Arnav yang selalu curiga dengan Gita, membuat pernikahan itu hancur. Hingga akhirnya perceraian itu terjadi.
Tapi setelah bercerai, Gita baru mengetahui jika dia hamil anak keduanya. Gita menyembunyikan kehamilan itu dan pergi jauh ke luar kota. Hingga 17 tahun lamanya mereka dipertemukan lagi melalui anak-anak mereka. Apakah akhirnya mereka akan bersatu lagi atau mereka justru semakin saling membenci?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30
"Gita ...." Arnav terkejut melihat Gita yang hanya memakai lilitan handuk di tubuhnya. Sudah lama sekali dia tidak melihat lekuk tubuh itu.
Sepertinya Gita rajin berolahraga. Astaga pikiranku.
Gita segera melangkahkan kakinya menuju kamarnya tapi saat dia membuka pintu kamar itu, tangan Arnav menahan pintu itu. "Aku mau ganti baju."
Jantung Gita semakin berdetak tak karuan. Apa yang Arnav inginkan? Posisinya kali ini benar-benar tidak aman. Dia takut tidak bisa menolak Arnav.
Arnav menahan kedua lengan Gita dan menatapnya.
"Maaf, aku lupa tidak bawa ganti baju. Bukan maksudku ...."
Arnav semakin menatap Gita. Dia tidak peduli dengan penjelasan Gita. Dia mendekatkan wajahnya dan mencium lagi bibir itu.
Gita akan mendorong dada Arnav tapi urung. Sejujurnya dia sangat merindukan ciuman manis itu juga.
Ini gila! Kenapa aku menikmati ciuman ini?
Kedua mata Gita kembali terbuka lebar saat merasakan lilitan handuk itu terlepas. Dia mendorong Arnav dengan keras lalu mengambil handuknya dan masuk ke dalam kamar. Dia segera mengunci pintu kamarnya.
Gita menggigit bibir bawahnya. "Arnav lihat gak ya? Aduh, aku malu."
Gita menarik napas lalu membuangnya. "Meskipun dulu setiap hari dilihat tapi sekarang kan kita masih belum ada hubungan apa-apa lagi. Malu sekali. Kapan sih papanya anak-anak itu pulang?"
Sedangkan Arnav masih tersenyum di dekat pintu kamar Gita. "Menggoda sekali." Kemudian dia berjalan menuju kamar mandi.
...***...
Arvin menghentikan motornya di depan basecamp. Vita segera turun dari motor Arvin dan berlari masuk ke dalam basecamp itu. Benar saja, Shaka memang menginap di basecamp itu.
"Kak Shaka!" Vita mendekati Shaka yang masih tidur di atas meja sambil mendekap dirinya sendiri.
Shaka terkejut mendengar suara Vita. Seketika dia terbangun dan turun dari meja. "Kenapa lo ada di sini?"
"Lo beneran gak pulang dari semalam?" tanya Arvin.
Shaka duduk di kursi sambil menekan bahunya yang terasa sakit. "Pulang kemana? Gue gak punya rumah. Gue gak punya keluarga. Gue bisa mati konyol kalau terus di rumah itu."
"Bahu Kak Shaka kenapa?" Vita menarik kaos Shaka tapi Shaka menahannya.
"Gak papa."
"Coba lihat!" Vita menarik kaos itu dan terlihat luka memar membiru di bahu Shaka. "Kak Shaka dipukul sampai kayak gini?" Vita tidak bisa membayangkan bagaimana rasa sakit itu.
"Iya, makanya gue memilih pergi dari rumah," kata Shaka.
"Sebentar gue belikan obat sama makanan buat lo," kata Arvin.
"Gak usah. Sorry gue gak bilang sama lo kalau gue tidur di sini."
"Gak papa. Mungkin lo juga mau mengobrol berdua sama Vita." Kemudian Arvin berdiri. Dia keluar dari basecamp-nya dan menaiki motornya menuju apotek terdekat.
"Kak Shaka terima kasih karena Kak Shaka membantuku menemukan keluargaku. Sekarang semua sudah berkumpul dan hubungan kita jauh lebih baik," kata Vita.
"Gue ikut senang dengarnya." Shaka membenarkan kaosnya. Hanya itu yang dia katakan tanpa berkata apa-apa lagi.
"Kak Shaka kenapa menjauh dariku? Apa aku ada salah?" tanya Vita.
"Tidak. Gue emang kayak gini. Gue gak mau melukai perasaan lo, kan gue playboy. Sorry, kalau gue pernah menggoda lo. Anggap saja gue cuma bercanda." Shaka tersenyum masam untuk menutupi luka di hatinya.
"Kak Shaka sudah bantu aku, saatnya aku membantu Kak Shaka."
"Bantu apa? Gue bisa sendiri."
"Kak Shaka harus bertahan di rumah itu."
"Rumah?" Shaka kini menatap Vita. "Rumah orang tuanya Zeva?"
Vita menggelengkan kepalanya. "Itu rumah Kak Shaka. Semua kekayaan orang tua Zeva itu milik Kak Shaka."
"Darimana lo tahu?"
Vita mengambil ponselnya dan menunjukkan chat terakhirnya bersama Zeva.
Vita, gue gak bisa ke sana. Tapi tolong sampaikan pada Kak Shaka, suruh dia pulang ke rumah. Aku sudah mendengar semuanya dari Papa, kalau sebenarnya rumah dan semua kekayaan ini milik Kak Shaka. Kak Shaka harus mengambil haknya. Sebisa mungkin gue akan membantu.
Shaka mengepalkan kedua tangannya. Selama ini dia tidak pernah melawan perlakuan kasar kedua orang tua Zeva karena dia tidak ingin melukai Zeva. Hanya Zeva satu-satunya keluarga yang baik padanya.
"Apa nama perusahaan yang sekarang dikelola orang tua Zeva? Mungkin aku bisa bantu," tanya Vita.
Shaka terdiam beberapa saat. Dia menggelengkan kepalanya. "Gue gak mau lo terlibat. Om Rudi sangat licik. Kalau dia mau bunuh gue, biar gue saja yang mati bukan orang lain termasuk Zeva."
"Kak Shaka harus berjuang. Pasti ada jalan."
"Buat apa?" Shaka mengalihkan pandangannya. "Meskipun gue mendapatkan harta itu lagi, orang tua gue juga gak akan balik." Shaka menyusut air matanya yang tiba-tiba mengembun di ujung matanya.
"Kak Shaka pasti bisa melalui ini semua. Orang tua Kak Shaka pasti juga ingin Kak Shaka bahagia dan menikmati apa yang ditinggalkan buat Kak Shaka."
Shaka tak menyahuti perkataan Vita. Sebenarnya dia tidak ingin menunjukkan sisi lemahnya pada Vita.
"Kak Shaka, masih ada orang lain yang sayang sama Kak Shaka. Zeva misalnya. Jadi Kak Shaka harus berjuang."
"Apa lo sayang sama gue?"
Vita mengerutkan dahinya mendengar pertanyaan itu. "Sayang?"
💕💕💕
Komen ya .... 😁
.