Melisa, seorang gadis biasa yang sedang mencari pekerjaan, tiba-tiba terjebak dalam tubuh seorang wanita jahat yang telah menelantarkan anaknya.
Saat Melisa mulai menerima keadaan dan bertransformasi menjadi ibu yang baik, dia dihadapkan pada kenyataan bahwa dunia ini penuh dengan bahaya. Monster dan makhluk jahat mengancam keselamatannya dan putranya, membuatnya harus terus berjuang untuk hidup mereka. Tantangan lainnya adalah menghindari ayah kandung putranya, yang merupakan musuh bebuyutan dari tubuh asli Melisa.
Dapatkah Melisa mengungkap misteri yang mengelilinginya dan melindungi dirinya serta putranya dari bahaya?
Temukan jawabannya dalam novel ini, yang penuh dengan misteri, romansa, dan komedi!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aif04, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bintang hitam adalah portal
Disebuah kastil yang begitu tua tampak disebuah ruangan yang begitu besar dengan dinding batu yang kusam dan jendela-jendela yang terbuat dari kaca patri berwarna merah darah. Para monster-monster itu tengah menikmati hidangan mereka dengan suara tawa yang menyeramkan.
Gelas kaca yang berisi cairan berwarna merah pekat yang berbau seperti darah segar di tambah dengan organ tubuh manusia berupa jantung yang masih berdenyut lemah tampak berada di piring masing-masing dari monster-monster itu. Bau amis dan busuk dari hidangan itu memenuhi ruangan.
Suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring-piring yang terbuat dari perak berkilauan diiringi dengan suara mengunyah dan menelan yang terdengar seperti suara binatang buas yang sedang memakan mangsanya. Para monster itu menikmati hidangan mereka dengan lahap,
"Kau sangat luar biasa Riner karena bisa mendapatkan begitu banyak jantung manusia, tidak sia-sia selama ini kami memberikanmu kekuatan," ujar salah satu monster yang tampaknya sangat bahagia.
"Hahaha, itu tidak terlalu susah untuk saya yang merupakan seorang tabib dari dunia manusia. Saya bisa dengan mudah untuk mendapatkan jantung-jantung itu dari para pasien yang memang sudah akan mati. Dari pada mereka mati sia-sia, lebih baik mereka mati dengan cara yang lebih berguna," ujar Riner yang tidak lain atau tidak bukan adalah Tabib Li. Ia tersenyum dengan bangga, menikmati pujian dari monster-monster lainnya.
Jika Melisa mendengar hal ini, maka ia bisa saja mencakar wajah tabib gila ini.
"Pemikiran manusia memang terkadang mengerikan," sarkas salah satu monster, menunjukkan bahwa bahkan monster-monster itu pun merasa terkejut dengan kekejaman yang dilakukan oleh Riner.
"Itu baru sedikit dari pemikiran yang Anda dengar, masih ada pikiran yang bahkan lebih menakutkan dari apa yang saya pikirkan karena manusia adalah makhluk dengan seribu kejutan. Jika mereka baik maka mereka benar-benar seperti malaikat akan tetapi apabila mereka jahat maka iblis pun bisa kalah dalam berbuat jahat," ujar Riner dengan senyum yang mengerikan.
"Tetapi mau bagaimanapun manusia maka mereka tetap menjadi makanan kami nantinya, setelah saat yang tepat kami akan datang ke dunia manusia lalu memakan mereka semua," semua monster yang ada di ruangan tersebut tampak setuju dengan apa yang di katakan oleh temannya.
"Tapi bagaimana dengan dua manusia yang saat ini menyusup ke dalam ruang dimensi ini? Apa kau sudah menemukannya?" tanya salah satu monster lainnya.
Riner tersenyum dan mengangguk. "Tentu saja, saya sudah mengetahui keberadaan mereka. Mereka saat ini sedang berada di dekat kastil ini, mencari sesuatu yang tidak mereka ketahui. Tapi jangan khawatir, saya sudah mempersiapkan sesuatu untuk mereka," Riner mengatakan hal tersebut dengan tersenyum begitu misterius.
"Untuk saat ini saya akan membiarkan mereka bermain, tapi tenang saja mereka tidak akan bisa keluar dari sini karena saya telah menutup semua portal untuk keluar," lanjut Riner lalu meminum minuman dari gelas yang ada di depannya.
"Sungguh pemikiran yang sangat luar biasa, kau memang sangat bisa diandalkan Riner," puji pimpinan monster itu yang tampaknya sangat disetujui oleh yang lainnya.
"Jika ada orang sepertimu maka sebentar lagi semuanya akan siap dan kita akan berkuasa. Manusia akan menjadi budak serta makanan untuk bangsa kita," sorak salah satu monster dengan mulutnya yang penuh dengan darah akibat baru saja memakan jantung itu.
"PROK" "PROK" Suara tepuk tangan terdengar jelas di ruangan itu. Bahkan suaranya menggema di dinding ruang makan. Sontak semua yang berada dalam ruangan langsung menatap pada sumber suara yakni pria yang menggunakan kaca mata dengan rambut klimis nya yang tengah berdiri dengan santainya di depan pintu yang terbuka.
Ian, pria yang menggunakan kaca mata itu, tersenyum dengan santai dan berjalan ke arah meja tempat Riner dan monster-monster lainnya duduk. "Maaf, saya tidak bisa menahan diri untuk tidak bertepuk tangan. Pidato Anda sangat inspiratif, Riner," ejek Ian dengan menatap kearah Riner yang telah berdiri dari kursinya.
"Percakapan yang benar-benar luar biasa antara makhluk yang sama-sama jeleknya," tambah Ian dengan tangan yang ia lipat di depan dada. Ia tersenyum dengan santai, tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan.
"Kau! Manusia yang sudah menyusup kesini, hahaha kali ini kau menyerahkan diri langsung pada kami. Jadi, kami tidak perlu lagi untuk mencarimu. Dasar manusia bodoh dan angkuh," ujar salah satu monster disitu. Suaranya penuh dengan kebencian dan kemarahan.
Sedangkan yang lainnya seperti memiliki pemikiran yang sama dengan monster yang satu itu. Mereka semua menatap Ian dengan mata yang penuh dengan kebencian dan niat untuk membunuh.
"Kau akan mati disini tapi tenang saja kami akan memberikan kematian yang paling istimewa untuk manusia sepertimu," tambah monster yang lainnya.
Sedangkan Ian hanya diam tanpa niat sedikitpun untuk membuka mulut. Tapi sedetik kemudian ia melepas kaca mata dari matanya hingga semua orang yang ada disana dapat melihat dengan jelas mata merah miliknya.
“Ctak,” hanya dengan satu jentikan jari, penampilan pria itu berubah drastis. Dari sosok kutu buku yang aneh berubah menjadi pria gagah dan tampan yang begitu terkenal di kekaisaran. Rambut hitamnya dan juga mata dengan manik merah yang begitu terkenal.
Sontak satu ruangan terdiam, bagaimana tidak saat ini yang berdiri dihadapan mereka adalah Andrea, Manusia yang bisa menghancurkan sekawanan monster hanya dengan seorang diri. Ajudan dari Duke Ferdinand tapi lebih ditakuti oleh musuh dari pada sang duke.
Semua monster di ruangan itu terlihat terkejut dan takut, mereka tidak percaya bahwa Andrea, orang yang mereka takuti, berada di depan mereka. Mereka semua terdiam, tidak berani bergerak atau berbicara, hanya menatap Andrea dengan mata yang penuh dengan ketakutan.
"Ba-bagaimana mungkin?" ujar Riner tidak percaya. Dia tau betul jika menghadapi pria ini maka tidak akan ada kesempatan bagi mereka untuk menang. Mereka melakukan rencana di desa kecil ini hanya untuk menghindari pria ini dan memperkuat kekuatan tapi akan berbeda jika mereka bertemu dengan pria ini sekarang, itu adalah kegagalan di awal.
"Cepat lari dari dia jika kalian tidak ingin mati!" pinta pimpinan mereka. Monster-monster itu bagaikan kelinci ketakutan dihadapan pria yang saat ini seperti singa yang siap memangsa mereka.
"Stts, bisakah kalian diam? Terlalu berisik jika kalian begitu. Bagaimana jika kita mainkan satu permainan yang cukup seru. Jika aku terhibur maka aku akan melepaskan kalian, bagaimana? Bukankah menarik?" tanyanya dengan senyum yang misterius.
Andrea melihat monster-monster itu dengan mata yang tajam, seolah-olah menantang mereka untuk menerima tantangannya. Suasana di ruangan itu menjadi semakin tegang, dengan monster-monster itu yang terlihat takut dan ragu-ragu untuk menerima tawaran Andrea.
"Permainan? Kami mau permainan apa itu?" tanya salah satu monster.
"Mari bermain tangkap anak kelinci," ujar Andrea dengan senyum yang misterius.
"Tangkap kelinci? Disini tidak ada hewan apalagi kelinci," elak salah satu monster yang disetujui oleh yang lainnya.
"Itu benar, jadi karena tidak ada kelinci maka kita ganti menjadi tangkap monster," tambah Andrea.
Sontak seluruh monster yang ada di ruangan itu terdiam tanpa mengatakan apapun. Sepertinya memilih bermain dengan pria ini adalah pilihan yang sangat buruk.
"Baiklah, dalam hitungan ketiga maka kalian mulai saling bertarung. Yang paling banyak membunuh maka dia yang akan aku biarkan hidup. Jadi jika kalian ingin hidup maka kalian tau apa yang harus kalian lakukan," mata pria itu menatap tajam keseluruh ruangan. Nadanya pelan dan lembut akan tetapi penuh dengan tekanan.
Sepertinya tidak ada pilihan bagi mereka kecuali menuruti apa yang menjadi keinginan pria itu jika ingin tetap hidup. Monster-monster itu saling menatap dengan mata yang penuh dengan ketakutan dan kebencian, siap untuk saling membunuh demi kesempatan untuk hidup.
"Dan kau juga ikut, karena sifatmu seperti monster maka kau juga ikut bermain bersama mereka," Andrea menunjuk ke arah Riner yang sudah siap melarikan diri dengan kalung bintang hitam miliknya.
"Baiklah, satu, dua, tiga, mulai!" Aba-aba dari Andrea.
SRET. "AKH". "BRAK". "BRUGHT". Ruangan itu benar-benar sangat berantakan, dengan darah yang bertebaran di mana-mana, teriakan kesakitan dan juga potongan tubuh dari monster-monster itu.
Tapi ekspresi berlawanan justru di tampilkan pada wajah Andrea. Pria itu hanya diam dan menonton dengan malas saat monster-monster itu saling membunuh. 'Menjijikan,' batinnya. Ia tidak bisa memahami bagaimana makhluk-makhluk ini bisa begitu kejam dan tidak berperasaan. Tapi pria itu melupakan fakta jika dia juga kejam dan tidak berperasaan.
Andrea melihat Riner yang berusaha untuk melarikan diri, tapi ia tidak melakukan apa-apa untuk menghentikannya. Ia hanya menunggu sampai permainan ini selesai dan melihat siapa yang akan menjadi pemenangnya.
Sedangkan di tempat lain, Melisa hanya bisa menatap khawatir pada bangunan itu. Walaupun mereka sangat sering berselisih, tapi mereka benar-benar cukup dekat beberapa waktu ini.
"Monster-monster jelek itu tidak memakannya kan? atau mungkin saat ini dia sedang dipotong-potong oleh monster jahat itu. Ya ampun, Tuan Ian, semoga saja tubuh Anda masih utuh saat Anda kembali lagi ke sini," doa Melisa untuk Ian.
Saat sedang asik melihat dan menunggu pria itu, mendadak dari belakang ada yang menyentuh bahunya. "Apasih..." ujar Melisa merasa risih saat ada yang menyentuh bahunya. "Ish, apasih..." risihnya. "Apaan sih!"
"Kau!" Melisa terdiam saat ia menoleh ke belakang, rasa kaget menyentuh ke jantungnya saat melihat sebuah liontin dengan bandul bintang hitam itu tengah melayang di belakangnya.
"HA-HANTU!!" Teriaknya saat itu juga. Sedangkan kalung itu justru semakin berputar-putar mengelilinginya, membuat Melisa semakin takut dan bingung.
"Apa kau ini punya hantu?" kalung itu bergerak ke kanan dan ke kiri seperti mengatakan tidak setuju dengan apa yang wanita itu tanyakan.
"Oh, kau bukan punya hantu?" kalung itu kembali bergerak ke kanan dan ke kiri mengatakan tidak dengan apa yang di katakan dengan Melisa.
"Jadi, kenapa kau ada disini? Apa mungkin kau tersesat disini?" Kalung itu kembali bergerak sama seperti sebelumnya. Lalu bergerak aneh membuat Melisa dengan sangat keras memahami apa maksud dari gerakan kalung terbang itu.
"Ka-u ingin aku mengikutimu?" Tanyanya.
Kalung itu bergerak naik dan turun seperti mengiyakan perkataan Melisa. Melisa merasa sedikit terkejut dan bingung, tapi juga merasa penasaran dengan apa yang akan terjadi jika ia mengikuti kalung itu. Ia memandang kalung itu dengan mata yang penuh dengan pertanyaan, tapi juga dengan sedikit keberanian untuk mengikuti petunjuk yang diberikan oleh kalung itu.
"Maaf aku sedang menunggu temanku jadi aku tidak bisa mengikuti mu, nanti saja jika temanku kembali maka aku akan mengikuti mu," ujar Melisa yang kembali melirik pada kastil tua dimana Ian berada.
Kalung itu terus saja bergerak memaksa agar Melisa untuk mengikutinya. Tapi Melisa benar-benar tidak bisa meninggalkan tempat itu karena ia sudah berjanji dengan Ian untuk tetap tinggal disini. Tapi kalung ini benar-benar memaksanya untuk pergi mengikutinya.
"Maafkan aku..." ujar Melisa akhirnya, merasa bahwa ia tidak bisa menolak permintaan kalung itu lagi.
Kalung itu terus berputar seakan-akan bahwa itu adalah hal yang harus dilakukan oleh Melisa. "Apakah itu dekat?" tanyanya hanya untuk memastikan.
Kalung aneh itu kembali bergerak keatas dan kebawah membenarkan apa yang di katakan oleh gadis itu. "Baiklah aku akan mengikutimu tapi itu hanya sebentar saja," ujar Melisa lalu berdiri dengan perlahan dan mulai mengikuti kalung aneh ini.
Menurut instingnya, kalung aneh ini sepertinya tidak memiliki niat yang jahat padanya jadi tidak masalah untuk ikut apa yang diminta oleh kalung itu. Siapa tau itu mungkin informasi yang cukup berharga bagi dia dan juga Ian nanti.
"Aku harap ini keputusan yang tepat untuk mengikuti kalung aneh ini," pikirnya saat menyadari jika kastil itu semakin jauh.
Hingga akhirnya kini mereka berada di tempat dengan lapangan yang cukup besar. Udara di sekitar terasa segar dan bebas, dengan bau rumput hijau. Kalung itu berhenti dan mengambang di tempat, seolah-olah menunggu sesuatu untuk terjadi.
Tak lama kemudian, angin bertiup begitu kuat sehingga Melisa hanya bisa menutup matanya. Angin itu membawa suara gemuruh yang keras, seperti suara air terjun yang jatuh dari ketinggian. Melisa merasa rambutnya terangkat oleh angin, dan gaunnya terlipat ke belakang.
Saat angin berhenti, Melisa membuka matanya dan melihat sesuatu yang membuatnya terkejut.
"Dia benar, jika bintang hitam adalah portal," gumamnya dengan mata yang terbuka lebar. Melisa tidak bisa percaya apa yang ia lihat. Bintang hitam yang selama ini mereka cari ternyata benar-benar ada di depannya.
Melisa merasa bahwa ini adalah momen yang sangat penting. Ia harus memberitahu Ian tentang hal ini. Tapi, bagaimana caranya? Apakah kalung aneh ini akan membantunya untuk kembali ke Ian? Melisa memiliki banyak pertanyaan yang belum terjawab.