NovelToon NovelToon
PLAY ON

PLAY ON

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Beda Usia / Cinta pada Pandangan Pertama / Enemy to Lovers
Popularitas:36.1k
Nilai: 5
Nama Author: Tris rahmawati

Auriga tidak menyadari dia sedang terjebak dalam sebuah masalah yang akan berbuntut panjang bersama Abel, gadis 18 tahun, putri temannya yang baru saja lulus SMA.

Obsesi Abel kepada Auriga yang telah terpendam selama beberapa tahun membuat gadis itu nekat menyamar menjadi seorang wanita pemandu lagu di sebuah tempat hiburan malam. Tempat itu disewa oleh Mahendra, ayah Abel, untuk menyambut tamu-tamunya.
“Bel, kalau bokap lo tahu, gue bisa mati!” Kata Ode asisten sang ayah tengah berbisik.
“Ssst...tenang! Semuanya aman terkendali!” Abel berkata penuh percaya diri.
“Tenang-tenang gimana? Ini tempat bukan buat bocah ingusan kayak elo!”
“Dua hari lagi aku 18 tahun! Oh my God, gatel ya,Mahen!Lo ya, ganjen banget! Katanya nggak mau nikah lagi tapi ani-aninya seabrek!" Umpat Abel pada sang papa.

***
Di satu sisi lain sebuah kebahagiaan untuk Auriga saat mengetahui hubungan rumah tangga mantannya tidak baik-baik saja dan tidak bahagia dia pun kembali terhubung dengannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tris rahmawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

25 It's You,

Abel duduk gelisah di tepi ranjang, kedua tangannya sibuk meremas-remas ujung selimut.

Sampai kapan Auriga akan tetap di sini? pikirnya. Hujan di luar makin deras, suara gemuruh petir beberapa kali menggelegar, seolah menambah berat beban pikirannya. Abel tahu betul, papanya pasti tidak akan membiarkan Auriga pulang dalam kondisi seperti ini.

Jalanan menuju vila yang licin dan sebagian sedang dalam perbaikan terlalu berbahaya untuk dilewati malam-malam begini.

Abel menghela napas panjang. Ia bangkit, mulai mondar-mandir di kamar sambil mengigiti kuku, lalu sesekali melirik ke luar jendela. Hatinya tak tenang. Apa yang harus aku lakukan agar tidak perlu bertemu lagi dengannya? pikirnya. Kepalanya terasa penuh, seolah ribuan skenario buruk bergantian memutar di benaknya.

Tanpa pikir panjang, ia meraih ponselnya dan menghubungi Ode. Dering terdengar lama, nyaris putus harapan, hingga akhirnya suara mengantuk menjawab dari seberang.

“Ini hari libur, Abel. Please, gue nggak mau diganggu. Pekerjaan gue udah selesai. Malam ini gue ada acara.”

Abel mengerutkan kening, frustrasi. “Ode, Auriga ada di vila. Gue harus gimana?”

Terdengar tawa kecil dari ujung telepon. “Kenapa lo tanya gue? Bukannya lo paling pinter. Kemarin aja lo bisa nanganin semuanya sendiri. Gue cuma bantu ngelengkapin doang.”

“Ode!” suara Abel nyaris memekik. “Otak gue buntu. Ini serius! Gue harus ngapain?”

“Lo di mana sekarang?” Ode terdengar menahan tawa. “Ngumpet?”

“Ya iyalah! Tadi udah ketemu, dan astaga, pura-pura jadi orang yang nggak kenal itu sulit banget!”

“Masalah lo sendiri. Tapi…” Ode berhenti sejenak. “Gini aja. Bilang ke bokap lo kalau lo nggak enak badan. Mendadak demam, gitu. Pasti bokap lo nggak bakal nyuruh lo keluar lagi, apalagi ngajak makan malam bareng mereka.”

Mata Abel berbinar. “Aha! Iya! Itu ide bagus! Thanks, Ode! Bye!”

Tanpa menunggu balasan, Abel memutus sambungan telepon, lalu menjatuhkan tubuhnya ke ranjang. Akhirnya, rencana sempurna. Ia langsung mengetik pesan ke papanya dengan cepat

"Pa, aku nggak enak badan. Kayaknya mau demam. Aku tidur dulu ya."

Setelah pesan terkirim, Abel merebahkan dirinya sepenuhnya. Ia menatap langit-langit kamar, mencoba bernapas lebih tenang. Dengan rencana itu, ia yakin tidak perlu lagi keluar kamar malam ini.

Apa pun yang terjadi di luar sana, itu sudah bukan urusannya. Ia memejamkan mata, berharap ketegangan hari itu segera berlalu.

Satu jam berlalu, rencana Abel berjalan mulus. Sang papa sibuk melayani tamunya, membuat Abel merasa lega karena tidak harus keluar kamar. Tidurnya semakin nyenyak di tengah derasnya hujan yang mengguyur di luar.

Dua jam berlalu.

Abel terbangun. Suasana kamar mendadak gelap gulita. Lampu mati. Abel langsung duduk tegak di atas ranjang, tubuhnya menegang.

“PAPA? PAPA!” panggilnya panik.

Tidak ada jawaban. Rasa takut merayapi dirinya. Abel memang sangat takut gelap. Ia berlari keluar kamar tanpa memikirkan apa-apa, bahkan melupakan ponselnya yang entah di mana ia letakkan sebelumnya.

“Papa! Papa!” panggilnya lagi, berjalan ke sana kemari di lorong vila yang semakin gelap mencekam. “Papa! Pretty? Pretty!”

JEDERRRRRRRR!!!!

Tetap tidak ada sahutan. Suara petir menggelegar membuat tubuhnya bergetar.

“Papa, Abel takut! Papa!”

Tiba-tiba suara lembut kucingnya terdengar. “Meow...”

“Pretty?” Abel mengikuti arah suara itu. “Pretty, di mana kamu?”

Ia terus berjalan hingga melihat mata Pretty yang tampak bersinar samar di tengah gelap, pantulan cahaya dari kilatan petir di luar.

“Pretty? No! Turun! Jangan naik ke sana!” serunya ketika menyadari kucing itu memanjat lemari hias di ruang tengah. “Turun, Mommy bilang!”

Namun, Pretty tidak menurut. Dengan gerakan lincah, ia melompat dan berlari ke arah yang gelap.

“Pretty, awas kamu kalau nggak turun!” Abel mengomel, mencoba mengikuti arah kucing itu sambil tetap mencari papanya. Lalu pikirannya melompat ke satu orang lain. Auriga. Di mana Auriga? Bukannya papa bersama dia tadi?

“Prannnnnggggggg!!!

Sebuah suara keras memecah kesunyian. Abel refleks mundur, tetapi kakinya terpeleset, membuat tubuhnya tersungkur ke depan tangga.

“ADUH!” serunya, merasa sikunya membentur keras sisi tangga. Rasa sakit menjalar, tapi yang lebih dominan adalah ketakutan.

“Pretty! Hiks...” Abel mulai menangis di tempatnya terjatuh. Rasa sakit bercampur rasa takut membuatnya tidak tahu harus melakukan apa lagi.

Namun, di tengah tangisnya, ia merasakan kehadiran sesuatu. Perlahan, ia melihat ke atas. Sebuah bayangan tinggi mendekat, merendahkan tubuhnya untuk menyamai posisinya.

“Hati-hati. Apa yang jatuh tadi? Suaranya keras sekali,” suara itu terdengar jelas di tengah gemuruh hujan.

Jantung Abel berdetak cepat. “O-Om Auriga?” tanyanya terbata.

“Ya,” jawab Auriga sambil menyinari Abel dengan cahaya ponselnya. “Tadi habis makan malam, Pak Mahen ke depan. Ada tetangga vila yang sakit, jadi dia diminta tolong. Saya tadi di kamar nunggu hujan reda, malah ketiduran. Sekarang mati lampu.”

Abel merasa tidak nyaman. Cahaya ponsel Auriga membuat wajah pria itu terlihat samar, tetapi cukup jelas untuk menangkap setiap detail. Termasuk tanda lahir besar di lutut kanannya. Auriga menunduk, memeriksa luka di siku Abel.

“Luka. Memar juga. Bisa berdiri? Ayo, obati,” katanya dengan nada tegas tapi lembut.

“Bisa, bisa!” jawab Abel, berusaha bangkit sendiri meski susah payah.

Namun Auriga tidak peduli. Ia memegang lengan Abel dengan hati-hati, membantu gadis itu berdiri. “Hati-hati. Jangan memaksakan diri,” katanya.

Sial! Pikir Abel. Kenapa harus sedekat ini lagi? Aroma tubuh pria itu kembali tercium, aroma yang sama dengan sebelumnya, memancing memori yang ia coba lupakan.

“Pretty! Ini semua salah kamu!” Abel berteriak frustrasi pada kucingnya, yang masih saja berlarian meski vila gelap gulita.

Auriga membawa Abel ke ruang tengah. Suasana di sana begitu menyeramkan—gelap, hanya sesekali disinari kilatan petir. Abel duduk diam, mencoba mengalihkan rasa gugupnya, sementara Auriga berdiri di depan jendela besar, cahaya ponselnya menjadi satu-satunya sumber terang.

“Ehem. Sering mati lampu di sini?” tanya Auriga, mencoba mencairkan suasana.

“Nggak tahu,” jawab Abel pelan. “Baru kali ini.”

Auriga tersenyum tipis, menatap hujan di luar. “Pak Mahen selalu baik dengan semua orang. Kamu pasti bangga punya papa seperti beliau.”

Abel hanya diam. Ia tidak tahu harus merespons bagaimana. Dalam hatinya, ia hanya ingin percakapan ini segera berakhir.

“Arabella,” suara Auriga berubah serius. “Kamu punya kembaran? Saudari perempuan? Atau sepupu?”

Abel menahan napas. Tuh kan! Auriga masih menyelidiki Ana! Pikirnya. Tapi ia memaksa dirinya menjawab santai, “Saudari? Nggak ada, Om. Aku anak tunggal. Sepupu juga cowok semua, dan mereka tinggal jauh-jauh. Kenapa, Om?”

“Ah, nggak ada apa-apa,” jawab Auriga dengan nada mengambang. Ia berjalan menuju pintu. “Saya ke mobil dulu. Di sana ada P3K. Sepertinya kamu butuh itu.”

Abel hanya bisa menghela napas panjang. Tolong, semoga ini selesai segera.

Auriga berjalan cepat keluar dari villa, payung di tangannya mengayun mengikuti langkahnya yang tergesa.

Di bawah hujan dia berbicara sendiri, “Aku tidak gila. Aku kenal suara itu.” Suara Ana yang sangat jelas dan tak bisa disangkal lagi. Setiap kata yang terdengar begitu mirip, intonasi, suara dan ya semuanya.

Sesampainya di mobil, Auriga mengambil kotak P3K yang ada di kursi belakang. Ia memastikan semuanya lengkap, kemudian melangkah kembali menuju villa dengan pikiran yang dipenuhi keraguan.

Ponselnya menyala, memberikan sedikit penerangan di tengah kegelapan yang menyelimuti villa itu. Sesampainya di dalam, dia menyampaikan informasi kepada Abel tentang kondisi mati lampu yang akan berlangsung beberapa jam dan genset Villa genset rusak.

"Pak Asno bilang, mati lampu dua jam lagi," ujarnya sambil berjalan melewati ruang tengah menuju kamar tempat Abel berada.

Abel mengumpat dalam hati dia tidka peduli mati lampung atas apapun itu dia mau ini selalu.

Tadi padahal Abel telah menghindari makan malam bersama papa dan Auriga, tapi justru sekarang, ia terjebak hanya berdua dengan Auriga. Dia rasanya mau berteriak tidak tahu harus bagaimana.

“Makasih, Om,” ucap Abel saat Auriga menyerahkan kotak P3K.

“Biar saya bantu terangi,” ujar Auriga, sedikit ragu. Ia memindahkan meja dan duduk di samping Abel, dengan hati-hati menyalakan ponselnya untuk memberikan penerangan yang cukup. Namun melihat Abel terus merintih sakit, Auriga mengambil alih membersihkan luka Abel, rasanya aneh baginya. Menyentuh luka anak orang lain, apalagi anak dari temannya, membuatnya sedikit canggung, namun ia berusaha tetap fokus.

Dengan hati-hati, Auriga membersihkan luka Abel yang tak terlalu parah, kemudian menempelkan plaster dengan cepat. Tiba-tiba, pintu villa terbuka dengan keras, disusul suara langkah Mahendra yang terburu-buru masuk. "Arabella? Oh Tuhan, maafkan papa, lupa cari generator set."

“Makasih, Om,” jawab Abel, mencoba terdengar normal meski hatinya berdebar. Dia langsung menghampiri papanya, berusaha menyembunyikan kecemasannya.

Sementara itu, Auriga, dengan gerakan hati-hati, mengambil kapas bekas pembersihan luka Abel yang masih bercak darah itu. Ia memasukkannya perlahan ke dalam sakunya, DIa tahu, ada sesuatu yang sedang terjadi. Sesuatu yang masih belum sepenuhnya bisa ia temukan.

Di sisi lain, Mahendra terus berbicara dengan Abel, namun Auriga tahu bahwa kejadian malam ini semakin membuat segalanya semakin rumit. Setiap langkah yang ia ambil kini seolah semakin mendekatkannya pada kebenaran yang tak bisa ia hindari mereka orang yang sama.

Auriga memandangi kapas bekas darah di tangannya dengan tatapan tajam, seperti menatap kunci dari teka-teki yang sudah lama mengganggu pikirannya. Ini bukan hal sepele. Dia harus selesaikan yang ganjil ini karena tiap gerak-gerik Arabella, setiap kata-kata yang diucapkan, semuanya terasa begitu familiar. Terlalu familiar, hingga Auriga tidak bisa lagi mengabaikannya.

Dia tahu, ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini. Auriga tidak bodoh. Dia telah mengamati cukup lama, mendalami semua kemungkinan, dan sekarang, dia merasa berada di ujung jari kunci yang akan membuka segalanya. Dengan hati-hati, Auriga menyimpan kapas itu, sebuah jejak yang mungkin bisa membuktikan bahwa segala yang dirasakannya bukan halusinasi.

Jika benar Arabella adalah anak yang selama ini dicari, pertanyaannya adalah Apa tujuan sesungguhnya? Semua ini semakin terasa seperti permainan yang sudah dirancang dengan sempurna. Permainan yang begitu rumit, penuh strategi, dan telah menghabiskan banyak waktu, uang, dan peluang yang ada. Setiap langkah yang diambil tampak begitu terencana, seolah-olah ada kekuatan yang sangat besar di baliknya, yang memimpin setiap langkah Arabella dengan sangat hati-hati.

Auriga merasa semakin yakin bahwa ini lebih dari sekadar kebetulan. Semua ini, meskipun tampak seperti sebuah kebetulan, tidak bisa lagi dianggap remeh

.Jika benar Arabella adalah anak yang hilang, maka dia harus tahu apa yang sedang terjadi. Tapi di balik semua itu, Auriga merasa ketakutan. Jika benar apa yang ia duga, berarti ia sedang berada di tengah-tengah permainan yang sangat besar, yang tidak hanya melibatkan dirinya, tetapi juga orang-orang di sekitarnya.

Auriga meremas kapas itu, mencoba menenangkan diri. Dia tahu, apa pun yang dia temukan, tidak akan mudah untuk diterima. Tetapi dia tidak bisa mundur sekarang. Segalanya sudah terlalu dekat.

1
Nanysetyarsi24 Nanyse24
masuk.ke petualangan Abel 🤩
likerain_1308
duh...ikutan deg2an... gimana kalo sampe ketahuan, klo ana adl arabella...🤦‍♀️....makasih up nya mb tris 😍🙏
siska oktaviana
ayo Om cari tau terus...
🌜melody 🌛
pastilah bel ,ga munkin auriga diam aja pasti nyari tau dia
Naaaaa
lanjuuttt kk
Abi 123
ih.... jadi mellow
Indah Wirdianingsih
abel pura2 hilang ingatan
Abi 123
makin seru kak..... gara2 obat tidur jdi bisa deket2 ma om ganteng
Indah Wirdianingsih
lanjut kak tris, om riga penasaran sama si abel
Suwastika
hayo loh bel....
km ketauan....
Ummu Jihad Elmoro
pisahin sementara mereka, Kak Tris, biar makin klepek2 merindu tuh si babang riga.. hihi
Laili Untari
nah pikiran om semrawut🤣
Vafajia
hah....
akhirnya,, cita² mu tercapai ya bell,, bikin Auriga penasaran..
gk sabar nunggu part² selanjutnya..
Atun TuchiZhama
hahahah konyol sekali 🤣🤣
Atun TuchiZhama
lanjutkan action mu bestiee😍😍
Ryni Muhammad Nur
ini aku ngikutin terus yahh /Smile/ tp jarang bacanya dipf ungu
Anna Puspita
kamu harus tenang abel 🤣 jangan sampai auriga semakin curiga 🤭
Atun TuchiZhama
karya kk tris emang gak diragukan lagi 😂😂
Novia Isk
mikir dah mikir sampak ngebul ya auriga 😆😆🤣
Atun TuchiZhama
huaaaaaaaaaaaa pengen nangissssss kangen bangetttt sma karya kak Tris dsni 😭😭😭😭😭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!