Pada abad ke-19, seorang saudagar China yang kaya raya membawa serta istri dan anaknya menetap di Indonesia. Salah satu anak mereka, Jian An, tumbuh menjadi sosok yang cerdas dan berwibawa. Ketika ia dewasa, orang tuanya menjodohkannya dengan seorang bangsawan Jawa bernama Banyu Janitra.
Pada malam pertama mereka sebagai suami istri, Banyu Janitra ditemukan tewas secara misterius. Banyak yang menduga bahwa Jian Anlah yang membunuhnya, meskipun dia bersikeras tidak bersalah.
Namun, nasib buruk menghampirinya. Jian An tertangkap oleh orang tidak dikenal dan dimasukkan ke dalam sumur tua. berenang di permukaan air sumur yang kini tidak lagi berada di abad ke-19. Ia telah dipindahkan ke kota S, tahun 2024. Dalam kebingungannya, Jian An harus menghadapi dunia yang jauh berbeda dari yang ia kenal, berusaha menemukan jawaban atas misteri kematian suaminya dan mencari cara untuk kembali ke masa lalu yang penuh dengan penyesalan dan rahasia yang belum terungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23
Tidak kunjung bangun, Jian An memutuskan menampar keras wajah Saka ya g pucat. Saka terbangun dengan teriak kesakitan, lepas itu Saka meminum air putih yang Jian An ambilkan.
"Kamu ambil air dimana?" Tanya Saka.
"Sumur kecil itu." Tunjuk Jian An yang mengarah ke toilet.
Saka terkejut dan langsung memuntahkan air yang baru saja ia minum begitu mendengar jawaban Jian An. Wajahnya terlihat pucat pasi, tubuhnya masih gemetar. Ia menatap Jian An dengan ekspresi bingung dan terkejut, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. "Sumur kecil itu?" Ucapnya pelan, masih tidak percaya.
Jian An yang melihat reaksi Saka hanya bisa menatapnya dengan bingung. "Iya, itu satu-satunya tempat air yang ada. Kenapa? Ada apa dengan sumur itu?" Tanya Jian An, merasa heran dengan reaksi berlebihan Saka.
Saka memegangi kepalanya, mencoba menenangkan diri. "Kamu tidak tahu, kan? Itu bukan air biasa. Itu air dari sumber yang tidak... tidak seharusnya digunakan untuk minum." Saka menjelaskan, wajahnya semakin serius.
Jian An semakin bingung. "Lalu, kenapa kamu tadi minum air itu?" Tanya Jian An, masih tidak mengerti dengan penjelasan Saka.
Saka menghela napas panjang. "Sumur itu... ada sesuatu yang lebih dari sekadar air biasa. Ini berkaitan dengan keluarga saya dan sejarah yang sangat panjang. Tidak semua orang bisa menggunakannya." Jawab Saka dengan suara pelan, seakan ada beban berat yang ia sembunyikan.
Jian An tidak mengerti sepenuhnya, tetapi ia bisa merasakan bahwa ada rahasia besar yang tersembunyi di balik kata-kata Saka. “Lalu, apa yang harus kita lakukan?” Tanya Jian An, merasa khawatir jika sesuatu yang buruk akan terjadi.
Saka menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya yang semakin kesal dengan kebingungannya terhadap Jian An. Pandangannya tajam dan sedikit marah, namun di sisi lain, dia merasa jengah karena menyadari bahwa Jian An jelas bukan berasal dari masa sekarang. Perilaku dan reaksinya selalu membingungkan, dan terkadang seperti seseorang yang tidak berada di dunia yang sama.
"Kenapa kamu selalu begitu?" Ucap Saka dengan nada kesal, sambil berusaha menahan perasaan frustasinya. "Kamu memang aneh, Jian An. Kenapa selalu ada hal yang tidak masuk akal dengan apa yang kamu lakukan?"
Jian An menatapnya bingung, tidak mengerti apa yang dimaksud Saka. "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti apa yang kamu katakan," jawab Jian An, merasa semakin tidak nyaman dengan sikap Saka.
Saka mendesah keras, tidak tahu harus bagaimana lagi menjelaskan semuanya. "Kamu... benar-benar tidak tahu, ya? Ini bukan hanya soal kebiasaan anehmu. Ini soal sesuatu yang lebih besar—sebuah masalah yang bahkan orang-orang di zaman sekarang tidak akan bisa paham!"
Jian An merasa frustasi. "Aku tidak tahu apa yang terjadi, Saka. Semua yang aku tahu adalah aku harus mengingat, aku harus menemukan jawabannya, dan aku harus bertahan hidup di sini," jawabnya, suaranya lebih lembut dan penuh keputusasaan.
Saka menatapnya, masih tidak yakin. "Aku tidak tahu apakah kamu gila atau hanya sedang kebingungan, tapi ini semua sangat sulit dimengerti. Aku... aku bahkan tidak tahu bagaimana harus memperlakukanmu."
Jian An hanya bisa terdiam, merasakan perasaan kesendirian yang semakin menguasai dirinya. Meskipun Saka mungkin merasa kesal, dia juga merasa cemas akan apa yang bisa terjadi selanjutnya.
Di kulkas yang besar hanya berisi minuman soda dan beberapa botol susu, tapi perut Jian An masih berbunyi menandakan masih lapar, tidak tega Saka mengambil kan sebotol susu.
"Minum ini saja," ucap Saka yang kemudian mengambil es batu untuk meredakan kebab pipinya.
Jian An menatap botol susu yang Saka berikan dengan tatapan ragu. Di dunia asalnya, dia tidak pernah terbiasa meminum susu begitu saja, terutama tanpa makanan pendamping. Namun, perutnya yang terus bergemuruh mengingatkan dia bahwa dia tidak punya pilihan lain. Dia mengambil botol itu dengan tangan gemetar dan membuka tutupnya, lalu mulai meneguk susu dingin itu perlahan. Setiap tegukan terasa aneh, namun menghangatkan perutnya yang kosong.
Saka memperhatikan dengan seksama, masih merasakan sedikit ketegangan di antara mereka. Dia melihat Jian An menatapnya sejenak sebelum kembali fokus pada susu yang diminumnya. Tanpa sadar, dia merasa sedikit lega melihat Jian An mulai merasa lebih baik. Namun, rasa cemas tetap menggelayuti pikirannya ia merasa seperti tidak bisa sepenuhnya memahami apa yang terjadi pada wanita itu.
Setelah beberapa saat, Jian An meletakkan botol susu itu di meja dan menghela napas, merasa sedikit lebih kenyang meskipun masih ada rasa lapar yang mengganjal. "Terima kasih," ucapnya dengan suara pelan, menatap Saka yang sedang mencoba mendinginkan pipinya dengan es batu. Perasaan terima kasih itu datang dari dalam hati, meskipun dia merasa sedikit canggung dan tidak tahu harus berkata apa lagi.
Saka hanya mengangguk, sesekali menatap ke arah Jian An dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Kamu harus makan sesuatu yang lebih berat nanti," ujarnya, masih dengan sedikit kekhawatiran. "Kamu kelihatan lemah. Ada apa dengan tubuhmu? Aku tidak mengerti kenapa kamu bisa begitu kurus dan... berbeda."
Jian An menunduk, tidak bisa menjawab pertanyaan Saka. Semua yang dia alami terasa seperti mimpi buruk yang tidak ada ujungnya. Dia tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi pada dirinya, apalagi memberi penjelasan yang bisa dipahami oleh Saka. Yang bisa dia lakukan hanya menunggu, berharap waktu akan memberinya jawaban, meskipun setiap hari semakin terasa seperti teka-teki yang tak terpecahkan.
Jian An menatap kosong ke arah meja, memikirkan kata-kata Banyu yang selalu terngiang di telinganya. "Makanlah yang banyak, Jian An. Tubuhmu terlalu kurus," kata Banyu sering kali saat mereka masih bersama. Dalam kenangannya, Banyu selalu peduli pada kesehatannya, bahkan dalam hal-hal kecil seperti makan dengan baik. Rasa rindu mendalam terhadap sahabatnya itu menghampiri hatinya, menambah beban emosional yang sudah cukup berat.
Meskipun Saka memberikan perhatian, Jian An merasa ada perbedaan yang jelas antara perhatian yang diberikan Saka dan perhatian yang dulu diberikan Banyu. Banyu selalu mengerti keadaannya, sementara Saka, meski baik hati, belum bisa benar-benar memahami situasinya. Jian An merasa kesepian, terjebak dalam dunia yang sangat berbeda, dengan orang-orang yang mencoba membantunya, tapi tidak tahu bagaimana cara yang tepat.
Jian An memejamkan matanya sejenak, merasakan perasaan kehilangan yang mendalam. Kehidupan yang sekarang ia jalani terasa seperti benturan antara dunia masa lalunya dan masa kini. Banyu, yang selalu ada untuknya, kini hanya tinggal kenangan. Namun, di sisi lain, Saka, meski tampaknya tidak sepenuhnya mengerti, tetap ada di sampingnya, memberikan perhatian yang tulus, meski kadang terasa asing bagi Jian An.
Dengan perlahan, Jian An menatap Saka yang masih duduk di dekatnya. Meskipun masih ada banyak hal yang membingungkan dalam hidupnya sekarang, Jian An tahu satu hal pasti: ia tidak bisa terus hidup dengan memelihara luka lama. Ia harus belajar untuk menerima kenyataan dan mencari cara untuk bertahan, bahkan jika itu berarti menerima bantuan dari orang-orang yang baru saja ia kenal.
"Terima kasih, Saka," ucap Jian An pelan, mencoba menguatkan dirinya sendiri. "Aku akan mencoba makan lebih banyak, seperti yang Banyu bilang."
Saka terdiam, tubuhnya kaku saat Jian An memeluknya. Selama ini, ia tidak pernah benar-benar dekat dengan orang lain, apalagi dengan seseorang yang berasal dari masa lalu yang begitu asing baginya. Namun, pelukan Jian An terasa hangat dan tulus, seakan menghubungkan mereka dalam cara yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Saka merasakan ada sesuatu yang mengalir melalui tubuhnya, seperti energi yang tak bisa ia hindari, sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak.
Perasaan itu datang begitu mendalam, tak terduga, dan sangat asing bagi Saka. Seperti ada ikatan yang terjalin antara dirinya dan Jian An, meskipun ia tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya. Rasa sakit di dadanya semakin menjadi-jadi, bukan karena fisik, tetapi lebih pada sesuatu yang lebih emosional, yang mengguncang jiwanya. Ini bukan sekadar kekaguman atau rasa terpaksa, tapi ada sesuatu yang lebih dalam yang mulai tumbuh dalam dirinya.
Saka menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya sendiri, tapi semakin ia berusaha menenangkan diri, semakin ia merasakan beban yang berat di dadanya. "Kenapa aku merasa seperti ini?" pikirnya dalam hati. Ia merasa cemas dan tidak tahu harus berbuat apa. Perasaan yang tiba-tiba muncul itu begitu kuat, membuatnya merasa terjebak antara perasaan yang tak ingin ia hadapi dan kenyataan yang harus ia terima.
Namun, Saka juga merasa ada sesuatu yang menyentuh hatinya dalam pelukan itu. Mungkin, selama ini ia terlalu keras pada diri sendiri, mencoba menjaga jarak dari perasaan-perasaan yang tidak ia pahami. Tetapi Jian An, meski asing dan penuh misteri, memberinya sesuatu yang tidak bisa ia temukan dalam kehidupannya yang kaku dan teratur. Ada kelembutan dalam pelukan itu yang membuat Saka merasa dihargai, meskipun ia tidak tahu mengapa.
Saka akhirnya menepuk pelan punggung Jian An, mencoba mencari kekuatan dalam dirinya. "Jangan menangis," ucapnya dengan suara pelan, berusaha memberi kenyamanan meskipun hatinya sendiri masih penuh pertanyaan. "Aku akan ada di sini." Namun, meskipun ia berkata seperti itu, ia sendiri masih merasa bingung dengan perasaannya yang semakin sulit untuk dipahami.