"Bagaimana mungkin Yudha, kau memilih Tari daripada aku istri yang sudah bersamamu lebih dulu, kau bilang kau mencintaiku" Riana menatap Yudha dengan mata yang telah bergelinang air mata.
"Jangan membuatku tertawa Riana, Kalau aku bisa, aku ingin mencabut semua ingatan tentangmu di hidupku" Yudha berbalik dan meninggalkan Riana yang terdiam di tempatnya menatap punggung pria itu yang mulai menghilang dari pandangan nya.
Apa yang telah terjadi hingga cinta yang di miliki Yudha untuk Riana menguap tidak berbekas?
Dan, sebenarnya apa yang sudah di perbuat oleh Riana?
Dan apa yang membuat persahabatan Tari dan Riana hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwiey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Guilty feeling
Yudha menghela napas panjang saat menutup pintu kamar ruang kerjanya. Namun, Rasa bersalah karena perdebatan yang dilakukannya dengan Tari tadi, menganggu pikirannya. Ia tahu, kata-katanya tadi pasti menyakiti Tari, tapi ia merasa tak mampu berkata lebih lembut dalam situasinya saat ini.
Ia berjalan menuju dapur. Di sana, ia membuka kulkas, mencari bahan-bahan sederhana. Perutnya sendiri tak terasa lapar, tapi Tari... Yudha yakin wanita itu belum sempat makan malam.
"Sup daging, kurasa dia akan suka," gumamnya pelan, mengambil beberapa bahan seperti daging, wortel, kentang, dan daun bawang. Ia mulai memotong bahan dengan cekatan.
Saat ia sedang merebus air, langkah kaki terdengar menuruni tangga. Yudha menoleh dan melihat ayahnya, David, muncul di dapur dengan raut wajah penasaran.
"Masih belum tidur, Yud?" tanya David sambil mengambil satu botol air dari kulkas yang di bukanya.
"Belum Yah, Aku lagi buatkan makan malam untuk Tari" Yudha tersenyum kecil menatap ayahnya, ia berusaha menjaga ekspresi nya.
"Kenapa nggak minta pembantu saja?," Tanya David tidak mengerti.
"Nggak perlu Yah, Lagian udah jam 10 malem kan. Pasti mereka udah pada istirahat, lagian aku masak buat Istriku juga, aku nggak keberatan"
David hanya mengangguk singkat, sudah paham benar dengan sifat putranya. Lalu ia duduk di meja dapur, memperhatikan Yudha yang masih sibuk dengan panci di atas kompor. Suara rebusan air bercampur aroma kaldu daging mengisi ruangan. Dengan tangan terlipat di atas meja, David akhirnya membuka percakapan.
"Proyek Surabaya masih bermasalah?" tanyanya, nada suaranya tegas.
Yudha menoleh sekilas, lalu lanjut mengaduk sup dengan sendok kayu di tangan nya. "Masih soal perizinan, Yah. Legal sudah turun langsung. Harusnya selesai dalam dua minggu."
David mengangguk pelan, meskipun Yudha tidak melihatnya. "Investor sudah mulai gelisah. Kau tahu kan, kita tidak bisa terlalu lama membuat mereka menunggu tanpa kabar yang pasti. Komunikasikan dengan pihak mereka segera mungkin."
Yudha menghela napas kecil. "Iya Yah, Kalau masih ada hambatan minggu depan, aku akan langsung turun sendiri."
David mengangguk singkat, ia percaya akan kemampuan Yudha. Tapi sebelum percakapan berlanjut, suara mobil terdengar berhenti di luar. Keduanya saling bertukar pandang sebelum suara langkah cepat terdengar mendekat.
Tak lama, pintu dapur terbuka, memperlihatkan Sely yang membawa beberapa kantong belanjaan. "Kalian belum tidur juga?" tanyanya sambil meletakkan belanjaannya di meja, memandang suami dan anaknya bergantian.
David bersandar di kursinya, menjawab lebih dulu. "Hanya membahas sedikit soal pekerjaan."
Sely mendengus kecil, lalu menatap Yudha yang masih berdiri di dekat kompor. "Masak sup malam-malam? Untuk siapa?"
"Untuk Tari," jawab Yudha singkat, kembali fokus pada panci di depannya.
Sely melipat tangan di dadanya, menggeleng pelan. "Minta pembantu dong yang masakin Yud, masak kamu yang masak sendiri"
Yudha menghela napas lelah, hanya fokus mengaduk sup menggunakan sendok sayur di tangannya, tidak menghiraukan ataupun menjawab perkataan ibunya itu.
David menyela. "Sely biarkan saja, kan dia masak untuk istrinya sendiri juga."
Sely mendesah panjang, tapi akhirnya melangkah mundur. "Baiklah. Lakukan sesukamu."
Tanpa menunggu jawaban, Sely berbalik dan keluar dari dapur. Langkah nya terdengar menaiki tangga. Keheningan kembali menyelimuti ruangan, hanya diiringi suara rebusan sup yang mulai mendidih.
David memandang Yudha, lalu berkata pelan, "Jangan terlalu keras pada ibumu, kau tau kan dia mampu melakukan apapun hanya untukmu."
Yudha tidak menjawab, hanya fokus pada gerakan tangannya. Setelah mematikan kompor, ia menuangkan sup ke dalam mangkuk, menatapnya sejenak. "Aku akan membawakan ini ke Tari," katanya akhirnya sebelum berjalan keluar, meninggalkan ayahnya sendirian di dapur.
-----
Yudha membuka perlahan pintu kamarnya, lalu menutup pintu kembali. Ia berjalan menuju meja yang ada di sudut ruangan, menaruh mangkok berisi sup itu dengan perlahan.
Yudha menatap sekeliling, tidak menemukan Tari dimanapun. Lalu telinganya mendengar suara Tari dari kamar mandi, wanita itu terdengar sedang muntah.
Dahinya berkerut, ia segera berjalan mendekat, mengetuk pintu kamar mandi dengan hati-hati.
"Tari? Kau baik-baik saja?"
Tidak ada jawaban, hanya suara air mengalir yang samar-samar terdengar. Yudha mengetuk lagi, kali ini sedikit lebih keras. Pikirannya sudah di isi dengan berbagai macam hal buruk sekarang karenya ia sangat khawatir. "Tari, buka pintunya. Aku akan masuk kalau kau nggak menjawab juga."
Beberapa detik berlalu sebelum suara Tari terdengar, lemah dan serak. "Aku... aku nggak apa-apa yudha. Tunggu sebentar."
Namun, ia tidak mengindahkan ucapan Tari yang memintanya menunggu sebentar, Yudha langsung memutar gagang pintu. Ternyata tidak terkunci. Ia mendorong pintu perlahan dan menemukan Tari berlutut di depan kloset, tubuhnya gemetar. Wajahnya pucat, rambut pendeknya basah oleh keringat.
"Tari!" Yudha langsung menghampiri, berlutut di sampingnya. "Apa yang terjadi? Kau sakit?"
Tari tersenyum kecil, wajahnya terlihat penuh bulir keringat di pelipisnya. "Mungkin aku hanya masuk angin. Nggak apa-apa."
"Kayaknya bukan masuk angin biasa. Kau muntah, dan wajahmu terlihat sangat pucat. Kita harus ke dokter." Yudha mengusap keringat di pelipis Tari dengan jarinya.
Tari menggeleng pelan. "Aku cuma kecapean Yud. Aku akan baik-baik saja setelah istirahat dan tidur."
Yudha tentu tidak percaya begitu saja. Ia meraih handuk kecil yang tergantung di dekat wastafel, membasahinya dengan air dingin, lalu menempelkannya lembut ke dahi Tari.
"Kau nggak perlu pura-pura baik-baik saja didepan ku. Aku nggak suka melihatmu seperti ini," Suaranya terdengar lebih lembut.
Tari menatap Yudha dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Maaf Yud, Aku tidak ingin merepotkanmu lagi," katanya lirih.
Yudha terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Tari, aku nggak ngerasa di repotkan sama sekali. Mau bagaimanapun juga aku ini tetap suamimu. Jadi, aku mohon tolong berhenti membuat batas denganku."
Tari tidak menjawab. Ia hanya menunduk, menahan air mata yang hampir tumpah. Yudha membantu Tari berdiri, menuntunnya pelan ke tempat tidur.
"Berbaringlah. Aku akan mengambilkan air putih," kata Yudha sambil menutup selimut di atas tubuh Tari.
Saat hendak keluar kamar, Tari memanggilnya dengan suara pelan. "Yudha..."
Yudha berhenti dan menoleh.
"Terima kasih,"
Yudha tersenyum dan mengangguk kecil.
Tak lama Yudha kembali ke kamar dengan membawa teko air dan sebuah gelas di tangannya. Ia berjalan pelan mendekati Tari yang terbaring di tempat tidur.
"Tari, aku bawakan air dan tadi aku memasak sup daging untukmu, aku yakin kau pasti belum makan malam," Ia menaruh teko dan gelas di meja kecil di samping tempat tidur, lalu duduk di tepi ranjang.
Tari membuka matanya perlahan. "Yudha, aku nggak yakin bisa makan sekarang. Aku masih merasa mual."
Yudha tersenyum tipis, "Kau nggak perlu makan banyak, hanya beberapa suap saja. Untuk mengisi tenagamu juga, aku mohon ya." Ia berjalan mengambil sup yang ia taruh sebelum nya di atas meja tak jauh darinya. Lalu kembali duduk di tepi kasur.
Yudha mengambil sendok, meniup perlahan sup yang mengepul untuk memastikan tidak terlalu panas, lalu menyodorkan sendok itu ke depan Tari.
"Yud, aku bisa sendiri," kata Tari, mencoba mengangkat tangannya, tapi tangan itu terlihat gemetar.
"Diam saja. Biar aku yang suapi," balas Yudha, Suara itu tegas tapi terdengar seperti symphony di telinga nya. "Nggak ada perdebatan kali ini."
Tari akhirnya menyerah, membiarkan Yudha menyuapinya. Ia membuka mulut perlahan, menerima satu sendok sup hangat yang penuh rasa dan perhatian itu. Ia menelan pelan-pelan, mencoba melawan rasa mual yang masih ada di tenggorokan nya.
"Rasanya enak," gumam Tari dengan suara lirih nya.
"Ya iyalah, siapa dulu yang masak, suamimu ini punya banyak keahlian" sahut Yudha, mencoba bercanda untuk mencairkan suasana. "Lalu makan sedikit lagi ya?"
Tari tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan. Ia membuka mulut untuk suapan berikutnya. Meskipun perlahan dan penuh usaha, setidaknya ia berhasil menghabiskan lebih dari setengah mangkok sup itu.
Yudha menyeka sisa sup di sudut bibir Tari dengan lembut menggunakan tisu. "Bagus. Sekarang minum air putihnya, setelah itu tidur. Kau perlu banyak istirahat"
Tari memandang Yudha dengan mata sayunya. "Yudha maafkan aku soal sebelumnya, aku harap kau mengerti. Lalu aku nggak ingin terus berjauhan dan terus bertengkar denganmu."
Sontak mata Yudha membelalak, apa Tari tau apa arti dari ucapannya. Secara tidak langsung wanita itu mengakui bahwa ia memiliki perasaan yang sama dengannya.
'Ya tuhan, aku ingin mengatakan bahwa aku mencintainya, tapi jika mendengar nya, Tari akan terus berlari menjauh darinya.