Cayenne, seorang wanita mandiri yang hidup hanya demi keluarganya mendapatkan tawaran yang mengejutkan dari bosnya.
"Aku ingin kamu menemaniku tidur!"
Stefan, seorang bos dingin yang mengidap insomnia dan hanya bisa tidur nyenyak di dekat Cayenne.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5 Kepulangan teman lama
Cayenne berangkat menuju kota sebelah bersama adik adiknya, tempat rumah sakit ibunya dirawat berada.
Perjalanan panjang ditempuh dengan keterbatasan keuangan untuk membiayai pengobatan ibunya. Beruntung mereka dapat mengikuti program medis untuk pasien tuberkulosis yang sangat membantu mengurangi beban Cayenne.
Kini, yang perlu ia fokuskan adalah biaya pengobatan di luar cakupan program tersebut, walaupun hanya 20% dari total biaya, angka itu tetap besar baginya.
Di dalam bus, Kyle dan Luiz duduk terdiam, diliputi kekhawatiran akan kondisi ibu mereka. Setibanya di rumah sakit, mereka menemui ibunya yang tengah tertidur lelap namun tampak gelisah, tampak jelas kekhawatirannya terhadap anak-anaknya.
Cayenne meninggalkan adiknya sejenak untuk berbicara dengan dokter.
'Tok! Tok! Tok!'
"Silakan masuk," suara dokter menyambut, ketika Cayenne memasuki ruangan. "Bagaimana kabarmu, Yen?" dokter itu menyapa.
"Saya baik, Dok," Cayenne menjawab seraya tersenyum. "Bagaimana kondisi ibu saya?" ia bertanya, masih diliputi kekhawatiran.
Dokter meletakkan mapnya dan berkata, "Yen, kau perlu berbicara dengan ibumu. Dia enggan minum obat lagi dan ini bisa berakibat buruk jika dibiarkan."
"Saya akan membujuknya. Apakah ada hal lain yang perlu saya ketahui?"
"Beberapa hari lalu, seseorang melunasi sisa tagihan rumah sakit ibumu. Kami tak tahu siapa orang itu." Dokter menatapnya seolah ragu, sebelum menambahkan, "Saya agak khawatir, apakah kamu dan saudaramu dalam masalah dengan seseorang yang memiliki kekayaan besar?"
Cayenne menggeleng cepat, meyakinkan, "Tidak, Dok. Tak ada masalah seperti itu. Saya juga tak kenal siapa pun yang kaya."
"Baguslah. Jika ada apa-apa atau butuh bantuan, kami siap membantu."
Dengan ucapan terima kasih, Cayenne meninggalkan ruangan setelah berbincang sejenak dengan sang Dokter.
Kembali ke kamar ibunya, Cayenne mendapati ibunya tersenyum, mengobrol dengan adik adiknya mengenai sekolah dan pekerjaannya. Seperti biasa, Kyle dan Luiz membujuk ibunya dengan kebohongan kecil demi kebaikannya.
"Apa kabar, Bu?" Cayenne bertanya sambil mendekat.
"Ibu sedikit cemas."
"Kenapa begitu?"
"Karena biaya yang kamu keluarkan untukku. Rasanya sia-sia. Kenapa kita tidak menunggu waktu yang tersisa bersama di rumah?"
Cayenne dan saudara-saudaranya terkesiap mendengar itu. "Bu, kami ingin Ibu mendapatkan perawatan yang layak. Jika bersama kami, Ibu tak akan sering bertemu dokter," Cayenne meyakinkan.
"Yen, aku sudah tak punya harapan. Simpan saja uangmu." Ibunya berujar lirih. Cayenne, bukannya sedih, malah memeluk erat ibunya.
"Bu, Kyle dan Luiz mendapatkan beasiswa. Aku pun mendapatkan kenaikan gaji, jadi tak perlu khawatir soal biaya. Kami ingin kamu tetap di sini," kata Cayenne. Kyle dan Luiz menguatkan pernyataannya.
Ibunya kemudian sepakat untuk bertemu mereka setiap akhir pekan. Setelah berpamitan sebentar, Cayenne keluar mencari tempat tenang, sampai seseorang datang dan duduk di sebelahnya.
"Apa yang kamu pikirkan?" suara yang dikenalnya baik bertanya.
Cayenne terkejut melihatnya di sana, tak menyangka akan bertemu setelah sekian lama. "Sudah lama kita tak bertemu, Yen," sahutnya dengan senyuman yang sama seperti lima tahun silam.
Cayenne memandang pria di sebelahnya dengan penuh perhatian.
"Arthur?" panggilnya, dan pria itu tersenyum lebar mendengar namanya disebut.
"Kau sudah kembali? Bagaimana kabarmu?"
"Semuanya baik-baik saja," jawab Arthur sambil mempertahankan senyumnya. "Aku kembali tiga bulan yang lalu dan mendengar bahwa kamu sudah pindah."
Cayenne mengalihkan pandangannya dan kembali mengamati kolam di dekat mereka. "Ada banyak perubahan, dan kami harus menghemat biaya. Pindah adalah salah satu pilihan."
"Aku turut prihatin mendengarnya." Arthur menundukkan kepala, memainkan jemarinya dengan gugup. Bertemu lagi setelah lima tahun membuatnya merasa canggung.
"Apakah kau mengganti nomor teleponmu?"
"Hm." Cayenne mengangguk.
"Bolehkah aku meminta nomormu lagi? Dulu aku ingin membantu, dan sekarang aku masih ingin melakukannya. Bolehkah?"
Cayenne tetap tidak menatapnya dan berdiri membelakanginya. "Tidak perlu kamu terlibat dalam urusanku. Kami cukup baik-baik saja. Terima kasih atas perhatianmu."
Tanpa menunggu respons dari Arthur, dia pergi meninggalkannya, seperti yang dilakukannya lima tahun yang lalu.
Hubungan mereka tidak pernah benar-benar serius, namun Arthur adalah seorang pria baik yang selalu siap membantu dan menjaga keluarganya. Cayenne merasa nyaman dengan keadaan itu, tetapi perasaannya berubah begitu Arthur mengungkapkan perasaannya.
Cayenne merasa bersalah, seperti memanfaatkannya, meskipun semua tuduhan itu tidak benar. Dia sangat menghargai kebaikan Arthur yang telah banyak membantunya, bahkan ketika teman-teman mereka merumorkan sebaliknya.
Arthur adalah tetangganya, rumah mereka hanya terpisah dua blok. Meski begitu, Arthur sering datang hanya untuk menanyakan kabar. adik adiknya pun menyukainya.
Ketika lima tahun lalu Arthur mengungkap perasaannya sebelum berangkat ke Amerika, Cayenne menolaknya. Mungkin Arthur sadar bahwa mereka tidak memiliki peluang lebih, jadi dia memutuskan untuk jujur tentang perasaannya.
Sekarang, lima tahun kemudian, perasaan Arthur tak berubah, tetapi Cayenne tetap tidak bisa membalasnya. Wanita yang dicintainya masih menolak menatap matanya.
Arthur segera mengejar. "Yen, tunggu." Dia berlari dan meraih pergelangan tangan Cayenne.
"Yen, aku telah datang dan menemuimu lagi." Terengah, dia mengutarakan niatnya. Semua orang melihat, tapi Arthur tak peduli.
Cayenne menunggunya sampai tenang dan melepaskannya. "Aku akan senang menyambutmu, selama kamu tidak mencoba membantuku."
"Kenapa kau tidak ingin aku membantumu?"
"Karena aku tidak butuh bantuanmu. Kalau kamu datang hanya untuk sekadar bertemu, aku tidak keberatan. Atau lebih baik, jangan kunjungi kami."
Arthur mengangguk setuju. Selama dia bisa melihat Cayenne, semua syarat itu akan diterimanya dengan senang hati.
"Bisakah aku bertemu ibumu?"
"Hhm" Mereka menuju kamar ibunya dengan Arthur di sampingnya. Dia tak menolak bantuan Arthur karena tidak membutuhkannya, tapi karena dia tak ingin bantuan itu datang darinya.
Ketika mereka masuk, Kyle dan Luiz terlihat terkejut, dan ibunya senang menyambut tamu baru.
"Kapan kau kembali, Arthur?" Kyle bertanya, memberikan kursinya.
"Belum lama ini. Aku senang bisa bertemu kalian."
"Tidak, kami yang senang melihatmu. Bagaimana kabarmu?" Ibunya mengoceh penuh semangat dan mereka berbicara banyak hal.
Cayenne hanya memutar mata melihat keakraban mereka, seperti bertemu dengan saudara yang telah lama hilang.
"Bagaimana kau bisa ada di sini?" tanyanya, pada Arthur saat kesempatan muncul.
"Kakak iparku baru saja melahirkan putra pertamanya, dan aku datang untuk menjenguk. Aku sedang dalam perjalanan pulang ketika melihat Cayenne di taman."
Setelah dua jam, Arthur harus pergi karena tugas dari ibunya. Dia berpamitan, berjanji akan mengunjungi lagi.
Kyle dan Luiz bertukar nomor dengan Arthur, memastikan tetap saling terhubung. Arthur memilih tidak bertukar nomor dengan Cayenne setelah beberapa kali penolakannya.
Cayenne dan kedua adiknya pulang sebelum matahari terbenam, berencana mengunjungi lagi akhir pekan depan.
"Senang Arthur kembali. Kakak setuju, kan?" Kyle bertanya dengan tak tahu kakaknya terganggu setiap kali nama Arthur dibahas.
"Hm, senang dia kembali," jawab Cayenne datar.