Dijual oleh ayah tirinya pada seorang muncikari, Lilyan Lutner dibeli oleh seorang taipan. Xander Sebastian, mencari perawan yang bisa dinikahinya dengan cepat. Bukan tanpa alasan, Xander meminta Lily untuk menjadi istrinya agar ia bisa lepas dari tuntutan sang kakek. Pernikahan yang dijalani Lily kian rumit karena perlakuan dingin Xander kepadanya. Apa pun yang Lily lakukan, menjadi serba salah di mata sang suami. Xander seakan memiliki obsesi dan dendam pribadi pada hidupnya. Bagaimanakah nasib Lily yang harus menjalani pernikahan dengan suami dinginnya? Haruskah ia bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lilyxy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Lily berjalan menyusuri koridor rumah sakit menuju ruang perawatan sang Ibu dengan tatapan kosong. Dia tidak peduli lagi dengan pandangan orang lain padanya saat ini.
Lily masih berada di jalan buntu karena dia masih tidak tahu apa yang harus dilakukan. Selain harus membayar biaya rumah sakit, sepertinya dia juga harus bersiap masuk penjara kalau Xander benar melaporkannya ke polisi.
Lily benar-benar hilang akal. Kalaupun dia melanjutkan pernikahan kontrak itu, bahkan sisa uang yang Xander berikan tidak akan cukup untuk membayar biaya rumah sakit.
Lily sendiri tidak mengerti kenapa hutang keluarganya bisa jadi sebanyak itu. Selama ini, ayah tirinya lah yang bertanggung jawab untuk mengatur keuangan mereka.
Sedangkan, Lily hanya fokus bekerja membanting tulang untuk menutupi segalanya. Walaupun semua itu tidak akan pernah cukup meskipun seluruh tenaganya terkuras habis.
Hingga dia tiba di depan pintu ruang rawat sang ibu. Lily menghentikan langkah dan memilih untuk bersandar di pintu. Tubuhnya luruh hingga kini dia terduduk begitu saja di lantai.
Sambil memeluk lutut, Lily menangis tergugu. Keinginan terbesarnya hanya satu, yakni menyelamatkan sang ibunda. Namun, dia masih belum menemukan jalan keluarnya.
**
"Tuan, dari informasi yang saya dapat, Nona Lily harus segera menyelesaikan biaya operasi ibunya besok pagi sebesar enam ratus ribu dolar. Dan saya juga sudah menghubungi pendonor yang akan menjadi donor ibu Nona Lily tersebut." Dario mulai memberi informasi.
"Beliau juga mengatakan akan bernegosiasi dengan Nona Lily ketika Nona Lily menghubunginya. Mungkin setelah ini Nona Lily akan segera menemuinya. Pendonor itu mengatakan akan meminta biaya sebanyak 50 ribu dolar untuk sumsum tulang belakang yang akan ia donorkan." Dario menjelaskan.
Di lain sisi, Dario yang dengan mudah sudah mengantongi semua informasi mengenai masalah yang menjerat Lily, segera melaporkannya pada Xander.
Dario diam-diam juga berada di rumah sakit tempat ibu Lily dirawat. Dia bahkan sedang mengamati Lily yang masih menangis tersedu di depan ruangan ibunya.
"Bagus. Hubungi pendonor itu lagi dan katakan untuk menaikkan biaya donor sumsum tulang belakangnya. Perintahkan dia untuk menaikkan sampai dua ratus ribu dolar. Gadis itu tidak akan bisa menolaknya. Kalau perlu, panggil salah satu lintah darat yang berhubungan dengan gadis itu untuk menagih hutangnya." Xander mengutarakan ide.
"Tekan dia sedemikian rupa agar tidak punya pilihan lain, Dario. Aku benar-benar ingin dia kembali memohon dan berlutut padaku. Dia telah berani menamparku, maka aku akan memberinya pelajaran yang benar-benar berharga yang tidak akan pernah mungkin ia lupakan!" Xander tampak serius dengan rencananya.
Setelah mengatakan semua yang ingin dia katakan, Xander yang masih berada di ruang kerjanya segera mengakhiri panggilan. Dario menyimpan ponselnya saat Lily bergerak masuk ke dalam ruangan ibunya..
**
"Bu...."
Lily mengusap punggung tangan sang ibu yang masih terlelap dalam tidurnya. Air matanya masih menitik tanpa bisa ia tahan. Ia benar-benar tidak tega melihat kondisi wanita paruh baya yang terbaring lemah di atas ranjang.
"Lily," ucap Rose lirih.
Rose dengan mata sayu terbangun saat merasakan sentuhan lembut tangan putrinya. Dia kemudian menyentuh pipi Lily yang basah dengan tangan yang pucat pasi. "Apa kamu menangis?"
Lily yang menyadari ibunya terbangun, segera menyeka air matanya. Ibunya tidak boleh sampai tahu kalau ia sedang menangis. Ia tidak ingin membuat ibunya bersedih.
"Ibu. Apa aku mengganggu tidur Ibu?" tanya Lily.
Gadis itu berusaha mengembangkan senyum untuk mengalihkan pertanyaan sang ibu. Dia kemudian menyentuh tangan Rose yang tengah membelai wajah cantiknya.
"Bagaimana perasaan Ibu? Apa ibu baik-baik saja?"
Wanita paruh baya itu tersenyum pada Lily. "Tentu, Sayang. Ibu baik-baik saja. Kamu sama sekali tidak perlu khawatir. Apa pekerjaanmu sudah selesai? Kenapa sore begini sudah berada di sini?"
"Sudah, Ibu. Hari ini pekerjaanku tidak banyak. Untuk itu aku bisa mengunjungi ibu lebih awal." Tentu saja Lily berbohong.
"Pasti kamu sangat lelah,Lily. Kamu sering bekerja sampai larut malam. Lalu esok hari akan mengulangi hal yang sama sepanjang hari. Kamu harus pandai-pandai membagi waktu untuk istirahat, Sayang. Jangan sampai kelelahan dan malah membuatmu jatuh sakit."
Lily membawa tangan ibunya yang masih setia mengusap pipinya itu mendekat ke bibir. Dia mengecup punggung tangan Rose dan kemudian meletakkan di atas pangkuannya.
"Ibu tenang saja. Aku bisa menjaga diriku dengan baik. Ibu yang harus banyak istirahat, agar segera bisa sembuh dan keluar dari rumah sakit ini. Aku benar-benar merindukan masakanmu, Bu," rengek Lily bak anak kecil.
Rose terkekeh melihat tingkah sang putri."Ibu juga sudah bosan berada di rumah sakit ini, Sayang. Ibu ingin cepat sembuh dan segera pulang agar bisa mengurus mu. Oh lihatlah, tubuhmu juga menjadi lebih kurus dari yang sebelumnya, Lily. Apa kamu tidak memperhatikan pola makananmu?"
"Tidak, Ibu. Tentu saja aku memperhatikannya. Ibu tahu kan kalau aku tidak bisa melewatkan jam makanku. Aku sedikit kurus karena sengaja sedang diet, Bu. Sepertinya tubuhku terlalu berisi sebelumnya." Sekali lagi Lily beralasan.
Rose sambil tersenyum pada sang putri. "Apa kekasihmu yang menyuruhmu diet? Ayo katakan pada Ibu... apakah yang ibu katakan benar? Apa kamu sudah memiliki tambatan hati saat ini?"
Lily kemudian tersipu malu. "Ah, ibu. Mana mungkin aku memiliki pacar. Aku tidak punya waktu untuk itu. Kecuali bosku itu tiba-tiba menyatakan cinta padaku dan melamar ku. Mungkin saja saat itu aku memiliki seorang pasangan. Karena ibu tahu, bukan? Sepanjang waktu aku habiskan berdua dengannya. Siapa lagi jodohku kalau bukan dia?"
Lily tentu berusaha menunjukkan kalau dia baik-baik saja dan Rose mempercayainya. Sang ibu lega melihat sang putri tetap ceria seperti biasanya.
Walau hati wanita paruh baya itu juga dilanda kecemasan, karena menyadari kalau penyakitnya sulit disembuhkan dan usianya pun mungkin tidak lama lagi.
"Semoga pria baik itu benar-benar menjadi jodohmu, Lily. Dia terlihat baik dan perhatian padamu," ucap Rose. .
Tentu saja ia mengenal Andrew yang merupakan pimpinan Lily. Pria tampan itu pernah beberapa kali datang untuk menjenguknya. Rose sangat terkesan dengan sikap sopan dan perhatian darinya.
"Bolehkan aku mengaminkan harapanmu walau hal itu tidak mungkin, Bu?" tanya Lily pada sang ibu.
"Kenapa tidak mungkin, Sayang?" Rose berkerut menatap sang putri.
"Karena Tuan Andrew akan dijodohkan oleh keluarganya dengan seorang perempuan dari kalangan keluarga pebisnis juga, Bu. Jadi, sepertinya tidak mungkin dia yang akan berjodoh denganku. Sepertinya aku akan mendapatkan jodoh yang lebih dari segalanya dari pada dia." Lily tampak bersemangat
"Aamiin," jawab Rose cepat.
Sebagai seorang ibu, Rose ingin putrinya mendapat pria yang tepat. Dia ingin ada seorang pria yang mampu menjaga dan merawat Lily dengan tulus untuk menggantikan tugasnya.
"Ibu juga berharap kamu mendapatkan jodoh yang terbaik Lily. Ibu juga ingin memiliki lebih banyak waktu agar bisa melihat dan merawat cucu Ibu suatu saat kelak." Rose tampak berharap.
Ucapan Rose jelas membuat hati Lily sakit bagai diremas. Dia juga sangat ingin melihat ibunya sehat kembali,menyaksikannya menikah, hingga menimang cucunya nanti.
Membayangkannya saja sudah membuat haru kembali menyeruak di dada Lily. Harapan sang Ibu juga harapannya. Siapa juga yang tidak ingin merasakan momen manis semacam itu?
**