Sartika hidup dalam keterbatasan bersama suaminya, Malik, seorang pekerja serabutan dengan penghasilan tak menentu. Pertengkaran karena himpitan ekonomi dan lilitan utang mewarnai rumah tangga mereka.
Demi masa depan anaknya, Sartika tergoda oleh janji manis seorang teman lama untuk bekerja di luar negeri. Meski ditentang suami dan anaknya, ia tetap nekat pergi. Namun, sesampainya di kota asing, ia justru terjebak dalam dunia kelam yang penuh tipu daya dan nafsu.
Di tengah keputusasaan, Sartika bertemu dengan seorang pria asing yang akan mengubah hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PTP Episode 04
Sartika kembali ke rumah dengan langkah cepat.
Sesampainya di rumah, ia mendapati bahwa Malik tidak ada di tempat. Sepertinya, ia pergi. Momen itu adalah peluang yang ia tunggu, meskipun perasaan bersalah dan ragu tetap menggerogoti hatinya.
Dengan hati-hati, Sartika berjalan ke kamar mencari uang yang Malik simpan. Ia menelusuri ke semua bagian kamar dan mendapatkan uang tersebut di pojok lemari yang jarang dia lihat.
Dengan tangan gemetar, ia membuka tas tersebut dan mengambil sejumlah uang yang lebih dari cukup untuk membayar biaya keberangkatannya. Lima juta, jumlah yang terasa mustahil ia raih, kini ada di hadapannya.
Sekilas, perasaan bersalah menyeruak, tetapi cepat-cepat Sartika menepisnya. Ini adalah satu-satunya cara untuk mengubah nasibnya, untuk memberikan Dinda masa depan yang lebih baik. Ia harus melangkah, meskipun cara ini terasa kotor di dalam hatinya.
Dengan hati-hati, ia menghitung uang itu, memastikan jumlahnya cukup. Setelah itu, ia mulai mencari dokumen yang dibutuhkan: fotokopi KTP, ijazah, dan Kartu Keluarga. Segala persyaratan yang harus disiapkan, ia susun dengan rapi, tak ada yang tertinggal. Sekarang, waktu terus berjalan, dan ia tak bisa menunggu lagi.
Sartika menggenggam tas kecil yang sudah dipersiapkannya. Pakaian seadanya sudah ia masukkan, beberapa helai pakaian yang bisa ia bawa, dokumen penting, dan uang yang ia ambil. Sebuah langkah besar menuju perubahan, tetapi di dalam dadanya ada kekhawatiran yang dalam.
Ia berdiri sejenak di depan pintu, memikirkan Dinda yang sedang bermain di rumah tetangga, tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Air mata hampir saja menetes, namun ia menahan diri. Ia tidak bisa berpamitan. Kalau ia berpamitan, Malik pasti akan tahu dan mencegahnya. Ia tak bisa mengambil risiko itu.
Sartika menutup pintu dengan pelan, memastikan tidak ada suara yang mengganggu.
Melangkah keluar dari rumah, meninggalkan rumah yang telah menjadi tempat berjuangnya selama ini.
malam sudah hampir tiba, namun jalan yang ia tempuh terasa panjang dan penuh ketidakpastian. Namun, satu hal yang pasti: ia tidak bisa mundur sekarang.
Sartika melangkah ke depan, tekadnya bulat. Ia akan pergi, apapun yang terjadi. Untuk Dinda, untuk masa depan yang lebih baik.
Sartika melangkah cepat, menyusuri jalan yang tak terlalu ramai. Udara sore terasa dingin menyentuh kulitnya, tetapi hatinya lebih dingin lagi, penuh kecemasan dan keteguhan. Langkahnya cepat, seolah waktu semakin mengejar. Ia tahu, jika ia gagal, maka kesempatan ini akan hilang begitu saja.
Sesampainya di rumah Sri, Sartika melihat wanita itu sudah menunggu di dekat sebuah mobil besar, tampak sabar dan penuh harap. Di sekitar mobil, ada beberapa wanita lain yang tampak serupa, berpakain sederhana namun siap untuk berangkat. Mata mereka terlihat penuh harapan, namun ada sedikit kecemasan yang juga mencerminkan kegelisahan mereka.
Sri tersenyum lebar begitu melihat Sartika mendekat. Namun senyuman itu cepat berubah menjadi ekspresi penuh perhatian ketika ia melihat betapa tegangnya wajah Sartika.
"Masuklah, Tik," kata Sri dengan suara lembut namun tegas. "Simpan dulu uangmu, nanti kalau sampai di kota, kau bisa menyerahkannya ke agennya langsung. Cepatlah masuk, kita nggak punya banyak waktu."
Sartika menelan ludah, merasa matanya mulai panas menahan air mata. Ia hanya mengangguk dan tanpa berkata banyak, ia membuka pintu mobil dan masuk. Di dalam, ada tiga wanita lain yang sudah duduk dengan rapi, masing-masing dengan ekspresi yang sama—campuran antara harapan dan ketidakpastian.
Sartika duduk di sebelah salah satu dari mereka, merasakan kekakuan di tubuhnya. Suasana dalam mobil terasa mencekam, namun di balik ketegangan itu ada perasaan yang lebih besar, sebuah harapan yang terpendam di dalam hati. Ia menatap Sri yang duduk di depan, memimpin perjalanan ini.
"Terima kasih sudah memberiku kesempatan ini, Sri," kata Sartika pelan, berusaha mengontrol suara yang hampir pecah karena emosi.
Sri menoleh sebentar, memberikan senyuman yang penuh pengertian. "Kamu sudah memilih jalanmu, Tik. Jangan ragu, terus maju. Ini bukan hanya untukmu, tapi juga untuk Dinda."
Sartika menggigit bibir, menahan agar tak menangis. Ia tahu, ini adalah langkah yang tidak mudah, tetapi ini adalah satu-satunya cara untuk memperbaiki masa depan mereka.
Mobil mulai bergerak, meninggalkan jalan yang telah dilalui oleh Sartika dengan hati yang penuh dilema. Di luar sana, kota yang semakin gelap menyambut mereka dengan segala ketidakpastian. Namun, bagi Sartika, setiap detik yang berlalu membawa harapan baru—harapan untuk Dinda, untuk masa depan yang lebih baik.
Sartika menatap keluar jendela, berpikir tentang apa yang akan datang. Ia tahu jalan ini penuh risiko, tetapi ia tak bisa lagi mundur. Ia harus melangkah, tak peduli seberapa besar ketakutannya.
"Semuanya akan baik-baik saja," bisiknya dalam hati, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
Sartika menutup mata sejenak, dan berharap semua yang ia lakukan hari ini akan membuahkan hasil yang membawa kebahagiaan dan masa depan yang lebih cerah bagi Dinda.
******
Malik baru saja kembali ke rumah ketika ia mendengar suara tangisan Dinda yang tersedu-sedu. Suara itu membuat alisnya berkerut. Dengan langkah cepat, ia masuk ke dalam rumah, matanya segera mencari-cari keberadaan Sartika.
"Dinda, kenapa nangis?" tanyanya sambil berjongkok di depan anaknya yang duduk di lantai dengan mata sembab.
Dinda mengusap air matanya dengan punggung tangan yang kotor. "Ibu... Ibu nggak ada..." suaranya lirih, masih terisak.
Jantung Malik berdegup lebih cepat. "Maksudmu apa, Nak? Ibu ke mana?"
Dinda menggeleng, tampak bingung. "Ibu tadi di rumah, tapi terus hilang. Ibu nggak bilang apa-apa..."
Kening Malik berkerut semakin dalam. Perasaan tidak enak mulai merayap di dadanya. Ia bangkit, berjalan ke kamar, membuka lemari dengan kasar. Tangannya meraba tempat di mana ia menyimpan uang hasil rampokan bersama Tarman dan kawan-kawannya.
Saat ia melihat tas tempat menyimpan uang itu kosong, darahnya mendidih.
"Sial!"
Ia membanting pintu lemari, napasnya memburu. Sartika telah mencuri uangnya!
Malik berbalik, matanya liar menatap sekeliling rumah. Pakaian Sartika yang biasa tergantung sudah tidak ada. Beberapa barang miliknya juga menghilang.
Dengan geram, ia kembali ke ruang depan dan menatap Dinda yang masih terisak.
"Siapa yang datang ke rumah tadi? Ada yang lihat ibumu pergi?" suaranya tajam.
Dinda menggeleng, masih terisak. "Aku nggak tahu, Ayah..."
Malik mengusap wajahnya dengan kasar. Kemarahannya memuncak. Sartika pasti kabur dengan uang itu! Untuk pergi ke luar negeri.
Malik mengepalkan tangannya erat. Napasnya memburu, pikirannya berputar liar mencoba mencari jawaban. Ia tidak pernah menyangka Sartika akan seberani ini, mencuri uangnya dan kabur.
Ia menghambur keluar rumah, matanya menyapu jalanan yang mulai gelap. Tidak ada tanda-tanda Sartika. Tetangga-tetangga sibuk dengan urusan mereka sendiri, tidak ada yang tampak mencurigakan.
Malik berbalik ke dalam, matanya menatap Dinda yang masih terisak di lantai. Anak itu tidak mungkin tahu ke mana ibunya pergi.
"Sial!" geramnya, menendang kursi di dekatnya hingga terjatuh.
Ia harus menemukan Sartika. Ia tidak peduli ke mana perempuan itu berniat pergi. Tapi satu hal yang pasti, ia akan membawa Sartika kembali.
Ketika amarahnya masih membara, Malik meraih jaketnya dan bergegas keluar rumah. Ia tidak tahu pasti ke mana Sartika pergi, tapi ia yakin perempuan itu belum bisa pergi jauh.
Langkahnya cepat menyusuri gang-gang sempit di sekitar rumah mereka, matanya tajam mencari tanda-tanda keberadaan Sartika. Ia mencoba bertanya pada beberapa tetangga, namun tak satu pun yang melihat Sartika pergi.
Dengan napas memburu, ia berdiri di ujung gang, mengepalkan tangan. Sartika tidak mungkin melakukan ini sendirian. Pasti ada seseorang yang membantunya.
Matanya liar menyapu jalanan yang mulai gelap, pikirannya dipenuhi amarah dan kekecewaan. Dadanya naik-turun cepat, bukan hanya karena lelah mengejar, tapi juga karena sakit yang mulai merayapi hatinya.
"Kemana kau pergi, Tik..." suaranya lirih, nyaris tenggelam oleh desau angin malam. Rahangnya mengeras, matanya berkilat penuh kemarahan yang bercampur luka.
"Aku tidak akan bisa merelakan hidupku dihancurkan olehmu, Tik..." Ia mengepalkan tangannya semakin erat, kukunya menancap ke telapak tangannya sendiri.
"Aku mencintaimu, Tik..." gumamnya, suaranya penuh getir, seakan baru menyadari betapa besarnya kehilangan yang ia rasakan.
Malik menggeram, dadanya naik-turun dengan cepat, napasnya tersengal penuh amarah. Pikirannya kalut, dikuasai oleh kemarahan yang membakar setiap rasionalitas yang tersisa.
Ia mencengkeram rambutnya sendiri, seakan ingin merobek kepalanya yang penuh dengan kekecewaan.
"Sartika!" suaranya meledak di tengah kesunyian malam.
Ia menendang tempat sampah di pinggir jalan, membuat isinya berhamburan. Tangannya mengepal begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Matanya merah, liar, seperti binatang buas yang kehilangan buruannya.
"Kau tidak bisa pergi begitu saja!" teriaknya lagi, nyaris tidak peduli jika orang-orang mulai mengintip dari balik jendela.
Dengan langkah berat dan penuh amarah, ia kembali ke rumah. Tangannya menyambar gelas di atas meja dan melemparkannya ke dinding. Pecahan kaca berhamburan, namun itu tak cukup untuk meredakan kemarahannya.
Ia menghambur ke kamar, membuka lemari, mengobrak-abrik setiap sudut, seolah berharap Sartika masih bersembunyi di sana. Tapi yang ia temukan hanyalah kenyataan pahit, Sartika benar-benar pergi.
"ARGHHH!!" jeritnya, suaranya menggema di dalam rumah yang kini terasa hampa.
Ia mencengkram dadanya yang terasa sesak. Cinta, kemarahan, dan pengkhianatan berbaur menjadi satu, menyesakkan hingga hampir membuatnya gila.
Malik tahu satu hal, ia tidak akan tinggal diam. Jika Sartika berpikir ia bisa pergi begitu saja, maka ia salah besar. Ia akan menemukan Sartika. Dan ketika saat itu tiba, tidak akan ada jalan keluar lagi bagi perempuan itu.