Ricard Dirgantara, pelayan bar yang terpaksa menjadi suami pengganti seorang putri konglomerat, Evelyn Narendra.
Hinaan, cacian dan cemooh terus terlontar untuk Richard, termasuk dari istrinya sendiri. Gara-gara Richard, rencana pernikahan Velyn dengan kekasihnya harus kandas.
Tetapi siapa sangka, menantu yang dihina dan terus diremehkan itu ternyata seorang milyader yang juga memiliki kemampuan khusus. Hingga keadaan berbalik, semua bertekuk lutut di kakinya termasuk mertua yang selalu mencacinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sensen_se., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18 : BAGAIMANA CIRI-CIRI HAMIL?
Di kantor kepolisian, Richard baru saja selesai membuat laporan atas tindak asusila yang dialami oleh Debora. Richard juga menunjukkan lokasinya, ia yakin dua pria yang dihajar tadi masih terkapar tak berdaya.
“Terima kasih, laporannya, Tuan. Kami akan segera memproses kasus ini,” tutur seorang polisi menjabat tangan Richard.
“Sama-sama, Pak. Saya siap dipanggil kapan pun untuk menjadi saksi!” sahut Richard membalas jabat tangan pria tersebut.
Richard menghela napas lega, senyum di bibirnya terurai. “Kek, aku sudah menjadi orang baik, ‘kan? Aku akan selalu mengingat pesan Kakek,” gumam Richard mengingat Kakek Teddy—lelaki tua yang sangat berjasa dalam hidup Richard.
‘Jika kamu tidak menemukan orang baik di dunia ini, maka kamu harus bisa menjadi orang baik tersebut! Jika kamu tidak menemukan kebahagiaan, jadilah sumber kebahagiaan bagi orang lain. Jadikan hidupmu berguna bagi orang lain, Richard.’
Richard memijat keningnya sembari menutup mata, mengingat petuah Kakek Teddy. Lelaki tua yang berperan besar dalam perubahan hidup Richard. Hidup dalam kesederhanaan, tidak haus pujian, lalu mengabaikan penilaian orang lain, karena hanya Tuhan yang berhak menilai baik buruknya seseorang. Meski awalnya tidak mudah, butuh dua tahun hingga Richard bisa mengendalikan dirinya.
Dua preman sok berkuasa kini segera diringkus petugas. Mereka harus mendekam di penjara, sampai sidang digelar dan vonis dijatuhkan. Sementara mereka ditahan, polisi juga mendatangi rumah sakit untuk memastikan kondisi korban.
Kedatangan pihak berwajib membuat Rendra bertanya-tanya, pasalnya ia belum melapor apa pun mengenai kondisi yang dialami putrinya.
“Selamat sore, Tuan! Kami dari pihak kepolisian telah menerima laporan. Bahwa saudari Debora telah mengalami pelecehan di Jalan Kembang,” ucap salah satu pria berseragam itu setelah menemukan ruangan Debora.
“Benar, Pak. Dari mana Bapak tahu? Kami belum membuat laporan apa pun?” seru Rendra bingung.
“Pelapor tadi seorang laki-laki muda. Kalau tidak salah bernama Richard, mengaku saudara iparnya. Beliau juga bersedia menjadi saksi karena saat di lokasi, Tuan Richard yang menghajar para pelaku,” tutur polisi tersebut.
Rendra dan Sabrina saling pandang. Wajah mereka berubah pias. Rendra mengusap wajahnya dengan kasar. Dadanya bergemuruh hebat, sudah menuduh menantunya yang bukan-bukan. Tapi ternyata pria itu masih saja berbaik hati untuk mengusut tuntas kasus tersebut.
“Kondisinya masih belum stabil, Pak. Sepertinya kalau untuk ditanya-tanya dia belum siap menjawab,” tutur Sabrina setelah tercengang selama beberapa saat.
“Baik, kalau begitu kami menunggu setelah kondisinya pulih. Kami butuh keterangan korban untuk menjatuhkan vonis pada para pelaku. Segera hubungi kami,” ucap Polisi tersebut lalu berpamitan pergi.
“Pa?” panggil Sabrina menyentuh lengan suaminya.
Rendra masih membisu, pikirannya kalut dan dipenuhi kebimbangan. “Kita masuk dulu,” ajak Rendra meminta masuk menunggu putrinya.
...\=\=\=000\=\=\=...
.
“Nona, Anda baik-baik saja?” tanya seorang ART baru menghampiri, terkejut ketika mendengar jeritan Velyn.
Velyn mengernyitkan kening begitu dalam saat melihat orang asing berada di rumahnya. Dengan ramah, wanita itu memperkenalkan diri sebagai ART baru atas perintah Richard.
“Lalu di mana Richard? Apa kamu tahu ke mana dia pergi?” tanya Velyn beranjak berdiri. Berharap, ia mendengar jawaban memuaskan.
"Maaf, Nona. Beliau pergi bersamaan dengan Nona sekeluarga. Saya kira, Tuan juga ikut menyusul,” sahut ART tersebut.
Velyn mendesah kecewa, tanpa berkata apa pun lagi melangkah gontai keluar dari kamar tamu. Ia keluar dan mengambil jas Richard yang ada di mobil. Lalu kembali ke kamarnya. “Kamu akan kembali ‘kan nanti?” gumam Velyn merebahkan tubuh sembari menghirup jas Richard dalam-dalam.
Hari terus berganti. Sudah seminggu sejak kejadian itu Richard tidak kembali. Velyn terperanjat dari tidurnya saat matahari menyelusup gorden kamar hingga menembus bola matanya. Menoleh ke sofa, tempat yang biasa digunakan Richard untuk tidur.
Velyn mengucek matanya, ketika melihat Richard tengah tersenyum menatapnya. Menyipitkan mata untuk memperjelas pandangannya. “Richard?” panggil wanita itu dengan suara lirih. Buru-buru Velyn melompat dari ranjang dan duduk di sofa. Tapi, bayangan Richard tiba-tiba menghilang saat ia hendak menyentuhnya.
Sesak kembali menikam jantungnya, hari minggu yang kelabu bagi Velyn. Ia hanya habiskan waktu meringkuk di sofa panjang kamarnya sembari menggunakan jas Richard sebagai bantal. Velyn meraba ponselnya di atas meja, membuka kunci cepat-cepat, tidak ada pesan atau pun panggilan dari pria itu. Padahal hampir tiap jam Velyn mencoba menghubunginya, meski sama sekali tak tersambung.
“Richard, kamu di mana sih!” rengek wanita itu menangis tersedu.
“Villa?!” Velyn terperanjat ketika mengingat tempat yang pernah mereka kunjungi. “Ya, dia pasti di sana!” Buru-buru Velyn beranjak berdiri, setengah berlari menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Dalam hati merutuki dirinya sendiri karena baru mengingat tempat tinggal itu.
Velyn juga membawa sedikit pakaian ganti pada koper kecil. Ia mengingat-ingat alamat yang pernah disebutkan Richard. Selama setengah jam, Velyn mondar-mandir seperti setrikaan demi bisa mengingatnya. Hingga senyumnya mengembang, ketika berhasil menulisnya dengan yakin.
Kondisi Debora belum pulih sepenuhnya, orang tuanya masih fokus akan kesembuhan putrinya. apalagi, saat ini Debora ketakutan saat bertemu dengan orang asing.
Velyn sangat bersemangat menuruni tangga, “Bi, kalau mama sama papa tanya, bilang aku ada kerjaan di luar kota ya,” pesan Velyn pada salah satu ART-nya.
“Baik, Nona. Hati-hati,” balas ART itu tersenyum manis.
Menunggu selama beberapa saat, akhirnya taksi online pesanan Velyn datang. Ia segera berangkat di hari yang menanjak siang itu. Rasanya tidak sabar ingin segera sampai.
Sayangnya karena weekend, membuat Velyn harus terjebak macet. Perjalanan ia tempuh selama delapan jam lebih. Velyn sampai di villa saat senja telah berganti malam.
“Permisi! Paman! Bibi!” panggil Velyn mengetuk pintu tak sabar, lalu disusul memencet bel.
“Eh, Velyn! Wah, mau liburan lagi ya? Richardnya mana?” tanya Bi Conie setelah membuka pintu. Celingukan mencari seseorang di balik punggung Velyn.
Bibir Velyn yang tadi sempat tersenyum lebar, mendadak merapat kembali. Tubuhnya sempat mematung beberapa saat. “Jadi, Richard tidak ada di sini, Bi?” tanya Velyn berkaca-kaca.
“Tidak, Velyn. Terakhir ke sini ya sama kamu waktu itu. Ayo masuk dulu,” ajak Bi Conie yang melihat Velyn kelelahan.
Lemas, air mata Velyn kembali berjatuhan di pipinya. Mau tak mau, ia harus bermalam di sana dulu. ‘Siapa tahu aku bisa tahu informasi mengenai Richard dari Paman dan Bibi,’ batin Velyn menyeka air matanya, dan menyembunyikan kesedihan yang tengah menderanya.
...\=\=\=\=000\=\=\=\=...
Pagi-pagi sekali Richard sudah duduk di kursi kebesarannya. Perusahaannya hendak memperebutkan tender besar, Delon mengaku tidak mampu menangani sendiri. Sehingga mau tak mau Richard harus turun tangan. Selain itu, Richard harus melihat kondisi sang kakek.
Sengaja mematikan ponsel pribadi, agar tidak terganggu dengan sekelumit masalah yang bertubi-tubi menghantamnya. Ia hanya menyalakan ponsel untuk bisnis saja. Velyn dan keluarganya, tentu tidak mengetahui nomor tersebut. Sehingga ia merasa aman dari jangkauan keluarga istrinya untuk sementara waktu.
“Delon! Ke ruanganku sebentar,” panggil Richard melalui intercome yang tersambung dengan asistennya.
Tak berapa lama, Delon menampakkan diri di ruangan Richard. Ia masuk setelah dipersilakan sang bos yang duduk serius menatap dokumen di hadapannya. Delon sudah was-was, takut ada masalah pada laporan yang ia berikan pada bosnya itu.
“Duduk!” perintah Richard menggerakkan bolpoin di tangannya.
“Baik, Tuan!” sahut Delon segera mendudukkan tubuhnya dengan tegap. Bersiap mendengar perintah jika memang ada yang harus ia revisi.
“Delon, bagaimana ciri-ciri orang hamil?” tanya Richard mengalihkan tatapan dari dokumen pada pria yang duduk di hadapannya.
“Apa, Tuan?” Delon memastikan telinganya tidak salah dengar. Wajahnya dipenuhi keterkejutan, mulutnya menganga dengan lebar.
“Kau tuli apa gimana?” sentak Richard menajamkan tatapannya.
“Ta ... tapi saya hanya ingin memastikan lagi pertanyaan Anda, Tuan. Apakah Anda bertanya, bagaimana ciri-ciri orang hamil?” Delon mengulang pertanyaan dengan ragu-ragu.
“Hmmm!” Richard menopang dagu dengan tangannya di meja. Berharap asistennya yang serba bisa itu, menjawab pertanyaannya yang sejak awal ia simpan seorang diri.
Mata Delon semakin membelalak dengan lebar, "Anda hamil, Tuan?!” pekik Delon menggelegar.
Bersambung~
Delon minta diapain tuh 😂 berani beraninya!
Thor jangan lama" up nya .. ini baca sambil ingat" sama alur ceritanya 😇