Riga tidak menyadari dia sedang terjebak dalam sebuah masalah yang akan berbuntut panjang bersama Abel, gadis 18 tahun, putri temannya yang baru saja lulus SMA.
Obsesi Abel kepada Auriga yang telah terpendam selama beberapa tahun membuat gadis itu nekat menyamar menjadi seorang wanita pemandu lagu di sebuah tempat hiburan malam. Tempat itu disewa oleh Mahendra, ayah Abel, untuk menyambut tamu-tamunya.
“Bel, kalau bokap lo tahu, gue bisa mati!” Kata Ode asisten sang ayah tengah berbisik.
“Ssst...tenang! Semuanya aman terkendali!” Abel berkata penuh percaya diri.
“Tenang-tenang gimana? Ini tempat bukan buat bocah ingusan kayak elo!”
“Dua hari lagi aku 18 tahun! Oh my God, gatel ya,Mahen!Lo ya, ganjen banget! Katanya nggak mau nikah lagi tapi ani-aninya seabrek!" Umpat Abel pada sang papa.
***
Di satu sisi lain sebuah kebahagiaan untuk Auriga saat mengetahui hubungan rumah tangga mantannya tidak baik-baik saja dan tidak bahagia dia pun kembali terhubung dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tris rahmawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32 Sayang?
Keesokan harinya,
Dari malam tadi Abel masih terus menangis di kamar asrama, kini dia memeluk Claudia erat semebari menyusun pakaiannya. Padahal, liburan yang sudah lama ditunggu-tunggu hampir tiba, tetapi keadaan memaksanya untuk pulang ke rumah.
Menurut cerita Ode, kecelakaan itu terjadi karena sopir papa mengantuk. Istrinya baru saja melahirkan, membuat dia harus begadang dan akhirnya kehilangan fokus saat mengemudi di jalan tol pagi itu.
"Clau, aku takut papa kenapa-kenapa," ucap Abel dengan suara bergetar. "Aku nggak punya siapa-siapa lagi, Clau."
Claudia memeluk sahabatnya erat, air matanya ikut mengalir. "Papa pasti sembuh, Bel. Aku yakin papa akan pulih. Jangan pesimis dong."
Abel terisak di pelukan Claudia. Tak pernah dalam hidupnya dia melihat papanya sakit parah selain demam atau batuk ringan. Papa selalu tampak kuat, sehat, dia itu sangat disiplin tidak hanya soal makanan, tapi juga keselamatan. Namun, benar kata orang, tanggal kemalangan memang tak pernah ada di kalender.
Tok
tok.
Ketukan di pintu kamar asrama memecah suasana. Daniel telah datang untuk mengantar Abel ke bandara. Abel dan Claudia melepaskan pelukan mereka.
"Abel, itu Daniel," kata Claudia pelan. "Ayo, berangkat sekarang. Titip salam buat papa, ya. Aku akan selalu berdoa dari sini."
Abel mengangguk sambil mengusap wajahnya yang basah. Claudia menyerahkan tas Abel, lalu menatapnya penuh haru.
"Papa akan sembuh, kan, Clau?"
Claudia tersenyum kecil meski matanya sembap. "Iya, Bel. Percaya, ya. Yakini dalam hati."
Abel menarik napas dalam, mengangguk, dan melambaikan tangan kepada Claudia sebelum melangkah keluar.
Di luar kamar, Daniel menyambutnya dengan sorot mata penuh perhatian.
"Hey, trust me. Everything’s going to be okay," kata Daniel dengan lembut, mencoba menenangkan Abel.
"Thanks, Daniel," jawab Abel, suaranya hampir berbisik.
Daniel mengambil tas Abel tanpa banyak kata, lalu mereka berjalan beriringan menuju mobil untuk segera ke bandara.
Di perjalanan, Abel hanya diam sepanjang jalan. Matanya menerawang kosong, tenggelam dalam kesedihan. Daniel yang mengemudikan mobil, beberapa kali meliriknya, ingin menyapa atau menghibur, tetapi rasa takut salah bicara membuatnya memilih bungkam. Ia hanya membiarkan Abel bergulat dengan pikirannya sendiri.
Kring.
kring.
Tiba-tiba, ponsel Abel bergetar. Dia mengira itu panggilan dari Ode, tapi ternyata bukan. Itu sebuah nomor asing dari Indonesia muncul di layar. Dengan ragu, Abel mengangkatnya.
“Arabella?”
Suara itu. Suara yang pernah dia kenal tapi kini terasa asing, seperti hal mendebarkan yang kembali mengejutkannya. Itu suara Auriga sosok yang selama ini dia hindari.
“Halo, Arabella, apakah kamu mendengar saya?”ulang suara di sana.
Abel terdiam, lidahnya kelu. “Ha-halo? I-iya? Ini siapa?” Dia mencoba berpura-pura tidak tahu.
“Oh, ya. Saya Riga. Begini, Arabella, kebetulan saya yang menjadi penanggung jawab papa kamu dan Ode, kebetulan Ode juga dalam tindakan operasi terkait kakinya. Sekarang rumah sakit meminta persetujuan untuk tindakan operasi pada papa kamu. Dia mengalami pendarahan di otaknya. Om dan anggota keluarga lainnya sudah setuju. Operasi ini serius dan memerlukan tanda tangan juga persetujuan keluarga inti.”
Abel terdiam, tubuhnya gemetar. Mendengar kabar itu membuat tangisnya pecah. Air matanya mengalir deras, menggambarkan rasa takut dan kaget yang tak terbendung.
“Papa pendarahan di otak..?” bisiknya di sela tangis itu adalah hal yang serius Abel tahu itu.
Auriga tidak langsung menjawab. Ia memberi Abel ruang untuk meluapkan emosinya sebelum akhirnya berbicara. Namun lama sekali Abel diam sampai Auriga pun bersuara lagi.
“Operasi ini adalah tindakan terbaik yang bisa diambil dalam situasi seperti ini.”
Abel menggeleng, meski Auriga tak bisa melihatnya. “Apakah... apakah itu berarti papa belum tentu selamat?”
“Tidak ada yang mengatakan begitu,” jawab Auriga tegas. “Tapi lebih baik mencoba sesuatu daripada tidak melakukan apa-apa sama sekali.”
“Bagaimana kalau papa nggak selamat?” suara Abel bergetar, hampir tak terdengar.
“Ucapan adalah doa, Arabella,” balas Auriga dengan tenang, namun penuh makna.
Abel kembali menangis, bibirnya bergetar hebat, merasa terjebak dalam dilema yang begitu besar. Ia tidak tahu harus berbuat apa, hingga suara Auriga kembali terdengar, kali ini lebih lembut namun tetap tegas.
“Ini memang menakutkan, Abel. Tapi terkadang, hasilnya bisa jauh lebih baik dari apa yang kita takutkan. Jangan mengukur waktu. Satu detik saja sangat berharga dalam situasi genting seperti ini. Apa yang terlihat buruk pada orang lain belum tentu buruk pada kita."
Abel terdiam ucapan Auriga mengenai hatinya juga membuat dia berpikir lebih bijak. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Lalu, dengan suara yang penuh keyakinan, ia berkata, “Ya, lakukan, Om. Tolong apapun itu yang terbaik untuk papa.”
Auriga mengangguk di ujung telepon. “Baik, saya akan segera minta dokter melakukan tindakan.”
Abel menutup telepon dengan tangan gemetar. Air matanya terus mengalir, tapi kenapa ada sedikit harapan yang tersisa di dadanya seperti kata Auriga belum tentu yang terlihat buruk pada orang lain terjadi pada kita juga. Ia hanya bisa berdoa dalam hati, memohon pada Tuhan untuk keselamatan ayahnya.
Di bandara, Daniel dan Abel berdiri saling berhadapan, suasana penuh keheningan yang berat. Sebelum berpisah, Daniel mendekat dan menarik Abel ke dalam pelukannya. Pelukan itu hangat dan penuh dukungan, seperti mencoba membagi kekuatan untuk gadis yang tampak rapuh di depannya.
Di tengah pelukan itu, tanpa Abel menyadari, Daniel menyematkan sebuah kalung di lehernya. Kalung itu sederhana, dengan liontin berbentuk pita kecil yang lucu, berkilauan lembut di bawah cahaya.
"Danie?"
Daniel melepaskan pelukan dan menatap Abel dengan sorot mata penuh perhatian. “Everything will be okay. I’ll be waiting for you to come back, Arabella.”
Abel, yang masih terhanyut dalam kesedihannya, hanya mampu mengangguk pelan. Tapi saat tangannya menyentuh kalung itu dan menyadari keberadaannya, dia menatap Daniel dengan mata yang mulai berkaca-kaca lagi, terharu atas perhatiannya.
Tanpa banyak kata lagi, Abel melangkah pergi menuju gate, meninggalkan Daniel yang berdiri di tempatnya, memandang punggung gadis itu dengan harapan baik dalam hatinya.
***
Setelah perjalanan panjang, akhirnya Abel tiba di Jakarta menjelang malam. Wajah lelah dan kesedihan tampak jelas, meskipun dia mencoba menyembunyikannya di balik kacamata hitam.
Sesaat setelah keluar dari pesawat, seorang sopir keluarga sudah menunggu untuk menjemputnya. Tanpa banyak bicara, Abel masuk ke dalam mobil, mendekap tasnya erat-erat di pangkuannya.
Selama perjalanan, pikirannya penuh dengan kekhawatiran. Dia tidak tahu bagaimana kondisi papa sekarang. Ode, yang juga baru menjalani operasi kaki akibat cedera parah, tidak bisa memberikan kabar terbaru. Abel merasa hampa, seolah waktu bergerak terlalu lambat.
Perjalanan menuju rumah sakit terasa begitu lama, apa lagi mereka terjebak dalam kemacetan khas ibu kota.
Saat akhirnya mobil berhenti di depan rumah sakit, Abel tidak menunggu lebih lama.
Dengan langkah tergesa-gesa, dia keluar dari mobil dan mulai mencari-cari seseorang yang bisa memberinya kabar tentang keadaan papanya. Matanya liar memindai ruangan, mencari wajah yang dikenalnya. Dimana papa? di mana papa?
"Arabella?"
Suara berat yang akrab itu membuatnya berbalik cepat. Di sana, berdiri Auriga bersama Om Hendra, paman Abel. Wajah mereka serius, namun berusaha tenang.
"Om, Papa bagaimana?" tanyanya dengan suara serak, hampir tak terdengar.
Om Hendra menatapnya dengan tatapan penuh simpati. "Operasinya sedang berlangsung, Bel. Kita semua berdoa terus ya."
Abel menggigit bibirnya, menahan tangis yang terasa semakin sulit ditahan. Tubuhnya gemetar, dan untuk sesaat, dia merasa dunia di sekitarnya berputar.
Gadis itu terlihat begitu kacau rambutnya berantakan, wajahnya pucat, dan matanya sembap. Auriga melangkah maju, meraih pundaknya untuk memberikan dukungan.
"Tenanglah," ucap Auriga lembut. "Papa kamu adalah pria yang kuat. Kita harus percaya dia akan kembali pulih."
Abel hanya bisa mengangguk lemah. Air matanya mulai menetes lagi, dan kali ini dia tidak berusah menyembunyikannya. Dengan langkah gontai, dia mengikuti Auriga dan Om Hendra ke ruang tunggu, di mana satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah berdoa dan berharap yang terbaik untuk papanya.
Malam semakin larut di rumah sakit. Auriga melirik Om Hendra, paman Abel, yang sejak tadi batuk-batuk tanpa henti. Wajahnya tampak lelah, dan napasnya terdengar berat akibat asmanya yang kambuh. Dengan nada tegas namun perhatian, Auriga akhirnya meminta Om Hendra untuk pulang dan beristirahat.
“Om, lebih baik Om pulang saja. Saya akan menemani Abel di sini. Kalau ada apa-apa, saya pasti langsung kabari,” ujar Auriga.
"Pulang? Qkasihan Abel."
"Om aku nggak papa, lagian om juga kurang sebat." Yakinkan Abel.
"Iya istirahat dulu, minum obat."
Om Hendra awalnya ragu, namun akhirnya setuju. “Hemm iya ini sakit dada om, kalau begitu, Om pulang dulu ya, Ga titip Abel. kalian juga jaga kesehatan,” katanya sebelum pergi.
"Iya om."
Kini, hanya Abel dan Auriga yang tersisa di ruang tunggu. Suasana sunyi di antara mereka, terasa begitu berat dan penuh kecanggungan.
Dua jam berlalu tanpa satu pun percakapan, hanya hening yang menyelimuti. Abel terus diam, menatap lantai tanpa ekspresi, tenggelam dalam pikirannya.
Tiba-tiba, Auriga mengulurkan sebotol air mineral ke arah Abel. “Mungkin kamu haus,” katanya pelan.
Abel mendongak sejenak dan sedikit terkejut, sesaat menatap pria itu dengan mata yang lelah, lalu mengambil botol itu. “Terima kasih,” gumamnya hampir tak terdengar. Dia menunduk lagi, menghindari tatapan Auriga.
Auriga, yang tampak sedikit khawatir, perlahan duduk di samping Abel. “Istirahat saja. Nanti kalau papa kamu sadar, saya pasti bangunkan,” ujarnya lembut.
Abel menggeleng pelan. Mana mungkin dia bisa tidur dalam keadaan seperti ini? Baginya, papa pun pasti tidak akan bisa tidur jika situasinya terbalik.
Dengan tangan gemetar, Abel mencoba membuka botol itu, tapi tenaganya terasa hilang.
Melihat itu, Auriga dengan sigap mengambil botol dari tangannya membuka tutup botol itu dengan mudah.
Abel merasa semakin canggung. “Terima kasih, Om. ” katanya lagi, suaranya hampir berbisik.
Dia menenggak air itu perlahan, namun pikirannya kembali dipenuhi bayangan masa lalu, Abel tahu dia punya masalah yang belum terselesaikan dengan pria di sebelahnya ini.
Auriga. Nama itu membawa kembali kenangan yang memalukan, kenangan yang sudah dia coba lupakan atau paksa lupa karena tidak tahu harus apa menghadapinya.
“Please,” gumam Abel dalam hati, “ini bukan waktunya. Itu sudah berlalu.”
Dia menatap botol di tangannya, berusaha fokus pasa dirinya. Namun keberadaan Auriga di sisinya, dengan tatapan tenang dan sikap yang tidak bisa di tebak, tetap membuatnya tak nyaman. Tapi yang pasti saat ini Abel harus mengesampingkan perasaannya apapun itu yang terpenting sekarang adalah papa.
Kring
kring
Tiba-tiba di ruang tunggu yang hening, suara ponsel milik Auriga berdering, bukan sekali tapi terus-menerus berdering, memecah keheningan yang sebelumnya hanya diisi oleh napas panjang Abel.
Pria itu awalnya mengabaikan panggilan-panggilan tersebut, namun akhirnya, dia mengangkat telepon dan berjalan keluar, meninggalkan Abel sendirian.
Abel, yang sejak tadi sudah merasa terganggu, sempat melirik sekilas ke arah Auriga sebelum dia keluar dari ruang tunggu. Suara langkah Auriga terdengar samar di koridor, lalu suara pria itu menyusul cukup jelas untuk didengar Abel.
“Ya, sayang... maaf,” ucap Auriga dengan nada pelan, namun tetap terdengar oleh Abel.
Kata-kata itu membuat napas Abel tertahan sejenak. Dia memutar ulang ucapan tersebut dalam pikirannya. “Sayang?” Itu satu kata sederhana, tetapi cukup untuk membuat Abel berasumsi.
Dia punya pasangan sekarang? Pikir Abel. Menikah? Atau... dia kembali dengan Sahara? Nama itu meluncur di pikirannya.
Haruskah dia peduli?
Namun, tanpa sadar, sudut bibirnya sedikit tersungging, sebuah senyuman kecil yang tidak jelas maknanya. Matanya mengikuti Auriga yang menjauh, berdiri di ujung koridor dengan ponsel di telinganya. Pria itu tampak tenang seperti biasanya, posturnya kokoh dan gagah.
Abel menghela napas panjang. “Baguslah, dia kan sudah tua." Abel mengalihkan pandangannya, mencoba menyingkirkan pikiran apapun itu dari benaknya. Yang terpenting sekarang bukan Auriga, atau masalah mereka, tapi papa. Abel memeluk dirinya sendiri, menenangkan hati yang mulai bergejolak tanpa alasan yang jelas.
jdi semua orang tau kn...
akhirnya....
bisa bikin senyum² sendiri dan nangis sesenggukan ☺
Ini cerita anak dari julain kan ya
makin seruu
duhh GPP deh biar confess sekalian yah ga mumpung byk org,
balik dari situ lgsg akad nikah
wkwkwkk
Abel jatuh fokus dan perhatiannya nya mahen sama riga ke Abel semua dan duo lampir tersisih di abaykan byee rencana kalean Gatot🫢