Trisha Adalah gadis yang tinggal di sebuah desa di australia, keluarganya sangat ketat dengan pergaulannya, ia bersama sepupunya Freya hanya di perbolehkan bekerja dirumah dan membantu pekerjaan rumah, bahkan ia tidak di perbolehkan untuk bekerja atau pun kuliah. Sampai di suatu ketika Freya membawa kabar bahagia pada Trisha bahwa ia akan menikah dengan seorang lelaki yang berasal dari ibu kota. Kedua keluarga membuat perjodohan itu, dan semuanya mulai di sibukan untuk acara pernikshsn, namun tanpa disangka-sangka Trisha bertemu dengan seorang lelaki tampan di sebuah toko kue. Pandangan mereka berdua bertemu, Trisha hanya memandang lelaki itu biasa saja, namun tidak dengan lelaki rupawan bernama Adrian, yang ternyata lelaki yang akan di jodohkan dengan Frey.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Purpledee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 32. Pergi dari semua rasa sakit
Momen itu terasa begitu lambat, Trisha menoleh kebelakang setelah suara itu berlalu dan memudar oleh angin. Matanya terbuka lebar ketika ia melihat Adrian sedang menodongkan pistol ke kepalanya. Trisha perlahan bangkit. “Kau tidak ingin melihatku lagi, bukan? Aku akan mengabul-”
“Stop Adrian! Jangan bercanda. Letakan pistol itu!”
“Tidak!”
Ia meradarkan penglihatannya kesekeliling namun, tidak ada siapa pun disana. Ia berjalan perlahan-lahan mendekati Adrian. “Adrian, jatuhkan pistol itu sekarang! Jangan bercanda, ini tidak lucu Adrian!” Kata Trisha memperingatinya.
Namun Adrian hanya tertawa sinis. “Aku tau kau tidak akan pernah percaya dengan apa yang aku lakukan dan apa yang aku katakan. Jadi akan aku buktikan.”
“Adri-”
DORR!
Adrian menembakan pistol itu kebahunya, ia terhuyung hampir jatuh darah mengalir turun dari bahunya ke jari-jemarinya. Trisha yang melihat itu benar-benar sangat Syok, bahkan ia tidak bisa bergerak saat Adrian mulai mengarahkan pistol itu pada kepalanya dan siap menarik pelatuknya, tapi Trisha seketika langsung berlari memeluk Adrian. “Aku mohon…” gumamnya.
“Jangan… tinggalkan aku…”
Pistol itu terlepas dari tangannya dan Adrian pun tidak sadarkan diri. “Adrian? Adrian…” Trisha menidurkan Adrian di tortoar, ia segera menelpon ambulan dengan tangan yang gemetaran sementara tangan yang lainnya menahan lukanya agar bisa menghentikan pendarahan pada bahu Adrian.
...○○○...
Trisha berjalan mundar-mandir menunggu dokter yang sedang melakukan tindakan di dalam ruangan. Wajahnya memucat setelah lima belas menit dokter tak kunjung keluar. Namun setelah beberapa menit kemudian seorang dokter pun keluar. “Bagaimana dok keadaannya?”
“Dia baik-baik saja, pendarahan di bahunya sudah berhenti. Sebentar lagi ia akan siuman.” kata Dokter. Trisha bergegas masuk ke dalam ruangan dimana Adrian di rawat. Ia berjalan menghampiri Adrian yang terbaring tak sadarkan diri. Trisha menundukan kepalanya melihat tangan Adrian yang perlahan ia genggam. Beberapa saat ia menyalahkan dirinya atas kejadian ini, dan disisi lain ia marah karena ke egoisan Adrian. Trisha terus menemani Adrian sampai ia tertidur disampingnya.
Di kemudian pagi, Trisha perlahan membuka matanya karena ia merasakan seseorang mengelus-elus kepalanya. Tangan itu milik Adrian yang saat itu sudah sadarkan diri. Trisha membetulkan duduknya lalu menautkan alisnya. Pandangan mereka saling menaut, namun tidak ada satu patah kata pun y ang keluar dari mulut mereka, sampai seorang dokter datang untuk mengecek keadaaan Adrian.
Di sela Adrian di periksa oleh dokter, ia pergi ke kamar mandi untuk mencuci mukanya. Beberapa saat ia memandang dirinya sediri di pantulan cermin. Keputusannya yang sudah bulat untuk bercerai mulai goyah. Setelah beberapa saat Trisha pun keluar dari kamar mandi, dan saat ia masuk kedalam ruang rawat inap, sudah ada Esme dan Ny. Audy.
“Ibu,” gumam Trisha.
Esme langsung beranjak dan memeluk Trisha. “Kau tidak apa-apa kan, nak?” tanyanya khawatir. Trisha kebingungan dengan pertanyaan itu, dan tidak sengaja pandangannya bertemu dengan Adrian. Adrian mengedipkan satu matanya, mengisyaratkan sesuatu.
“I-iya, aku… baik-baik saja.”
“Adrian sudah menceritakan semuanya. Aku sangat bersyukur kalian berdua baik-baik saja, meskipun Adrian terluka.”
“Kenapa kalian jalan lewat jalanan yang sepi?”
Trisha hanya terdiam dan kebingungan dengan semua pertanyaan itu. “Ck! Kami hanya ingin mencari suasana yang tenang saja, jadi kami memilih lewat jalanan yang sepi.”
“Kakek mu akan marah karena kau menyetir Adrian.” kata Ny. Audy
“Aku tahu.”
Adrian tersenyum sambil menoleh pada Trisha, ia mengulurkan tangannya. “Maafkan aku, kau pasti sangat ketakutan.” ujarnya. Trisha terdiam dengan mata yang berderai.
...○○○...
Beberpa hari Adrian di rawat di rumah sakit, satu persatu orang-orang berdatangan untuk menengok Adrian, Termasuk Anna. Anna sempat bersikukuh untuk menemani Adrian, namun Adrian menolaknya,ia hanya ingin di temani Trisha seorang. Beberapa hari Trisha terus disamping Adrian, namun ia masih belum bisa memutuskan bagaimana hubungan mereka kedepannya.
Satu minggu berlalu, keadaan Adrian berangsur-angsur mulai pulih dan Dokter sudah memperbolehkannya untuk pulang. Mau tidak mau Trisha harus menjalani hari-harinya satu atap dengan Anna yang tengah hamil, meskipun Adrian lebih menyempatkan waktunya untuk Trisha, namun Trisha belum bisa menerimanya, mungkin Trisha tidak akan pernah bisa menerimanya.
Pergi pagi untuk bekerja, pulang malam dan langsung beristirahat. Kehidupannya lebih fokus untuk bekerja, waktunya hanya ia habiskan untuk bekerja. Suatu malam pak Adam mengetuk pintu kamarnya. Ia di panggil untuk menemui tuan Jeradin malam itu. Tanpa berfikir panjang, Trisha langsung bergegas.
Sesampainya ia di ruangan Tuan Jeradin, ia di persilahkan duduk di sofa, Trisha tidak sanggup untuk menegakan kepalanya memperlihatkan air matanya yang hampir jatuh. Tuan Jeradin duduk di sofa, tepat di hadapannya. “Angkat kepalamu, nak.”
Trisha perlahan mengangkat kepalanya dan menatap Tuan Jeradin dengan mata yang berlinang. “Ada hal yang ingin aku bicarakan denganmu. Tentang… hubunganmu dengan Adrian.”
“Apa yang ingin kakek bicarakan tentang hubungan kami?”
“Aku tidak ingin ada perceraian dalam keluarga ini. Aku terpaksa melakukan ini semua, demi keluarga ini. Atas nama keluarga ini aku meminta maaf yang sebesar-besarnya.” Tuan Jeradin bangkit lalu membungkukan setengah badannya di hadapan Trisha. “Jika seperti itu, biarkan aku pergi dari rumah ini. Aku tidak akan bercerai dengan Adrian, tapi aku ingin pergi dari rumah ini.” kata Trisha.
Tuan jeradin menatap Trisha, begitu pun sebaliknya. “Setidaknya, sampai Anna pergi dari rumah ini. Mungkin jika kalian ingin menikahkan Adrian dan Anna-”
“Itu tidak akan pernah terjadi di rumah ini. Aku akan mengurus semuanya.” kata Tuan Jeradin.
...○○○...
Salju pertama turun malam itu, angin bertiup cukup kencang di sertai hujan salju yang lebat. Trisha memutuskan untuk tidak pulang malam itu, ia menginap di kantor, sambil mengerjakan sebuah proyek baru yang atasannya percayakan padanya, waktu sudah menunjukan pukul satu dini hari. Ponselnya ia matikan agar tidak ada yang mengganggunya, namun ternyata ia salah. Adrian tiba-tiba datang dan masuk ke dalam kantor Trisha yang masih bekerja. Mereka beradu pandang cukup lama.
“Apa yang kau lakukan disini?” tanya Adrian dengan bibir yang sedikit membiru karena kedinginan. “Seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Apa yang kau lakukan disini?”
Adrian mendekat dan menatap Trisha lekat-lekat. “Kau tidak lihat jam? Sekarang sudah jam satu dini hari, dan kau masih di kantor!”
Trisha hanya diam tidak peduli dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Namun Adrian tidak membiarkan hal itu. Ia menarik kursi Trisha untuk menjauhkannya dari komputer. “Adrian! Aku sedang bekerja!” sarkasnya. “Waktu bekerjamu sudah selesai! Kita pulang!”
Adrian mengambil tas dan memakaikan coat pada Trisha lalu menariknya pergi. Adrian terus menggandeng Trisha sampai mereka berada di lantai dasar dan berjalan menuju pintu keluar. “Tunggu sebentar.” kata Adrian sambil merogoh saku coatnya untuk mengambil ponselnya. “Dimana mobilmu?” tanya Trisha sambil meradarkan pandangannya.
“Mobilku sedang ada di bengkel, aku akan meminta izel untuk-”
“Lalu kau datang kemari pakai apa?”
Adrian menoleh pada Trisha. “Kau tidak melihat bibirku yang sudah mati rasa ini? Jelas-jelas aku berjalan kaki untuk datang dan menjemputmu.”
“Ya sudah kita jalan kaki saj-”
“Tidak tidak tidak, aku tidak ingin kau kedinginan, lalu sakit. Tidak akan!”
Trisha terdiam beberapa sesaat. Lalu sebuah pesan tiba-tiba masuk keponselnya. Pesan itu dari tuan Jeradin. Beberapa saat mereka menunggu mobil datang untuk menjemput mereka. Dalam perjalanan Trisha hanya terdiam, menatapi keluar jendela.
Di ke esokan paginya, setelah sarapan selesai, Trisha langsung di panggil oleh Tuan Jeradin untuk ke ruang kerjanya. Ia duduk di sofa, lalu tuan Jeradin memberikan sebuah berkas. Trisha mengambil berkas itu lalu membacanya dengan seksama.
“Pergilah ke Dubai, aku percayakan perusahaanku disana kepadamu. Orang kepercayaanku akan membimbingmu disana.” kata Tuan Jeradin. Trisha terdiam kaku beberapa saat, lalu menghapus air matanya yang tiba-tiba terjatuh. Lalu Trisha beranjak dan membungkukan setengah badannya. “Terima kasih atas semuanya.” kata Trisha sambil terisak. Tuan Jeradin beranjak lalu memeluk Trisha dengan hangat. “Maafkan aku atas semua kesalahan cucu ku.” kata Tuan Jeradin. Tangis Trisha pecah saat Tuan jeradin memeluknya dengan hangat.
...○○○...
Beberapa hari kemudian, di pagi hari Trisha mulai mengemasi barang-barangnya. Namun sebelum ia pergi ia akan menghadiri sarapan bersama keluarga, sarapan terkahir dia dirumah itu. Semua orang sudah ada di ruang makan termasuk Anna dan Adrian, namun Trisha tidak ingin ambil pusing. Semua orang duduk di kursi masing-masing, dan tidak lama kemudian tuan Jeradin pun datang. Para pelayan mulai sibuk membuka-bukakan penutup makanan Saat Tuan Jeradin mengisyaratkan untuk memulai sarapannya.
Sarapan berjalan seperti biasanya, hanya gesekan sendok dan garpu yang memenuhi ruang makan. Sesekali Adrian menoleh pada Trisha, ia menyadari sesuatu yang aneh dari istrinya, namun ia tidak berani membuka pembicaraan ketika sarapan masih berlangsung. Setelah makanan penutup selesai, Adrian mulai membuka pembicaraan pada Trisha. “Hari ini kau libur?”
Trisha menoleh pada Adrian lalu menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kecil. “Hari ini, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengan kalian semua.” Tuan Jeradin menjedanya “Yang pertama, Kelahiran anak Adrian dan Anna tinggal mengitung minggu, jadi Aku harap kau Adrian, bisa lebih memperhatikan Anna.”
“I-iya baik kakek.” jawab Adrian gelagapan sambil menoleh pada Trisha. “Dan yang terakhir, Aku sudah memutuskan, akan memberikan kepercayaan penuh pada menantu keluarga ini, Trisha, Untuk mengambil alih perusahaan kita yang berada di Dubai. Trisha akan sepenuhnya mengelola perusahaan itu.”
Semua orang nampak syok dengan apa yang di sampaikan oleh tuan Jeradin. “Tap-”
“Keputusanku sudah bulat. Dan hari ini, Trisha akan melakukan perjalanan bisnisnya ke Dubai.”potong Tuan Jeradin.
Namun Adrian nampak tidak setuju, ia menatap Trisha yang ada di sampingnya, berusaha memegang tangannya, tapi Trisha tidak mau. Adrian Tidak bisa berbuat apa-apa saat itu, ia tidak bisa menentang ke putusan yang sudah di buat oleh sang kakek.
Semuanya sudah selesai, Trisha berpamitan pada semua anggota keluarga, namun tidak dengan Adrian yang akan mengantarkan lagsung Trisha menuju Airport. Dalam perjalanan Mereka tidak bicara sama sekali, namun Adrian nampak terpukul. Sesekali ia menghapus air matanya yang terjatuh tapi Trisha tidak menggubrisnya.
Sesampainya di Airport, Trisha langsung berpamitan pada Adrian. “Aku harus pergi sekarang,” kata Trisha lalu mengambil alih kopernya dari tangan Adrian. “Bisakah aku memelukmu?” pinta Adrian getir. Trisha terdiam beberapa saat lalu membuka tanganya. Adrian mendekat lalu memeluk Trisha dengan erat, dan disitu juga tangisnya pecah. Ia menenggelamkan wajahnya dileher Trisha, dan perlahan tangan Trisha naik dan membalas pelukan Adrian. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Adrian, ia hanya menangis sesegukan. “Adrian, aku harus segera pergi.”
Adrian melepaskan pelukannya, dan Trisha segera menghapus air mata Adrian yang menangis seperti anak kecil. “K-kabari aku setiap waktu.” kata Adrian. “Aku akan mengabarimu.”
Trisha pun pergi, namun saat ia sudah berada didalam pesawat tangisnya pecah. Ada rasa sakit yang tidak bisa ia jelaskan di dalam hatinya.
...○○○...
To Be Countinue...