Fakultas peternakan x Fakultas Hukum
Nyambung nggak jelas ngak Nyambung bangetkan, bau sapi sama tumpukan undang-undang, jelas tidak memiliki kesamaan sama sekali. Tapi bagaimana jika terjalin asmara di dalam perbedaan besar itu, seperti Calista Almaira dan Evan Galenio.
Si pawang sapi dan Arjuna hukum yang menjalin hubungan dengan dasar rasa tanggung jawab karena Evan adalah pelaku tabrak lari kucing kesayangan Calista.
Kamu sudah melakukan tindak kejahatan dan masih bertanya kenapa?" Calista sedikit memiringkan kepala menatap Evan dengan tidak percaya, laki-laki yang memakai kaos putih itu pun semakin bingung.
"Nggak usah ngomong macen-macem cuma buat narik perhatian gue, basi tau nggak!" Hardik Evan emosi.
"Buat apa narik perhatian pembunuhan kayak kamu!"
Beneran kamu bakal ngelakuin apapun?" Tanya Calista yang gamang dan ragu dengan ucapan Evan.
Evan mengangguk pasti.
"Hidupin joni lagi bisa?"
"Jangan gila Lu, gue bukan Tuhan!" sarkas Evan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Demam
Malam itu, udara dingin menusuk tulang, tapi Calista masih saja sibuk di dapur warung milik bibinya. Matanya sembab karena kurang tidur, tubuhnya menggigil karena demam yang terus memburuk karena hujan-hujan dua hari yang lalu bareng Evan. Namun tangannya tetap bergerak mencuci tumpukan piring yang tiada habisnya. Sudah tiga hari ini warung makan milik Halimah dibooking untuk acara pabrik disebelahnya. Tentu itu sangat menguntungkan Halimah tapi meremukkan Calista, dia harus bekerja extra bahkan sampai larut malam.
“Cepat cuci itu! Jangan lelet! Mau makan gratis tapi kerja kayak siput! Buat dirimu berguna sedikit, jangan cuma jadi beban!” suara Halimah, bibinya, menggema dengan nada menyakitkan.
Calista terdiam, menelan bulat-bulat hinaan yang kembali menghujani dirinya. Tubuhnya lemas, tapi hatinya lebih lelah. Di matanya, dunia tak memberinya tempat untuk sekadar bernapas lega.
"Pastikan semua sudah bersih sebelum kamu tidur!" sentak Halimah.
"Iya, Bi"jawab Calista.
Wanita paruh baya itu pun melenggang pergi, seperti biasa halimah akan pulang ke rumahnya meningggalkan Calista sendirian dengan tumpukan pekerjaan itu. Halimah tidak menyuruh Palupi atau Warni, karena kalau dia menyuruh dua pekerjanya itu dia harus membayar uang lembur, dan tentu saja Halimah lebih memilih cara hemat.
Semua sayur sudah dikupas bersih, bumbu dan rempah juga sudah siap, daging sapi, ayam dan ikan juga sudah Calista bersihkan dan siap diolah ke tahap selanjutnya besok. Tumpukan piring dan perkakas dapur yang kotor juga sudah bersih. Calista mengeliatkan punggung, merenggangkan otot yang sudah sangat capek.
Pukul tiga pagi, akhirnya Calista bisa merebahkan tubuhnya di kasur lantai tipis di ruamh sempit yang ia sebbut kamar. Namun, bukannya beristirahat, Calista justru membuka laptop untuk menyelesaikan laporan praktikum yang harus dikumpulkan besok pagi.
“Tunggu saja. Hidupmu nggak bakal jadi apa-apa! Lihat saja kalau semua nilai bagusmu itu hanya sia-sia!” suara bibinya masih terngiang di kepalanya.
Calista menggeleng, mengusir semua pikiran negatif yang menyusup mematahkan semangatnya. Calista meraup rambut lalu mengikatnya tinggi.
"Ayo Caca semangat!" serunya menyemangati dirinya sendiri.
Jono yang tadinya meringkuk di pojokan bangkit dan berjalan menghampiri Calista, kucing gimbul berwarna calico itupun mengosokkan tubuhnya di paha Calista lalu naik ke pangkuannya. Calista tersenyum lalu mengusap lembut tubuh Jono.
Calista pun mulai mengerjakan tugas, memasukan data dan membuat tabel perkembangan kesehatan Debora, sai sakit yang darang beberapa hari yang lalu. Tepat pukul empat pagi, laporan selesai, Calista pun menutup laptop dan bergegas merebahkan tubuhnya yang terasa dingin. Lumayan juga dia bisa tidur 2 jam lebih sebelum bersiap ke kampus.
Sinar matahari terasa lebih menyilaukan dari biasanya, membuat kepala Calista semakin berat. Entah memang hari terlalu panas atau memang kepala calista yang bermasalah. Calista merasa sangat dingin di tengah pagi yang cerah, tapi anehnya dia berkeringat, Calista merasa ada yang tidak beres dengan dirinya tetapi ia memaksakan diri tetap berangkat ke kampus. Bukan hanya karena takut nilainya berkurang, tapi ia tahu tugas ini adalah tanggung jawabnya. Jika dia tidak berangkat maka nilai kelompok juga akan berkurang, Calista tidak mau membuat teman-temannya kecewa.
Calista merapatkan jaket milik Evan yang ia pakai ke kampus, Ia berusaha fokus mengamati sapi yang menjadi objek praktikum, tetapi pandangannya mulai kabur. Peluh mengalir di wajah pucatnya. Jaka, teman sekelompoknya, sesekali melirik Calista dengan khawatir.
“Cal, lo nggak apa-apa? Mukamu pucat banget,” tanya Jaka, suaranya rendah.
"Aku baik-baik aja, Jak. Nanti aja ngomongnya, fokus ke praktikum dulu,” jawab Calista dengan senyum tipis, meski tubuhnya gemetar.
Jaka pun menganggu lalu mulai memperhatikan Raden yang memimpin praktek sebagai pembimbing lapangan mereka.
Mereka telah menyiapkan alat dan keperluan. seperti sarung tangan panjang (untuk pemeriksaan dalam), pelumas, alat pencatat untuk mencatat kondisi sapi, dan stetoskop untuk memeriksa detak jantung janin.
"Jaka, memeriksa kondisi fisik Lusy gue pemeriksaan rektal, Mira pemeriksaan perut, dan Calista catat hasil ya," tutur Erzan membagi tugas pada kelompoknya. Mereka semua mengangguk lalu mulai bekerja.
Jaka mulai dengan memeriksa kondisi fisik sapi secara umum. Memeriksa tanda-tanda kesehatan sapi seperti suhu tubuh, nafsu makan, dan perilaku sapi. Ia juga akan mengecek apakah ada tanda-tanda stres atau gangguan kesehatan yang bisa mempengaruhi kehamilan.
"Otot-otot perut sudah tampak lebih kencang, sedikit penurunan nafsu makan. gelisah tapi tidak ada tanda-tanda stress dan suhu tubuhnya juga normal," ucap jaka setelah memeriksa kondisi umum Lusy, Calista pun mencatan semuanya dengan fokus.
"Oke lanjut Mira," ujar Raden mengarahkan.
Mira mengangguk lalu mulai meraba perut sapi untuk memeriksa.
"Perunya sudah sangat kencang, vulva sapi akan mulai membengkak dan longgar, udder (payudara sapi) juga membengkak dan terasa lebih keras, sudah mengeluarkan sedikit cairan, kemungkinan akan melahirkan dalam mingu ini," lapor Mira.
Erzan yang sudah bersiap memakai sarung tangan panjang pun langsung memasukan tangan jalan lahir Lusy Setelah meminta izin dari si sapi tentunya, tak ketinggalan Calista yang membisikan katak-kata penenang sambil mengusap sayang Elisabeth agar lebih tenang.
"Leher rahim sudah sedikit terbuka, tidak ada tanda-tanda infeksi, dinding rektum halus, kering tidak ada tanda-tanda infeksi. Lusy sangat baik," lapor Erzan setelah selesai melakukan pemeriksaanya.
Nafas Calista memburu cepat dan panas, kepalanya berdenyut seperti di hantam palu godam. Dia berusaha bertahan tapi Calista akhirnya menyerah. Pandangannya gelap, kakinya lunglai, dan tubuhnya limbung.
“Calista!” Erzan langsung memeluk tubuhnya yang hampir terbentur tanah. Panik, ia langsung menggendong Calista dan berlari ke arah poliklinik kampus.
"Cepat bawa ke klinik!" perintah Raden,
Erzan mengangguk lalu mengendong tubuh lemah Calista. Ia berlari menuju poliklinik. Mira segera mengirimkan pesan pada Laura.
Di Poliklinik
Calista terbaring di ranjang dengan wajah sepucat kertas. Suster sudah memeriksa suhu tubuhnya yang mencapai hampir 39,8 derajat Celsius. Laura, yang mendapat kabar dari Mira langsung menghubungi Evan, tapi Evan sama sekali tak merespon chat Laura. Ia pun memutuskan untuk menelpon arjuna hukum itu.
“Van, lo harus ke sini sekarang. Caca pingsan,” suara Laura terdengar gemetar.
“Apa?! Pingsan?!” Evan panik, suaranya meninggi. Ia tak peduli kalau dirinya sedang berada di tengah diskusi tugas kelompok.
“Di mana dia sekarang?”
“Di poliklinik kampus. Cepat, Van. Dia beneran lemah banget. Gue nggak tega," ucap Laura dengan nada bergetar.
Setelah menutup sambungan teleponnya, Evan langsung meninggalkan diskusi tanpa penjelasan. Jantungnya berpacu cepat, rasa bersalah dan khawatir membanjiri pikirannya.
Setibanya di poliklinik, ia langsung menuju tempat Calista berbaring. Melihat wajah pucat gadis itu, Evan merasakan ada sesuatu yang menghantam hatinya. Ia duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Calista yang dingin dan penuh bekas luka kecil akibat pekerjaannya.
"Ca," panggilnya lirih. Rasa marah, khawatir, dan penyesalan berkecamuk di hatinya.
Laura bangkit, memberi ruang pada Evan yang tampak lebih panik daripada siapapun. Erzan yang duduk di dekatnya, menundukkan kepala, merasa lega gadis itu akhirnya ditangani dengan benar.
Ketika Calista akhirnya membuka mata, pandangannya kabur. Namun, ia langsung mengenali tangan yang menggenggamnya erat.
“Epan?” suaranya lemah, hampir seperti bisikan.
“Iya, gue di sini. Istirahat dulu, gue bakal nemenin Lu di sini,” kata Evan, mencoba terdengar tenang meski nada suaranya bergetar.
Calista mengangguk lalu memejamkan mata yang masih terasa berat.
cukup dengan memberi makan kucing saja Caca udah bahagia banget
semoga kebahagiaan cepat menghampiri kamu
kalau pas lagi bawel saja bilang cerewet lah, berisik lah.
coba nanti kalau si caca diem. pasti kelimpungan tuh si evan
Caca tuh cerewet karena peduli sama kamu Evan . Ada ada Evan masa dari dulu belum pernah makan sayuran . Sayuran sehat tauuu
tp keknya evan udh cinta ke caca tp gk sadar deh
.ciyeee Evan ciyeee🥰🥰🥰
gak pernah makan daging deh