Berawal dari hujan yang hadir membalut kisah cinta mereka. Tiga orang remaja yang mulai mencari apa arti cinta bagi mereka. Takdir terus mempertemukan mereka. Dari pertemuan tidak disengaja sampai menempati sekolah yang sama.
Aletta diam-diam menyimpan rasa cintanya untuk Alfariel. Namun, tanpa Aletta sadari Abyan telah mengutarakan perasaannya lewat hal-hal konyol yang tidak pernah Aletta pahami. Di sisi lain, Alfariel sama sekali tidak peduli dengan apa itu cinta. Alfariel dan Abyan selalu mengisi masa putih abu-abu Aletta dengan canda maupun tangis. Kebahagiaan Aletta terasa lengkap dengan kehadiran keduanya. Sayangnya, kisah mereka harus berakhir saat senja tiba.
#A Series
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Allamanda Cathartica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 32: Kejadian Tak Terduga
Lapangan SMA Global dipenuhi oleh siswa-siswi yang berbaris rapi dengan seragam putih abu-abu mereka. Upacara bendera pagi itu berlangsung seperti biasanya, ditemani oleh sinar matahari pagi yang hangat, seakan menyemangati seluruh peserta upacara. Namun, suasana terasa berbeda, wajah-wajah para siswa terlihat tegang. Mereka tahu bahwa pembina upacara hari ini adalah Bu Sharen. Sosok yang dikenal dengan pidato-pidatonya yang penuh pesan moral dan tegas.
Setelah prosesi pengibaran bendera selesai dengan lancar, perhatian para siswa langsung tertuju ke podium, tempat Bu Sharen bersiap memberikan amanat.
"Untuk amanat, istirahat di tempat, grak!" suara lantang pemimpin upacara menggema di seluruh lapangan. Serentak, barisan siswa bergerak mengikuti aba-aba, menurunkan tangan mereka ke posisi istirahat tanpa mengurangi sikap hormat. Mata mereka tetap tertuju ke depan, menanti dengan penuh perhatian dan rasa ingin tahu terhadap apa yang akan disampaikan oleh Bu Sharen.
Di atas podium, Bu Sharen mengambil napas sejenak, menyapu pandangannya ke arah barisan siswa yang kini diam penuh konsentrasi. “Selamat pagi, anak-anak,” sapa Bu Sharen dengan nada tegas. “Hari ini, saya ingin membahas sebuah isu yang sangat penting. Beberapa hari terakhir, ada sebuah berita yang mencuat dan menjadi perhatian kita semua.”
Kalimat pembuka itu langsung memancing rasa penasaran. Para siswa mulai saling berbisik pelan, mencoba menebak apa yang akan dibahas oleh Bu Sharen. Bisikan-bisikan kecil itu segera berhenti ketika Bu Sharen kembali melanjutkan, matanya menatap tajam ke arah barisan siswa, membuat suasana menjadi semakin hening.
“Tenang,” ujar Bu Sharen. Tatapan matanya menyapu seluruh lapangan, seakan memastikan bahwa setiap telinga mendengarkan dengan saksama. “Berita yang saya maksud adalah kasus perundungan atau yang lebih dikenal sebagai bullying. Sangat disayangkan sekali bahwa bullying terjadi di lingkungan sekolah kita.”
Sekejap, suasana lapangan berubah senyap. Hening yang menyelimuti membawa nuansa tegang, seolah kata-kata Bu Sharen menusuk langsung ke hati setiap pendengarnya.
“Perilaku seperti ini sama sekali tidak dapat ditoleransi,” lanjutnya dengan nada tegas, memastikan pesan ini benar-benar melekat. “Bullying dalam bentuk apa pun baik itu fisik, verbal, atau bahkan melalui media sosial adalah tindakan yang sangat tercela. Sering kali, perbuatan ini berasal dari rasa iri, sikap arogan, atau sekadar ketidaksukaan terhadap orang lain. Namun, apa pun alasannya, itu tidak dapat dibenarkan. Kalian harus selalu ingat, setiap siswa di sekolah ini memiliki hak untuk merasa aman, dihargai, dan dihormati.”
Di tengah barisan, Alfariel melirik ke arah Zidan lalu berbisik pelan, “Wah, kayaknya bener kata Agisha. Beritanya Mita viral banget.”
Zidan mengangguk kecil sambil tetap memperhatikan podium. “Iya. Gue penasaran banget sama reaksinya sekarang. Kira-kira dia gimana, ya?”
Sementara itu, Bu Sharen melanjutkan amanatnya. “Jika kalian mengetahui atau bahkan menjadi korban bullying,” ujarnya kali ini dengan nada yang lebih lembut. “Saya meminta kalian untuk segera melaporkan ke bagian Bimbingan Konseling. Jangan pernah merasa takut, karena kami di sini akan melindungi dan membantu kalian.”
Setelah amanat selesai, suasana lapangan perlahan berubah menjadi lebih tenang. Upacara dilanjutkan dengan sesi pembacaan doa. Suara pembaca doa yang khidmat memimpin, mengiringi semua siswa yang menundukkan kepala dalam keheningan.
Namun, ketenangan tersebut mendadak terusik. Dari barisan belakang, terdengar suara kecil yang mulai membesar. Beberapa siswa mulai saling berbisik, dan perhatian mereka tertuju pada seseorang di barisan depan.
“Eh, lo lihat Abyan?” bisik Gibran ke Fariz. “Kayaknya dia nggak bener, deh.”
Abyan yang berdiri di barisan depan terlihat goyah. Tangan kirinya memegang dahi. Wajahnya juga mulai pucat.
“Abyan, lo nggak apa-apa?” tanya Fariz pelan, tetapi Abyan tidak sempat menjawab. Seketika darah segar mengalir dari hidungnya.
“Mimisan!” seru salah satu siswa di dekatnya.
“Eh, tolong panggilin anak PMR!” ujar Fariz panik, matanya mencari-cari seseorang yang bisa membantu.
Aletta, anggota PMR yang kebetulan bertugas di barisan belakang, segera bergerak cepat begitu mendengar teriakan itu. “Teman-teman PMR, sini bantu gue!” panggilnya lantang sambil berlari ke arah Abyan. Tidak butuh waktu lama, dua anggota PMR lainnya ikut berlari mendekat.
“Al, bantu gue papah dia ke pinggir lapangan,” pinta Aletta sambil meraih tangan Abyan. Alfariel langsung bergerak sigap, membantu menopang tubuh Abyan yang terlihat lemas. Seragam putih Abyan kini ternoda merah oleh darah yang terus mengalir dari hidungnya.
Di tengah kepanikan itu, Zidan menepuk bahu Abyan dengan lembut. “By, tahan napas pelan-pelan, jangan panik. Kita bawa lo ke UKS sekarang.”
Dengan langkah pelan, mereka memapah Abyan menuju ruang UKS, diiringi tatapan cemas siswa-siswi lain yang menyaksikan dari kejauhan. Setibanya di UKS, Abyan langsung dibaringkan di atas tempat tidur. Guru piket yang berjaga di ruangan itu segera mendekat dan memeriksa kondisinya.
“Tenang, darahnya memang lumayan banyak, tapi ini hanya mimisan. Kemungkinan besar karena kelelahan atau kurang tidur,” ujar guru tersebut dengan nada menenangkan, berusaha meredakan kekhawatiran mereka.
Aletta mengambil tisu dari meja UKS dan menyerahkannya kepada Abyan. “By, lo istirahat dulu di sini. Jangan banyak gerak dulu, ya. Gue bakal pastiin lo aman.”
Abyan mengangguk lemah, mencoba tersenyum tipis untuk menenangkan teman-temannya. Fariz, Zidan, dan Alfariel saling bertukar pandang, masih tampak khawatir.
“Beneran cuma capek doang, kan?” tanya Alfariel dengan nada tidak yakin.
Guru itu mengangguk sambil tersenyum kecil. “Kelihatannya begitu. Kalau nanti masih terasa lemah atau mimisannya berulang, kita bisa panggil orang tuanya untuk jemput. Untuk sekarang dia cuma perlu istirahat.”
“By, lo yakin nggak mau kita kabarin keluarga lo?” tanya Zidan.
“Gue nggak apa-apa, serius,” jawab Abyan pelan, suaranya sedikit serak. “Gue cuma kurang tidur tadi malam. Udah, jangan lebay, ya.”
Meski sedikit ragu, akhirnya mereka memutuskan untuk membiarkan Abyan beristirahat di UKS. Aletta dan guru piket tetap berjaga di sana. Sementara itu, Alfariel dan Zidan kembali menuju ke lapangan.
***
Setelah upacara selesai, Alfariel, Fariz, Gibran, dan Zidan bergegas menuju ruang UKS untuk memeriksa kondisi Abyan. Kekhawatiran masih tergambar jelas di wajah mereka.
“By, lo udah mendingan?” tanya Zidan, sambil meletakkan sebotol air mineral di meja kecil di samping tempat tidur.
Abyan tersenyum tipis, meskipun wajahnya masih terlihat sedikit pucat. “Lumayan. Gue tadi sempat tidur sebentar. Thanks, ya, udah nyempetin mampir.”
“Serius, lo yakin nggak perlu pulang?” tanya Fariz, raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tulus.
Abyan menggeleng pelan. “Enggak, gue nggak apa-apa. Gue bakal istirahat di sini aja sampai siang. Kalau nanti masih nggak enak badan, baru gue pulang. Tenang aja.”
Alfariel menepuk bahu Abyan dengan lembut. “Oke, tapi kalau ada apa-apa langsung kasih tahu, ya. Jangan dipaksain.”
“Ya, bener,” tambah Gibran sambil memeriksa tisu yang ada di tempat samping Abyan. “Kalau lo mimisan lagi, langsung minta guru di sini kabarin kita.”
“Siap, Bos,” jawab Abyan sambil tertawa kecil, berusaha membuat suasana lebih santai.
Setelah memastikan Abyan mulai membaik dan tidak membutuhkan bantuan mendesak, mereka memutuskan untuk kembali ke kelas. “Kita balik dulu, ya. Istirahat yang bener. Nanti pas jam istirahat kita ke sini lagi buat cek lo,” kata Zidan.
“Thanks, guys. Lo semua emang temen terbaik,” ujar Abyan dengan nada tulus sebelum mereka meninggalkan ruangan.
***
Ketika bel istirahat pertama berbunyi, Alfariel, Fariz, Gibran, dan Zidan segera melangkah menuju UKS untuk memastikan kondisi Abyan. Namun, di tengah perjalanan, ponsel Alfariel berbunyi, menandakan pesan masuk. Ternyata pesan itu dari Revan.
Revan: Al, kumpul di kantin sekarang. Gue ada info penting soal misi kita.
Alfariel membaca pesan itu dengan raut serius. Setelah berpikir sejenak, dia berhenti dan menoleh ke teman-temannya. "Kita harus bagi tugas, nih. Gue sama Zidan ke UKS dulu buat cek Abyan. Fariz sama Gibran ke kantin buat ketemu Kak Revan. Gimana, setuju?"
Zidan langsung mengangguk. "Setuju banget. Nggak enak ninggalin Abyan sendirian terlalu lama."
Fariz dan Gibran saling pandang lalu Fariz menjawab, "Oke, gue juga setuju. Kita langsung ke kantin sekarang, ya, Gib?"
Gibran mengangguk. "Siap. Kalian hati-hati juga, ya."
Dengan pembagian tugas yang jelas, mereka akhirnya berpencar. Alfariel dan Zidan melanjutkan langkah menuju UKS. Sesampainya di sana, mereka mendapati Abyan sudah duduk di tepi tempat tidur. Wajahnya terlihat lebih cerah dan dia bahkan menyapa mereka dengan senyum lebar.
"Al, Zi! Apa kabar kalian?" Abyan menyapa dengan nada bercanda, seolah dirinya yang baru sembuh adalah orang yang harus memastikan kondisi mereka.
"Kita yang harusnya nanya begitu ke lo, By!" sahut Zidan dengan nada menggoda, tetapi matanya memancarkan rasa lega.
Abyan tertawa kecil dan mengangkat bahu. "Gue udah jauh lebih baik, kok. Istirahat sebentar tadi langsung bikin gue segar lagi."
"Syukurlah kalau begitu," ujar Alfariel sambil tersenyum. "Tapi lo tetap istirahat, ya. Jangan memaksakan diri buat balik ke kelas kalau masih ngerasa capek."
"Tenang aja," balas Abyan santai. "Tapi jujur aja, gue udah mulai lapar, nih. Kalau nanti gue udah keluar dari sini, gue minta traktiran di kantin, ya!" godanya mencoba mencairkan suasana.
Percakapan mereka berlangsung santai hingga tiba-tiba Fariz dan Gibran masuk ke ruangan dengan raut wajah serius.
“Gimana? Apa yang Kak Revan bilang?” tanya Alfariel langsung menatap Fariz penuh rasa ingin tahu.
Fariz menarik napas sebelum menjawab, “Besok sepulang sekolah, kita diminta kumpul. Kak Revan mau langsung ke SMA Mentari buat mulai penyelidikan. Dia juga bilang Abyan boleh ganti tugas biar nggak perlu masuk ke ruang ekskul basket.”
Abyan langsung menggeleng tegas. “Nggak perlu! Gue tetep ikut. Gue udah siap, kok.”
“Tapi, By, lo baru aja sakit. Kita semua khawatir kondisi lo belum sepenuhnya pulih,” ujar Zidan dengan nada penuh perhatian.
“Tenang aja,” Abyan menjawab dengan santai, mencoba meyakinkan. “Gue udah baikan dan gue tahu batas kemampuan gue. Lagipula, gue nggak bakal nyusahin kalian. Percaya deh.”
Alfariel mengamati Abyan sejenak, mencoba membaca kesungguhan di matanya. “Kalau lo yakin, kita percaya. Tapi, janji sama kita buat bilang kalau lo ngerasa nggak enak badan lagi, ya?”
Abyan tersenyum kecil. “Deal. Gue nggak akan maksa diri gue.”
Percakapan itu akhirnya ditutup dengan perasaan lega meski masih ada sedikit kecemasan. Mereka sepakat untuk memberikan dukungan penuh pada Abyan sambil mempersiapkan diri untuk misi esok hari.
***
Bersambung ….