Di pertengahan tahun 1980, Dewi merasakan pedihnya dijadikan tulang punggung layaknya sapi perah, tapi tetap dianggap sebagai benalu. Bahkan, KDRT kerap Dewi maupun anaknya dapatkan dari suami dan juga keluarga suami, yang selama 5 tahun terakhir Dewi nafkahi. Karenanya, Dewi nekat menjadikan perceraian sebagai akhir dari rumah tangganya.
Dewi bertekad bahagia bahkan sukses bersama kedua anaknya. Segala cara Dewi lakukan, termasuk menjadi ART, sebelum akhirnya menjadi warung keliling. Namun pada kenyataannya, menjadi sukses bukanlah hal mudah. Terlebih, Dewi masih saja diganggu orang-orang dari masa lalunya. Dewi sampai berurusan dengan hukum akibat fitnah keji, sebelum akhirnya mengikuti program transmigrasi di era Orde Baru yang tengah berlangsung.
Akan tetapi karena sederet cobaan itu juga, Dewi menemukan cinta sejati sekaligus kesuksesan yang selama ini Dewi perjuangkan. Kesuksesan yang membuat Prasetyo sekeluarga sangat menyesal!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bapaknya Anak-Anak?
“Lah, baru tadi pagi menjalani sumpah pocong, sekarang sudah ditemukan pingsan di sebelah sumur dengan keadaan kepala berdarah?”
Apa yang terjadi pada Warti sudah langsung menjadi bahan perbincangan panas di antara para tetangga. Di sore menjelang petang kali ini yang dikuasai layung atau itu warna jingga menyala, pintu kontrakan Warti yang terbuka lebar, menjadi pusat perhatian tetangga. Namun, suara cekcok dari pintu kontrakan Prasetyo dan ibu Retno juga tak kalah menarik untuk mereka simak.
Ibu Retno dan Prasetyo cek cok dengan suara sangat lantang. Keduanya sama-sama teriak di setiap ucapannya hingga tetangga termasuk yang sengaja menyimak, mendengarnya dengan sangat jelas.
“Makanya pentingnya kamu tegas itu memang untuk kebaikan keluargamu, Pras!” ucap ibu Retno.
“Mereka sudah tua, mereka sudah berkeluarga dan anak mereka banyak! Sudah sepantasnya mereka terbiasa bekerja buat mencukupi kebutuhan mereka!”
“Bukan apa-apa serba kamu!”
“Iya kalau kamu memang kaya, punya harta enggak habis tujuh turunan. Buat makan besok saja, kamu enggak punya uang buat sekadar beli beras!”
“Bahkan alasan kita pindah ke sini pun karena memang kita diusir dari kontrakan sebelah. Kamu, apalagi keluargamu yang benalu itu enggak bisa bayar!”
“POKOKNYA AKU ENGGAK SETUJU KALAU LAGI-LAGI, MASIH KAMU YANG MEMBIAYAI WARTI!”
“Daripada begitu, lebih baik semua keluargamu mati! Toh hidup pun enggak ada gunanya!”
Menyimak itu, para tetangga yang kebanyakan ibu-ibu sekaligus bapak-bapak, yakin bahwa Prasetyo sekeluarga memang bermasalah. Terbukti, anak-anak di kontrakan keluarga Prasetyo dan jumlahnya ada tujuh atau malah delapan orang, juga tidak pernah sekalipun keluar untuk main. Padahal, di lapangan seberang kontrakan, hampir semua anak-anak main di sana. Mereka menjalani banyak permainan tradisional. Terkadang khususnya hari libur, anak-anak bahkan akan main sampai malam. Sedangkan normalnya, anak-anak pasti selalu ingin main dengan yang lain. Jadi, kenyataan anak-anak dari keluarga Prasetyo yang sampai terkesan anti sosial, juga membuat mereka bertanya-tanya.
Di dalam kontrakan Warti, Warti masih tiduran di tikar karena mereka memang tidak punya kasur. Karena jangankan kasur, perabotan saja termasuk piring, mereka hanya punya pas-pasan. Hidup saja menunggu sisa uang dari Prasetyo. Begitupun mereka tetap malas bekerja selaku alasan utama seseorang mendapatkan uang atau itu penghasilan.
Ibu Surmi dan kedua anaknya, mengurus Warti ala kadarnya. Sisanya termasuk suami Warti, tiduran di depan televisi layaknya pakaian lecek. Tiga balita juga turut tiduran di depan televisi tanpa bantal. Sementara para anak-anak tengah sibuk memasak di dapur. Menggunakan tungku, lima anak laki-laki di sana malah tengah menggoreng beras. Kelimanya yang kelaparan memang tak tahu caranya memasak nasi. Jadi, di dalam ketel, beras yang Warti ram.pas dari Dewi, kelimanya rendam dengan minyak yang juga masih barang dagangan Dewi.
Yang membuat ibu Surmi bingung, lagi-lagi ada ular welang. Ular welang tersebut masuk ke kamar Warti, dan tiba-tiba sudah ada di atas kaki Warti yang tertutup kain jarit.
“Mar, ... Sumar! Kamu jangan tidur terus! Tahu-tahu istrimu sedang sakit! Cepat bangun, ini usir ular welangnya datang lagi!” marah ibu Surmi.
Ibu Surmi merasa tak habis pikir, kenapa Sumar suami Warti, masih saja bisa tidur lelap. Sementara Warti yang dua jam lalu ditemukan di sebelah sumur, sampai detik ini masih belum sadarkan diri. Parahnya, dari kepala kanan Warti juga terus mengeluarkan darah. Lujeng adik termuda Warti, sudah beberapa kali mengganti air kompres untuk kepala Warti karena memang darah yang terus keluar dari sana.
Sumar memang akhirnya terbangun. Namun, hanya bangun dan memang tidak berguna. Sumar duduk sila tak jauh dari lantai tadi dirinya tidur. Mungkin kenyataan tersebut yang menjadi bagian dari perumpamaan, bahwa jodoh ibarat cerminan diri. Bahwa Sumar ibarat cerminan Warti yang memiliki watak sangat jahat.
“Ini si Prasetyo juga ke mana, sih? Ditungguin dari tadi suruh cari uang, malah enggak datang-datang! Jangan-jangan malah dihalang-halangi sama si Retno!” gerutu ibu Surmi yang memilih keluar dari kontrakan.
Ibu Surmi sempat memergoki warga yang masih kumpul-kumpul sambil memperhatikan pintu kontrakannya. Namun, ibu Surmi tidak peduli. Ibu Surmi cuek dan langsung menggedor penuh tenaga pintu kontrakan Prasetyo. Meski yang ada, malah sebuah golok yang menyapanya dan itu ulah ibu Retno.
“Masih apa-apa serba Prasetyo yang urus, aku bunnnuh kalian semua! Bisa-bisanya ada orang enggak berguna seperti kalian!” kesal ibu Retno sengaja mengancam. Ia bahkan mengangkat tinggi golok yang ia pegang menggunakan kedua tangan. Ia siap menebas leher ibu Surmi jika wanita tua itu tetap tidak bisa menggunakan otaknya dengan benar.
Di tempat berbeda, Dewi kembali didatangi mas Abdul. Pria itu melewati keramaian pasar di dekat kosan Dewi dengan berjalan kaki. Pasar di sebelah kosan Dewi memang akan ada dari pukul enam pagi hingga malam. Jadi, suasana di sana memang hampir tidak pernah sepi. Karena andai sudah tidak ada jual beli, ada saja pedagang yang merapikan dagangan atau malah sampai tidur di lapak.
Sebuah buku tulis, mas Abdul berikan kepada Dewi. Buku tulis tersebut dikata mas Abdul berisi daftar. Betapa terkejutnya Dewi karena mas Abdul sungguh mendapat banyak pemesan.
“Ini, sebanyak ini ...?” ucap Dewi sampai sulit untuk berkomentar.
“Total hanya ada 59 pemesan. Tapi mereka pesannya banyak. Ada yang memang buat tiga hari ke depan. Ada juga yang memang mau buat acara,” jelas mas Abdul.
“Ini beneran pesan, atau mas Abdul sengaja maksa?” tanya Dewi.
“Memang ada maksa-maksanya dikit, sih. Itu kan tadi aku bagi-bagi ikan, sambil sosialisasi bahwa sekarang dan itu kamu, ibarat punya usaha pasar keliling yang siap antar ke rumah. Kualitas barang dagangan kamu pun sudah tidak perlu diragukan,” balas mas Abdul.
“Ya Allah, ... ini beneran banyak banget! Karena biasanya, tiga puluh saja buat aku sudah banyak banget!” batin Dewi antara bingung, tapi sangat bahagia. Karena dalam diamnya, Dewi juga tengah sibuk bersyukur.
Dewi membiarkan mas Abdul masuk begitu saja ke dalam tempat tinggalnya. Karena memang, pemuda itu sangat dekat dengab kedua anak Dewi.
Tak lama setelah Dewi turun ke pasar untuk membeli setiap pesanan dengan sistim ambil barang dan bayar setengah harga dulu, mas Abdul keluar sambil memboyong kedua anak Dewi.
Mas Abdul mengemban Utari di dadanya, sementara Alif dibiarkan jalan di sebelahnya. Mas Abdul juga sampai menutup pintu kos Dewi, sebelum benar-benar pergi dari sana. Dewi yang diam-diam mengawasi, mendapati ketiganya pergi ke sebuah warung mi ayam dekat Dewi.
“Mas Abdul beneran sayang ke anak-anakku. Malahan Alif dan Utari juga sudah sangat nyaman dengan mas Abdul,” pikir Dewi.
“Mbak Dewi ... itu bapaknya anak-anak?” tanya tukang sayur yang tengah Dewi datangi, dan ternyata turut mengawasi apa yang Dewi awasi.
“Bapaknya anak-anak?” batin Dewi belum juga bisa menjawab pertanyaan Mbak Jum selaku penjual sayur.
“Kalau dipikir-pikir, Mas Abdul memang baik banget. Namun ... enggak ah ... aku enggak mau nikah lagi. Buat apa menikah lagi jika bersama anak-anak saja, kami sudah lebih dari bahagia? Lagipula, mas Abdul terlalu wah buat aku. Ditambah lagi, ... ibu Safangah mamanya mas Abdul pasti juga enggak kasih restu,” pikir Dewi tak mau ambil pusing.
saat itu jamannya.....
semuanya pada sakit......