He Ma Li, seorang wanita muda yang penuh semangat, baru saja diterima sebagai karyawan di sebuah perusahaan besar. Berbekal mimpi besar dan tekad kuat, Ma Li berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan kerjanya yang penuh tekanan. Namun, ada satu sosok yang selalu menguji ketenangannya—CEO Zhang Xiang Li, seorang pria keras kepala dan penuh aturan. Dikenal sebagai pemimpin yang ambisius dan tegas, Xiang Li menjalankan perusahaannya dengan tangan besi, tidak memberi ruang untuk kesalahan.
Awalnya, Ma Li menganggap Xiang Li hanya sebagai bos yang sulit didekati. Namun, semakin lama bekerja di dekatnya, Ma Li mulai melihat sisi lain dari pria tersebut. Di balik sikap dingin dan tatapan tajamnya, Xiang Li memiliki cerita hidup yang sulit, yang perlahan membuat Ma Li semakin tertarik.
Tanpa disadari, perasaan cinta mulai tumbuh di hati Ma Li. Namun, cinta ini bukanlah sesuatu yang mudah. Bagi Xiang Li, cinta dan pekerjaan tidak pernah bisa bercampur, dan dia bersikeras menahan perasaannya agar tetap profesional. Mampukah Ma Li menembus dinding yang dibangun oleh Xiang Li? Apakah cinta Ma Li cukup kuat untuk membuat CEO keras kepala ini membuka hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lim Kyung rin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 32
Pada hari Minggu yang cerah, Zhang Tian Qi bangun lebih pagi dari biasanya dengan semangat yang berbeda. Ia memutuskan untuk mencoba sesuatu yang baru: memasak untuk seluruh keluarganya. Walaupun ia bukanlah seorang koki berpengalaman, Tian Qi merasa tertantang untuk memberikan kejutan kecil kepada orang-orang terdekatnya.
Tian Qi membuka laptopnya dan mencari resep di internet, memilih menu spesial yang tampaknya sederhana namun cukup menarik: nasi goreng dengan bahan-bahan yang berbeda, ditambah dengan sate ayam dan sup sayuran segar. Ia ingin memasak sesuatu yang bisa dinikmati oleh semua orang di rumah.
Meskipun ia tidak terbiasa berada di dapur, Tian Qi sangat hati-hati mengikuti setiap langkah dalam resep. Ia memastikan setiap bahan diukur dengan tepat, dan meskipun ada beberapa momen canggung di dapur—terutama saat ia sedikit kebingungan dengan cara memotong sayuran—Tian Qi tetap bersemangat. Dia juga mencoba memadukan bumbu dengan takaran yang sesuai, meskipun ada beberapa eksperimen untuk menyesuaikan rasa.
Setelah beberapa jam bekerja di dapur, Tian Qi akhirnya selesai menyiapkan semua hidangan. Ia merasa bangga melihat meja makan yang sudah penuh dengan masakan yang ia buat sendiri. Meskipun sedikit khawatir dengan hasil masakannya, Tian Qi menunggu dengan penuh harap agar keluarganya menikmati makanannya.
Saat keluarga Zhang duduk di meja makan, Zhang Xiang Li, sang ayah, melihat dengan penuh perhatian. Ia mencicipi nasi goreng terlebih dahulu. Mimik wajahnya terlihat serius, namun setelah beberapa detik, ia tersenyum lebar. “Hmm, ini cukup enak, Tian Qi. Bisa dibilang, ini lebih baik dari yang saya bayangkan untuk pertama kali!” katanya dengan tertawa kecil, membuat Tian Qi merasa lega. Ayahnya tidak pernah segan untuk memberi pujian, tetapi kali ini jelas ia merasa bangga.
He Ma Li, sang ibu, yang biasanya sangat teliti soal rasa masakan, juga mencicipi dengan hati-hati. Ia memandang Tian Qi, lalu tersenyum. “Rasanya pas, kamu sudah mulai menguasai teknik memasak, nak,” kata He Ma Li sambil mengangguk puas. “Jangan khawatir, kita semua sangat menghargai usahamu. Kamu sudah berhasil membuat hidangan yang sangat lezat.” Ibu Tian Qi selalu memiliki cara untuk membuatnya merasa dihargai, dan kali ini ia tak terkecuali.
Zhang Yue, sang adik, yang sering kali lebih memilih makanan cepat saji daripada masakan rumahan, memegang sendoknya dan mencicipi nasi goreng. Ia terkejut melihat betapa enaknya rasa masakan kakaknya. “Wah, Tian Qi, ternyata kamu bisa masak juga! Ini enak banget, aku kira bakal cuma biasa aja,” kata Yue dengan senyum lebar. “Aku nggak nyangka kamu punya kemampuan tersembunyi seperti ini.”
Mendengar pujian dari keluarganya, Tian Qi merasa sangat bahagia dan puas. Ia tahu bahwa meskipun ia bukan seorang koki profesional, usahanya di dapur sangat dihargai. Semuanya menikmatinya dengan senyum dan tawa, menikmati makanan yang dimasak dengan penuh perhatian dan kasih sayang.
Momen itu bukan hanya tentang rasa masakan, tetapi tentang usaha dan perhatian yang Tian Qi tunjukkan untuk keluarganya. Dalam hati, Tian Qi merasa lebih dekat dengan keluarganya, dan dia bertekad untuk mencoba lebih banyak resep baru di masa depan, membahagiakan keluarganya lewat masakan, selain melalui segala hal yang ia lakukan.
Setelah makan bersama, keluarga Zhang duduk santai di ruang tamu, menikmati cuaca Minggu yang hangat. Suasana di rumah terasa penuh kehangatan, dengan tawa dan pembicaraan ringan yang mengalir. Tian Qi merasa bangga dengan dirinya sendiri karena bisa memberi kejutan menyenangkan kepada keluarganya, meskipun masakannya masih jauh dari sempurna.
Zhang Xiang Li, yang biasanya lebih pendiam, menyandarkan punggungnya pada kursi dan menatap Tian Qi dengan bangga. “Aku tidak tahu kamu punya bakat seperti ini, nak,” ujarnya dengan suara lembut namun penuh makna. “Kamu selalu fokus pada hal-hal yang lebih besar, seperti kuliah dan basket, tapi hari ini kamu menunjukkan sisi lain darimu. Ini adalah hal yang luar biasa.” Meskipun hanya berbicara dengan nada santai, ada kehangatan yang menyertai kata-kata ayahnya, membuat Tian Qi merasa lebih dihargai.
He Ma Li, yang biasanya lebih perfeksionis dalam hal masakan, melirik Tian Qi dengan senyum lebar. “Tian Qi, kamu pasti belajar banyak, ya? Jangan berhenti mencoba, karena masakanmu sudah sangat baik. Ke depan, kita bisa masak bareng lebih sering,” ujarnya dengan nada penuh dukungan. Ibu Tian Qi selalu tahu bagaimana cara memberi semangat, dan kali ini ia menunjukkan apresiasi yang dalam terhadap usaha anaknya.
Zhang Yue, yang sudah mulai membersihkan piring setelah makan, menghentikan tangannya sejenak dan berkata, “Aku rasa kita harus sering-sering ngadain acara masak bareng kayak gini, deh. Ini menyenangkan! Lagipula, nggak semua orang bisa masak sambil tetap asyik main basket dan main piano kayak kamu, Kak.” Yue tersenyum nakal sambil menyandarkan dirinya pada meja makan, jelas terkesan dengan kemampuan kakaknya yang serba bisa.
Tian Qi tertawa ringan mendengar pujian dari adiknya. “Ya, nanti kalau aku lagi punya waktu luang, aku pasti coba masak lagi. Tapi sepertinya, lebih baik aku latihan dulu biar masakannya makin enak,” kata Tian Qi dengan nada bercanda. Meskipun ia merasa sedikit cemas tentang masakan pertama yang ia buat, pujian dari keluarganya memberinya dorongan untuk terus mencoba.
Hari itu pun berlalu dengan indah. Meskipun Tian Qi kembali ke rutinitas kuliahnya pada hari Senin, momen itu tetap membekas dalam ingatannya. Ia merasa semakin dekat dengan keluarganya, terutama dengan Zhang Yue yang selama ini sering disibukkan dengan dunia menulisnya, dan dengan orang tua mereka yang selalu mendukung tanpa syarat.
Tian Qi bertekad untuk lebih sering meluangkan waktu di dapur, bukan hanya untuk membahagiakan keluarganya, tetapi juga untuk mengeksplorasi dirinya lebih dalam. Ia menyadari bahwa memasak bukan hanya tentang menghasilkan makanan, tetapi juga tentang menunjukkan perhatian dan kasih sayang pada orang-orang terdekat. Dengan semangat itu, Tian Qi merasa lebih siap menjalani hari-harinya, berusaha terus belajar dan berkembang, baik di dunia akademis, olahraga, musik, maupun dalam kehidupan keluarga yang penuh kasih.
Beberapa minggu setelah kejutan masakan pertama Tian Qi, suasana di rumah keluarga Zhang semakin penuh keceriaan. Tian Qi, yang sudah terbiasa dengan rutinitas kuliah dan kegiatan lainnya, kini mulai meluangkan lebih banyak waktu untuk mencoba resep-resep baru. Setiap akhir pekan, ia akan mencari inspirasi masakan melalui internet, dan berusaha menghidangkan sesuatu yang berbeda untuk keluarganya.
Pada suatu Sabtu pagi, Tian Qi memutuskan untuk mencoba resep makanan Jepang, yaitu sushi dan ramen, sebagai tantangan baru. Ia memilih menu ini karena tahu bahwa keluarganya sangat menyukai masakan Jepang, dan ia ingin memberikan pengalaman baru bagi mereka. Meskipun memasak sushi membutuhkan ketelitian dan ketangkasan, Tian Qi merasa semakin percaya diri dengan setiap langkah yang ia ambil.
Zhang Yue, yang sedang duduk di ruang belajar, mendengar suara riuh dari dapur. Ia keluar untuk melihat apa yang sedang dilakukan kakaknya. “Kak, kamu lagi coba masak sushi, ya? Bisa ya kamu masak yang rumit kayak gini?” tanya Yue dengan penuh rasa ingin tahu, sedikit terkejut melihat Tian Qi yang biasanya fokus pada teknik dan olahraga kini sibuk dengan dapur.
Tian Qi tersenyum lebar. “Aku nggak tahu apakah hasilnya akan sempurna, tapi aku pikir, kenapa nggak coba? Lagipula, apa salahnya berlatih masak sesuatu yang baru?” jawab Tian Qi sambil mencampurkan bahan-bahan sushi dengan hati-hati.
Setelah beberapa jam berusaha, Tian Qi akhirnya berhasil menyiapkan hidangan lengkap dengan sushi, ramen, dan beberapa hidangan pembuka lainnya. Ia mengundang keluarganya untuk berkumpul di meja makan, merasa sedikit gugup namun penuh harapan. Zhang Xiang Li dan He Ma Li sudah duduk dengan penuh perhatian, sedangkan Zhang Yue sudah tidak sabar untuk mencoba hidangan baru.
Zhang Xiang Li mencicipi sushi dengan hati-hati, lalu mengangguk puas. “Rasanya enak, Tian Qi! Kamu benar-benar semakin mahir di dapur. Aku tidak menyangka kamu bisa membuat sushi yang sesempurna ini,” kata Zhang Xiang Li dengan suara bangga. Tian Qi merasa sangat senang mendengar pujian itu.
He Ma Li, yang biasanya sangat teliti soal rasa, memuji Tian Qi dengan lebih detail. “Kamu sudah tahu cara menyelaraskan rasa dalam setiap hidangan. Ramen ini juga lezat, kuahnya kaya dan gurih. Kamu harus coba masak lebih sering,” ujar ibu Tian Qi dengan senyum puas.
Zhang Yue, yang sudah melahap beberapa potong sushi, berkata, “Aku nggak percaya, Kak! Ini beneran enak! Kalau dulu aku cuma suka beli sushi di restoran, sekarang aku nggak usah jauh-jauh lagi, tinggal tunggu aja kamu masak!” Yue tersenyum lebar, senang dengan kejutan masakan kali ini.
Tian Qi merasa lega dan bangga, terutama dengan respons positif dari keluarganya. Ia menyadari bahwa meskipun ia sibuk dengan kuliah dan kegiatan lainnya, memasak untuk keluarganya telah menjadi cara yang menyenangkan untuk lebih dekat dan memberikan kebahagiaan sederhana dalam kehidupan mereka.
Sejak itu, Tian Qi semakin sering menghabiskan waktu di dapur, mencoba resep-resep baru, dan semakin kreatif dalam eksperimennya. Zhang Yue, yang mulai tertarik dengan dunia kuliner, kadang ikut membantunya di dapur, dan mereka berdua sering berbincang sambil memasak bersama. Ini menjadi tradisi baru bagi keluarga Zhang, sebuah cara untuk meluangkan waktu bersama dan menciptakan kenangan yang tak terlupakan.
Dengan setiap hidangan yang dimasak, keluarga Zhang merasa semakin dekat dan lebih saling mendukung. Tian Qi, yang awalnya hanya ingin memberikan kejutan kecil, kini menemukan bahwa memasak bukan hanya tentang makanan, tetapi juga tentang menciptakan momen kebersamaan yang penuh kasih. Ia merasa lebih dekat dengan adiknya, orang tuanya, dan bahkan dirinya sendiri, karena semakin menyadari bahwa kehidupan ini lebih berwarna dengan keberagaman usaha dan keinginan untuk terus belajar, berkembang, dan memberikan yang terbaik bagi orang yang kita cintai.