Mardo, pemuda yang dulu cuma hobi mancing, kini terpaksa 'mancing' makhluk gaib demi pekerjaan baru yang absurd. Kontrak kerjanya bersama Dea, seorang Ratu Kuntilanak Merah yang lebih sering dandan daripada tidur, mewajibkan Mardo untuk berlatih pedang, membaca buku tua, dan bertemu makhluk gaib yang kadang lebih aneh daripada teman-temannya sendiri.
Apa sebenarnya pekerjaan aneh yang membuat Mardo terjun ke dunia gaib penuh risiko ini? Yang pasti, pekerjaan ini mengajarkan Mardo satu hal: setiap pekerjaan harus dijalani dengan sepenuh hati, atau setidaknya dengan sedikit keberanian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riva Armis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14: Warna Kerja
Gue terengah-engah ketika sampai di sebuah bengkel mobil yang sudah tutup. Alasan kenapa langkah gue berhenti di sini karena gue melihat ada pergulatan antara asap hitam dan merah. Gue yakin itu Torgol dan Dea. Mereka saling melilit di udara. Gak lama, asap hitam itu jatuh ke tanah, lalu Torgol muncul dengan kesakitan.
Asap merah Dea turun perlahan. Dea berdiri di depan Torgol yang memegangi dahinya. Gue berlari menuju mereka, berharap perkelahian ini disudahi aja. Torgol menyadari gue berlari mendekat. Tepat ketika Dea mencoba mencekiknya, Torgol berubah jadi burung kecil dan terbang masuk ke mulut gue! Gue makan burung hidup-hidup!
Terakhir kali gue melihat hal ini, Torgol membuat seekor macan hitam meledak! Anjir! Apa gue juga akan begitu!? Sialan! Dea berubah menjadi asap merah lagi dan terbang masuk lewat lubang hidung gue! Anjir! Ini apaan lagi, sih!? Gue merasa ada sesuatu yang hidup di dalam tubuh gue.
Gue tersedak, membuat Torgol yang dalam bentuk burung kecil keluar diselimuti asap merah tanpa bergerak. Dea berdiri di samping gue, merebut pedang lalu menjadi asap merah lagi. Pedang gue melayang ke arah Torgol dan menusuknya! Burung kecil itu berubah menjadi asap hitam dan masuk ke dalam pedang gue. Terdengar suara Torgol untuk terakhir kalinya.
"Lihat ... ini ... Mardo."
Pedang gue berubah warna menjadi hitam dengan gagang merah. Dea kembali ke wujud asalnya dan berjalan sambil menyerahkan pedang gue. Gak ada senyum atau air mata di wajahnya. Dia cuma berlalu kemudian menghilang. Ketika gue menggenggam pedang gue yang sekarang berubah warna, gue merasa bisa menebas apa pun.
Gue berjalan pulang ke rumah. Di keramaian tempat kebakaran tadi, gue dipanggil oleh seorang anak kecil yang sebelumnya teriak-teriak dari luar warung. Bapak pemilik warung sedang terbaring di teras rumah warga yang gak kebakar. Dia sudah sadar.
"Makasih, ya, Kak," kata anak itu.
"Makasih sudah nyelamatin saya, ya, Do."
"Iya, Pak."
Di rumah gue yang sekarang gak punya pintu dan jendela, gue melihat semua listrik sudah kembali nyala. Dea duduk di meja makan dan terus menatap gue. Gue gak membalas tatapannya atau pun bersuara apa-apa. Gue langsung ke kamar mandi buat cuci muka.
"Mardo! Aku mau ngomong!" teriaknya.
Gue langsung masuk ke kamar dan mengunci pintu.
"Kenapa kamu selamatin orang itu!?"
Dea tiba-tiba sudah berdiri di belakang gue.
"Kenapa?" tanya gue ketika menatapnya.
"Dia orang jahat! Dia ngasih kamu makanan kadaluarsa, Do!"
"Emang kenapa? Aku gak akan mati gara-gara itu, kok."
"Aku gak suka, Do! Aku gak suka ada orang seenaknya sama kamu!"
"Kenapa? Kamu tahu apa tentang aku!? Kamu tahu apa soal Pak Timan!? Kamu gak tahu apa-apa, dan aku juga gak tahu kamu siapa!"
Dea terdiam, melangkah mundur lalu duduk di tepi kasur.
"Kalau kamu gak ada keperluan apa-apa sama aku, mending kamu pergi sekarang! Kalau kamu mau ambil gayung aku, ambil aja! Jangan ke sini lagi!"
Ada air mata menetes di pipinya. Sedetik kemudian dia pun menghilang. Meninggalkan aroma bunga mawar yang terasa menyesakkan. Hari sudah hampir pagi. Untungnya gue sedang diliburin sama si Bos karena kemarin Sulay sakit. Seenggaknya gue punya waktu buat istirahat dan menenangkan pikiran. Tidur pulas gue terbangun ketika gue mendengar suara orang dari luar.
"Mardo ...."
Suara cewek? Suara dia! Suara Naya!? Gue berjalan ke pintu depan yang belah dua. Di antara celahnya, gue melihat Naya sedang berdiri dengan baju dan rambut cokelat.
"N-naya!?"
"H-hai. Boleh masuk?"
Kami duduk berhadapan di meja makan dengan canggung. Di depan gue masih ada dua bungkus mie instan yang gak jadi gue makan tadi malam. Akhirnya, gue memberanikan diri buat memulai obrolan.
"Ada apa, Nay?"
"Aku dengar ada kebakaran di dekat rumah kamu. Makanya aku ke sini."
"Oh ... gitu."
Kembali hening.
"Kamu baru bangun jam segini, ya?"
Gue menoleh ke arah jam dinding.
"I-iya ... gara-gara tadi malam begadang."
"Emm ... kamu sekarang sibuk apa, sih? Kok WhatsApp aku gak dibalas?"
"Aku kerja. Kantoran gitu ... tapi bagian lapangan."
"Serius? Selamat, ya. Nanti jangan lupa traktir, ya kalau gajian."
"I-iya, boleh."
Kembali hening, dan gue mulai kelaparan. Perut gue bunyi di tengah sepi itu.
"Kamu belum makan, kan?" tanyanya.
"Iya. Dari kemarin sore belum makan apa-apa."
Naya membuka kulkas gue. Diluar logika, dia mengeluarkan bahan-bahan masakan! Kok bisa!? Bukannya kulkas gue kosong, ya? Kalau gue bilang kulkas gue kosong dan sekarang tiba-tiba penuh, bisa-bisa Naya langsung pulang dan menganggap gue gila. Jadinya gue diam aja.
"Kamu mau aku masakin apa?"
"Apa aja, deh. Yang penting gak bikin repot."
"Emm ... kamu masih suka roti, kan?"
"Iya masih."
"Oke, tunggu, ya. Aku bikinin dulu."
Gue masuk ke kamar mandi. Bak air penuh, dan kembali ada taburan bunga mawar di lantai. Gue mikir, apa jangan-jangan Dea yang ngisi kulkas gue? Tapi kapan? Dan kenapa? Setelah gue selesai mandi, Naya sedang menata meja. Ada roti isi di sana. Gue senang banget.
Walaupun masih ada gosong kayak dulu, tapi gue rasa kemampuan memasaknya jauh meningkat. Gue makan banyak karena emang kelaparan, dan dia hanya memperhatikan gue dengan senyumnya itu. Senyuman maut yang membuat hari-hari gue gak tenang.
"Enak nggak?"
"Enak. Makasih, ya."
"Tambah lagi, dong. Masih banyak, kok di kulkas kamu."
"Iya. Eh, iya ... Nay. Kenapa warna cokelat?"
Naya menyentuh rambutnya. Rambut pendek sebahu dengan warna cokelat.
"Gak tahu juga, ya. Lucu aja. Gimana? Bagus gak?"
"Bagus, kok."
"Cantik ... nggak?"
Gue tersenyum dan mengangguk. Mengakui kecantikannya.
"Kamu masih suka mancing?"
"Alat-alatnya udah aku jual. Aku gak pernah mancing lagi."
Naya cuma diam. Gak lama lagu Indonesia Raya berbunyi dari kamar gue.
"Bentar, ya. Ada telepon."
"Oh iya, aku juga mau pulang. Yang penting aku udah tahu kalau kamu dan rumah kamu gak apa-apa "
"Makasih, ya, Nay rotinya. Enak banget. Aku suka."
Wajah Naruto kembali muncul di layar HP gue. Pas banget, gue juga mau nyeritain soal Torgol dan Dea sama Sulay. Dia harus tahu semuanya.
"Halo, Pak? Udah sehat?" tanya gue.
"Udah mendingan, Do. Gue udah di kantor."
"Hah? Bukannya kita disuruh libur dulu, Pak?"
"Gue gak suka nganggur. Kalau rumah lo gak kebakaran, lo buruan ke kantor."
"I-iya, Pak. Gue ke sana."
Sebelum gue pergi ke kantor, gue mencoba sebisa mungkin benerin pintu dan jendela gue terlebih dahulu. Untungnya gue ini sering ngelihatin tukang, jadinya gue sedikit ngerti soal pertukangan. Gak perlu bagus, yang penting berfungsi aja dulu. Dan fungsi yang terjadi sekarang adalah: pintu gue gak bisa dibuka lagi. Gak ada yang bisa masuk dan gak ada yang bisa keluar, sampai pintunya dijebol ulang. Gue emang berbakat.
Sulay bilang kalau dia lagi ada di kantin sama Mery. Gue langsung menuju ke sana. Dari jauh, gue terpana saat melihat rambut panjang Mery yang bergradasi hitam ke cokelat. Memukau banget. Gue sampai-sampai nabrak meja karena gak fokus jalan. Karena numpahin kopi orang di meja, orang-orang langsung ngelihatin gue. Termasuk Sulay dan Mery.
"Kalau jalan yang bener, dong!" kata Mas-mas itu.
"M-maaf ... maaf, Mas."
Sulay dan Mery mendatangi gue.
"Maaf, ya Mas. Saya buatin lagi kopinya," kata Mery.
"Iya cantik. Yang manis, ya."
Gue dan Sulay duduk bersebelahan. Gue memperhatikan Mery yang sedang bikin kopi. Entah kenapa gue tersenyum sendiri.
"Do. Rumah lo gimana?"
"Aman, Pak. Cuma jebol pintu sama jendela doang, kok,"
"Kok bisa?"
"Iya, Pak. Jendelanya ditabrak asap merah, terus pintunya gue tebas belah dua."
Sulay mengusap-usap dahinya sambil menarik napas panjang.
"Terus? Ada kejadian apa lagi?"
Mery datang dan menyodorkan kopi kepada gue.
"Ngobrolin apa, sih? Ngomongin gue, ya?"
"Mardo melihat asap merah di rumahnya."
"Serius, Do?"
Gue mengangguk sambil meminum kopi buatan Mery.
"Namanya Dea—"
Sulay dan Mery langsung kaget banget. Sulay buru-buru menutupi mulut gue dengan tangannya. Lalu berbisik:
"Jangan sebut nama itu di sini!”