Ceritanya berkisar pada dua sahabat, Amara dan Diana, yang sudah lama bersahabat sejak masa sekolah. Mereka berbagi segala hal, mulai dari kebahagiaan hingga kesedihan. Namun, semuanya berubah ketika Amara menikah dengan seorang pria kaya dan tampan bernama Rafael. Diana yang semula sangat mendukung pernikahan sahabatnya, diam-diam mulai merasa cemburu terhadap kebahagiaan Amara. Ia merasa hidupnya mulai terlambat, tidak ada pria yang menarik, dan banyak keinginannya yang belum tercapai.
Tanpa diketahui Amara, Diana mulai mendekati Rafael secara diam-diam, mencari celah untuk memanfaatkan kedekatannya dengan suami sahabatnya. Seiring berjalannya waktu, persahabatan mereka mulai retak. Amara, yang semula tidak pernah merasa khawatir dengan Diana, mulai merasakan ada yang aneh dengan tingkah sahabatnya. Ternyata, di balik kebaikan dan dukungan Diana, ada keinginan untuk merebut Rafael dari Amara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
sinta
Keesokan harinya, pagi yang tenang di rumah baru Ferdi dan Amara berubah menjadi sedikit tegang saat terdengar suara ketukan di pintu. Amara, yang sedang menyiapkan sarapan, segera menuju ke pintu dengan senyum di wajahnya. Dia tahu Sinta, adik iparnya, telah memberitahu bahwa dia ingin berkunjung hari itu.
Namun, senyumnya perlahan memudar begitu dia membuka pintu dan melihat Sinta berdiri di sana dengan dua koper besar. Penampilan Sinta terlihat elegan, seperti biasa, dengan raut wajah percaya diri yang nyaris arogan.
"Selamat pagi, Mbak Amara," sapa Sinta dengan nada ramah yang terdengar sedikit dibuat-buat. "Kak Ferdi ada di rumah?"
Amara menatap koper-koper yang dibawa Sinta, mencoba menyembunyikan keterkejutannya. "Pagi, Sinta. Kak Ferdi masih di kamar. Kamu... bawa koper?"
"Oh, iya," jawab Sinta santai, mengangkat bahu. "Aku pikir, daripada sendirian di rumah, lebih baik aku tinggal di sini saja untuk sementara waktu. Lagipula, ini kan rumah keluarga. Kak Ferdi pasti setuju, kan?"
Amara tercekat. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Rumah ini memang milik keluarga besar Ferdi, hadiah dari neneknya, tetapi Amara merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan cara Sinta tiba-tiba memutuskan untuk pindah tanpa pemberitahuan sebelumnya.
"Masuk dulu, Sinta," kata Amara akhirnya, berusaha tetap ramah. Dia membuka pintu lebih lebar, membiarkan Sinta melangkah masuk.
Sinta memasuki rumah dengan anggun, matanya berkeliling memandangi setiap sudut rumah. "Hmm, lumayan juga," gumamnya. "Meskipun aku pikir rumah ini agak terlalu sederhana untuk seorang Ferdi."
Amara merasa ada sindiran dalam nada suara Sinta, tetapi dia memilih untuk tidak menanggapinya. Dia membantu Sinta membawa salah satu kopernya ke ruang tamu, sementara Sinta duduk di sofa dengan santai, seperti sudah menjadi tuan rumah.
Tidak lama kemudian, Ferdi muncul dari arah kamar, masih mengenakan pakaian santainya. Dia terlihat terkejut melihat adiknya di sana dengan koper-koper besar.
"Sinta? Apa ini?" tanya Ferdi, menatap koper yang ada di ruang tamu.
Sinta memasang wajah manja, seperti biasanya saat meminta sesuatu pada kakaknya. "Aku cuma mau tinggal di sini sementara waktu, Kak. Rumahku sepi, dan aku merasa kesepian. Lagipula, aku pikir kalian tidak akan keberatan."
Ferdi mengernyit, menatap Sinta dengan ragu. "Tapi, Sinta, kamu kan bisa tinggal di rumah keluarga. Kenapa harus di sini?"
Sinta langsung memasang wajah sedih, mencoba menarik simpati. "Kak, aku cuma ingin dekat sama keluarga. Aku kan juga adik Kak Ferdi. Masa aku gak boleh tinggal di sini? Apa Kak Ferdi sekarang lebih memilih orang lain daripada aku?"
Amara yang mendengar itu merasa tidak nyaman. Dia tahu Sinta sedang berusaha memainkan perannya sebagai adik yang terluka untuk mendapatkan perhatian Ferdi.
Ferdi menghela napas panjang. "Baiklah, Sinta. Tapi cuma sementara, ya. Kamu tahu kan, ini rumahku dan Amara sekarang. Jangan sampai ada masalah."
Sinta tersenyum puas. "Terima kasih, Kak. Kamu memang kakak terbaik," ucapnya sambil memeluk Ferdi, tanpa sedikit pun menoleh ke arah Amara.
Amara hanya bisa diam, menyembunyikan perasaannya. Dia tahu, kehadiran Sinta tidak akan mudah. Ada sesuatu dalam sikap adik iparnya itu yang membuat Amara merasa, ini bukan sekadar kunjungan biasa.
Pagi itu, suasana meja makan terasa canggung. Amara yang biasanya menyiapkan sarapan untuk Ferdi memilih untuk tidak bergabung. Dia sudah menyiapkan semuanya di meja, lalu kembali ke kamar tanpa sepatah kata.
Ferdi yang menyadari perubahan sikap istrinya merasa sedikit tidak nyaman. Ia menoleh ke arah pintu kamar Amara, tetapi Sinta dengan cepat mengambil perhatian kakaknya.
"Kak Ferdi, ayo makan," ujar Sinta dengan nada ceria sambil menyodorkan piringnya ke depan Ferdi. "Makanan pagi ini enak banget, loh. Mbak Amara benar-benar hebat masaknya."
Ferdi mengangguk sambil duduk di kursinya. Ia mengambil sendok dan garpu tanpa banyak bicara. "Iya, masakan Amara memang selalu enak," jawabnya singkat, meskipun pikirannya terlihat melayang.
Sinta menyadari perhatian Ferdi sedikit teralihkan, maka dia segera mengganti topik. "Kak, nanti kalau sudah selesai makan, aku ikut ke kantor, ya? Aku pengen lihat perusahaan Kak Ferdi. Siapa tahu aku bisa bantu-bantu, kan?" ujarnya dengan nada manja.
Ferdi tersenyum kecil. "Perusahaan bukan tempat untuk main-main, Sinta. Kalau kamu ingin ikut, ya harus serius."
"Aku serius, Kak. Kan aku juga ingin belajar dari Kak Ferdi yang hebat," balas Sinta dengan nada menggoda, berusaha membuat Ferdi tetap fokus padanya.
Di dalam kamar, Amara duduk di tepi tempat tidur dengan perasaan campur aduk. Ia mendengar suara Sinta yang terus berceloteh di meja makan, sementara Ferdi hanya merespons seadanya. Kenapa dia tidak membicarakan hal ini dulu denganku? Aku istrinya, bukan orang asing di rumah ini, pikir Amara dengan kesal.
Setelah beberapa saat, Amara memutuskan untuk tidak keluar kamar. Ia tidak ingin menghadapi suasana yang akan membuatnya semakin tidak nyaman.
Di meja makan, Sinta terus berusaha menciptakan suasana akrab. Ia bahkan mulai memuji-muji Ferdi. "Kak Ferdi tuh memang sempurna. Makanya aku iri sama Mbak Amara, bisa punya suami yang perhatian kayak Kak Ferdi."
Ferdi hanya terkekeh kecil, tetapi tidak menanggapi lebih jauh. Dalam hatinya, ia mulai merasa ada yang salah. Amara biasanya akan duduk di sebelahnya, memastikan semuanya berjalan lancar. Tapi pagi ini, dia sama sekali tidak muncul.
"Sinta, aku rasa aku harus bicara dengan Amara dulu," kata Ferdi akhirnya, berdiri dari kursinya.
Namun, Sinta segera menahan tangannya. "Kak, gak usah sekarang. Kasih waktu Mbak Amara. Dia pasti lagi capek. Lagian, kita kan belum selesai makan."
Ferdi ragu sejenak, tetapi akhirnya duduk kembali. Ia merasa terjebak di antara dua pilihan—menenangkan adiknya atau memperbaiki suasana hati istrinya.
Sementara itu, di dalam kamar, Amara hanya bisa menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Tapi, rasa kecewa itu masih tertinggal di hatinya, membuatnya bertanya-tanya apakah Ferdi benar-benar memprioritaskan dirinya atau justru lebih memikirkan adiknya.
Setelah selesai makan, Ferdi segera meninggalkan meja makan tanpa banyak bicara, menuju ke kamar untuk berbicara dengan Amara. Sinta yang ditinggalkan di ruang makan memasang wajah masam, merasa kesal karena perhatian Ferdi kembali teralihkan dari dirinya.
Di dalam kamar, Amara duduk di sofa dengan pandangan kosong, mencoba mengabaikan suara pintu yang dibuka oleh Ferdi.
"Amara," panggil Ferdi lembut, namun istrinya tidak menoleh.
Ferdi mendekat dan duduk di hadapan Amara. "Kenapa kamu diam? Apa ini tentang Sinta? Kamu tidak suka dia tinggal di sini?" tanyanya dengan nada enteng, seolah tidak menyadari betapa seriusnya masalah ini bagi Amara.
Amara akhirnya berbalik, menatap suaminya dengan mata yang menunjukkan campuran kekecewaan dan ketidakpercayaan. "Kamu sungguh menanyakan itu dengan nada seperti itu, Ferdi?" ujarnya dingin.
Ferdi terdiam, bingung dengan reaksi istrinya. "Maksudku, dia kan adikku. Lagipula, dia tidak akan lama tinggal di sini. Aku hanya ingin membantunya merasa nyaman."
Amara tertawa kecil, tetapi tawa itu penuh sarkasme. "Merasa nyaman? Lalu bagaimana dengan aku? Aku istrimu, Ferdi. Harusnya aku yang merasa nyaman di rumah ini, bukan merasa terpojok."
Ferdi mengerutkan kening. "Aku tidak mengerti kenapa kamu harus merasa seperti itu. Sinta cuma adikku, Amara."
Amara berdiri, menatap Ferdi dengan tatapan tajam. "Kamu tidak mengerti, Ferdi, karena kamu tidak pernah mencoba memikirkan perasaanku. Kamu tidak minta izin, tidak bicara dulu denganku sebelum mengizinkan dia tinggal di sini. Sekarang dia bertingkah seolah rumah ini miliknya. Dan kamu... kamu malah terlihat mendukungnya."
Ferdi menghela napas, merasa tertekan. "Aku tidak mendukung siapa pun, Amara. Aku hanya mencoba menjaga kedamaian."
"Kedamaian?" Amara menyela dengan nada getir. "Kedamaian seperti apa yang kamu bicarakan? Kamu membiarkan adikmu memanfaatkanmu, mengabaikan perasaanku, dan sekarang kamu mengharapkan aku untuk diam saja?"
Ferdi terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Amara melanjutkan, "Aku bukan wanita yang akan diam saja ketika merasa tidak dihargai, Ferdi. Jika kamu lebih memilih menyenangkan adikmu daripada memperjuangkan hubungan kita, katakan saja. Aku bisa pergi."
Kata-kata Amara membuat Ferdi terkejut. Dia tidak menyangka masalah ini akan menjadi sebesar ini. "Amara, aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya ingin kita semua bahagia."
Amara menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. "Kalau begitu, mulailah dengan menghargai aku sebagai istrimu. Kalau kamu terus seperti ini, aku tidak tahu apakah aku masih bisa bertahan, Ferdi."
Ferdi menunduk, merasa bersalah. Dia tahu Amara benar, tetapi dia juga merasa terjebak antara tanggung jawab sebagai suami dan kakak. "Aku akan bicara dengan Sinta," akhirnya ia berkata pelan. "Aku akan memastikan dia tidak membuatmu merasa tidak nyaman lagi."
Amara tidak menjawab. Dia hanya berjalan menuju balkon, meninggalkan Ferdi dengan perasaan bersalah yang semakin dalam.