunyi itu, keputusan besar sedang dipertimbangkan, tetapi tidak ada yang tahu bagaimana akhirnya. Dan Alex? Dia masih belum tahu bahwa arah hidupnya perlahan mulai bergeser...
_____
Jam di dinding menunjukkan pukul sembilan malam ketika Alex membuka pintu rumahnya. Suasana di dalam rumah masih terang, menandakan bahwa orang tuanya belum tidur. Saat ia melangkah masuk, pandangannya langsung tertuju ke ruang keluarga.
Tuan Ben dan Ny Victoria masih duduk di sofa, tampak asyik mengobrol dengan ekspresi serius. Namun, begitu melihat Alex, keduanya langsung menghentikan percakapan mereka.
"Selamat malam, Mom, Dad" sapa Alex sambil meletakkan kunci mobilnya di meja.
Ny Victoria tersenyum lembut. "Kamu baru pulang? Capek?"
Alex mengangguk kecil. Ia berjalan mendekat dan duduk di kursi berseberangan dengan orang tuanya. "Hari ini cukup melelahkan. Banyak urusan di kantor. Apa yang sedang kalian bicarakan?" tanyanya santai.
Tuan Ben dan istrinya saling berpandangan sekilas. Sejenak, ada jeda dalam percakapan mereka, seolah mereka sedang menimbang sesuatu.
Nyonya Victoria akhirnya tersenyum dan berkata, "Ah, hanya membicarakan beberapa hal. Kamu sudah makan?"
Alex mengernyit. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang disembunyikan orang tuanya, tetapi ia tidak terlalu ingin memaksakan diri untuk tahu. Ia menghela napas pelan. "Belum, tapi aku tidak terlalu lapar. Aku lebih butuh istirahat."
Tuan Ben mengangguk. "Kalau begitu, pergilah istirahat. Jangan terlalu memaksakan diri."
Alex bangkit dari duduknya, tetapi sebelum pergi, ia melirik ibunya yang masih tampak berpikir. Sesuatu sedang terjadi, ia bisa merasakannya. Namun, ia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh malam ini.
"Baiklah, kalau begitu... selamat malam," ucapnya sambil melangkah menuju kamarnya.
Saat Alex menghilang di balik tangga, Nyonya Victoria kembali menoleh ke suaminya. "Dia mulai curiga."
Tuan Ben hanya menghela napas panjang. "Cepat atau lambat, dia pasti akan tahu."
Di dalam kamar yang remang-remang, Alex duduk di tepi tempat tidurnya. Dasi yang masih melingkar di lehernya terasa sedikit mengganggu, jadi ia melepasnya perlahan. Tangannya meraih ponsel di atas nakas, lalu membuka layar.
Jemarinya dengan cepat menggulir daftar kontak, hingga akhirnya berhenti pada satu nama: Bella.
Alex menatap nama itu cukup lama. Entah kenapa, ada sesuatu dalam dirinya yang ingin mengirim pesan. Hari ini terasa melelahkan, dan tanpa sadar, ia ingin berbicara dengan seseorang yang bisa membuatnya merasa lebih ringan. Bella selalu terlihat tenang, suaranya lembut, dan entah bagaimana... ada sesuatu darinya yang terasa berbeda.
Tapi bagaimana memulai percakapan?
Apakah sekadar menanyakan kabar? Terlalu biasa. Atau bertanya soal Edward? Tidak, itu tidak penting sekarang.
Jemarinya mulai mengetik:
Alex: "Hai, Bella."
Lalu ia terdiam. Tatapannya tetap terpaku pada layar, ragu-ragu. Apa Bella akan merasa aneh menerima pesan darinya? Apa gadis itu akan membalas? Atau justru mengabaikannya?
Ia menghela napas, lalu menghapus pesannya sebelum sempat dikirim.
Alex menyandarkan punggungnya ke headboard tempat tidur, menatap langit-langit kamar. Sepertinya malam ini ia terlalu lelah untuk berpikir.
Ponsel masih ada di tangannya, tetapi ia tak lagi membuka kontak Bella. Mungkin lain kali saja... ketika ia sudah tahu harus berkata apa.
Bagaimana...? apakah keputusan Alex sudah bulat? Tunggu kelanjutannya ya readers...🥰