"Tidak perlu Lautan dalam upaya menenggelamkanku. Cukup matamu."
-
Alice, gadis cantik dari keluarga kaya. Hidup dibawah bayang-bayang kakaknya. Tinggal di mansion mewah yang lebih terasa seperti sangkar emas.
Ia bahkan tidak bisa mengatakan apa yang benar-benar diinginkannya.
Bertanya-tanya kapankah kehidupan sesungguhnya dimulai?
Kehidupannya mulai berubah saat ia diam-diam menggantikan kakaknya disebuah kencan buta.
Ayo baca "Mind-blowing" by Nona Lavenderoof.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lavenderoof, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 Dua Souvenirs
Alice menoleh, mendapati Cindy datang dengan wajah cerah sambil membawa dua cup minuman dingin di tangannya. Cindy melambai penuh semangat, seperti tidak sadar bahwa ia sudah bersusah payah membawa semua barang mereka.
"Cindy!" Alice memanggil dengan nada tidak senang. "Kau bilang ada urusan mendadak! Kau bohong?"
Cindy mengangkat kedua cup minuman di tangannya dengan bangga. "Aku tidak berbohong! Inilah urusan mendadak itu!"
Alice memandanginya dengan mata melebar. “Kau meninggalkan semua ini hanya untuk membeli minuman?”
"Tentu saja! Minuman ini baru buka, Alice. Semua orang bilang rasanya luar biasa, dan aku tidak mau ketinggalan!" Cindy menyeruput minumannya sambil tersenyum puas.
"Dimana sopir? Bukankah dia seharusnya ikut denganmu?" Tanya Alice, tidak melihat tanda adanya sopir disekitar Cindy.
"No, aku sengaja menyuruhnya membeli burger di sebrang sana. Agar aku bisa membeli ini sendiri."
Alice hanya menghela napas panjang. Dia tidak tahu harus merasa marah, lelah, atau menyerah menghadapi Cindy yang selalu punya caranya sendiri untuk menghindar dari hal-hal membosankan.
Ini bukan kali pertama Cindy membebankan tugasnya pada Alice. Ketika Cindy sudah benar-benar bosan atau malas, Alice selalu menjadi penyelamat yang tidak bisa menolak.
Namun, Alice tidak pernah membenci Cindy karenanya. Walaupun Cindy sering bertindak seenaknya, Alice tahu bahwa Cindy adalah kakak yang selalu membawa energi ceria dalam hidupnya. Meskipun terkadang, energi itu terasa seperti badai kecil yang mengacaukan segalanya.
Alice terus melangkah dengan susah payah, menyeimbangkan dua tumpukan souvenir berat di tangannya. Sesekali dia menarik napas panjang, mencoba mengabaikan Cindy dan rasa pegal di lengannya.
“Alice, wait! Cobalah ini dulu!” Suara Cindy kembali terdengar, ia menyusul Alice.
Senyum cerah Cindy tidak berubah meskipun Alice memasang wajah kesal. "Ini rasa strawberry! Aku sengaja memesan rasa kesukaanmu!" Mengangkat cup minuman yang ada di tangan kirinya.
"Cindy!" Alice mendesis kesal, menghentikan langkahnya.
"Strawberry atau matcha?" Cindy mengangkat kedua tangannya, mempersilahkan dirinya untuk memilih. Ia terdiam sejenak, mengarahkan kepalanya ke kiri, yaitu rasa strawberry.
Cindy langsung menyodorkan minuman itu, menyuapinya. Saat ia meminumnya, "Didalamnya ada potongan strawberry. Kau pasti menyukainya, kan?" ucap Cindy mencoba menggodanya, memainkan alisnya naik turun.
Setelah mencoba minuman menyegarkan itu. Awalnya dia masih ingin marah, tetapi perlahan sudut bibirnya tertarik ke atas. "Kau memang tidak bisa serius, ya?"
"Aku tahu kau pasti butuh sesuatu yang menyegarkan setelah membawa barang-barang berat itu.”
“Ayo, serahkan saja barang-barang ini ke sopir. Dia sudah menunggu di depan.” Cindy berjalan dengan santai tanpa mengambil salah satu tumpukan souvenir yang dibawa Alice.
Cindy terkikik, menyuapkan minuman itu ke Alice, "Aku menyuapimu minuman ini. Dan kau membawa souvenirnya, okay?"
Mereka berjalan ke arah mobil, menyerahkan semua barang kepada sopir yang sudah siap membantu. Setelah itu, keduanya melanjutkan berjalan sambil menyeruput minuman masing-masing.
“Aku bertemu seorang gadis yang memakai bando berbentuk telinga kucing di tempat beli minuman tadi. Kau harus lihat ekspresinya waktu aku bilang kalau bandonya terlihat konyol!” Cindy bercerita sambil tertawa.
Alice menggelengkan kepala, ikut tertawa kecil. “Tentu saja kau akan mengatakan sesuatu seperti itu. Kau tidak pernah bisa menahan diri, kan?”
Cindy mengangkat bahu. “Apa boleh buat, aku hanya jujur.”
Mereka terus berjalan bergandengan, tertawa dengan cerita masing-masing. Meskipun sering kali mereka saling membuat kesal, Alice tahu bahwa Cindy adalah bagian dari hidupnya yang tidak bisa digantikan.
...* * *...
Saat usia kami menginjak 17 tahun, kami mulai memikirkan apa arti kebebasan. Apa jadinya kalau kami bisa hidup seperti orang lain?
Hidup tanpa nanny yang selalu menyiapkan semuanya, tanpa pelayan yang mengikuti di setiap langkah, dan tanpa aturan keluarga yang kadang terlalu kaku.
Keputusan itu datang di malam yang penuh bisikan rahasia di kamar Cindy. "Kalau kita tinggal di asrama, mereka tidak akan bisa memantau kita, kan?" Cindy berkata dengan sorot mata yang penuh semangat.
"Asrama?" aku bertanya, setengah ragu tapi setengah penasaran.
"Ya, anggap saja kita ingin fokus kuliah di kampus terbaik. Mereka pasti setuju!" jawab Cindy dengan nada percaya diri.
ig : lavenderoof